Covid-19. Kejutan awal tahun 2020 memang sungguh tidak terduga, biasanya setelah kebahagiaan menyambut tahun baru, kita diperhadapkan dengan beberapa bencana alam seiring semakin derasnya hujan turun ke bumi. Banjir, tanah longsor, badai, gelombang laut yang  tinggi, dan cuaca buruk adalah hal tidak lumrah yang sering terjadi di musim penghujan awal tahun.
Namun  sampai hari ini kita memasuki seperempat tahun, tidak banyak kejadian berkaitan dengan bencana alam yang buruk, justru kita diperhadapkan dengan fenomena Virus Corona yang menelan banyak korban jiwa. Dalam release yang dikeluarkan oleh situs  cnbcindonesia.com  pada hari Sabtu, 7 Maret 2020, dikabarkan bahwa jumlah korban meninggal dunia secara nasional di China mencapai 3.070 jiwa. Belum termasuk negara-negara lain seperti Iran, Jepang, Korea Selatan, dan Italia.
Semua informasi tentang wabah ini begitu mudah diterima oleh masyarakat  di seluruh dunia  dalam bentuk tulisan, gambar, maupun audio visual. Dari yang memuat konten pemberitaan yang netral-netral saja sampai dengan yang ekstrim seperti  video korban yang berjatuhan, kekacauan di beberapa sudut kota, keributan pada sebuah antrian pasien di Rumah Sakit, tenaga medis yang tampak kewalahan, serta sekelompok orang yang berusaha berebut bahan makanan didalam super market.  Dan kita melihat efeknya yang begitu menggetarkan rasa nyaman kita, menggentarkan ketenangan hati kita, bahkan di beberapa tempat menghancurkan derajat manusia sebagai makhluk mulia.
Ketika wabah itu akhirnya masuk ke negeri kita, dengan diumumkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata RI, seolah kita sedang memulai sebuah perang besar menghadapi invansi kekuatan asing yang ganas dan brutal. Sayang sungguh disayang respon sebagian masyarakat di beberapa kota besar yang panik seolah tidak siap menghadapi perang melawan virus ini.Â
Dalam tempo dua-tiga jam setelah pengumuman resmi, terjadi rush di di berbagai supermarket, swalayan, apotik, untuk membeli secara besar-besaran bahan makanan, obat, antiseptik dan masker. Lagi dan lagi pemberitaan ini dengan begitu mudah segera diterima ditangan seluruh masyarakat Indonesia melalui jejaring media sosial, televisi, disusul dengan obrolan-obrolan disudut warung kopi, kantor, pasar, dan berbagai tempat yang justru semakin memprofokasi masyarakat untuk ikut-ikutan membeli berbagai barang tadi secara berlebihan. Yang punya uanglah yang mampu membeli lebih, sementara yang tidak memilikinya hanya mampu menonton saja.
Beruntung pemerintah segera membuat rilis informasi sebanyak-banyaknya tentang fakta Virus Corona ini, demikian pula dengan korporasi-korporasi, para akademisi, para profesional, tokoh masyarakat dan tokoh agama juga melakukan hal yang sama agar kepanikan masyarakat tidak merajalela dan menimbulkan bencana baru yang akan memperparah keadaan.Â
Kekuatan media sosial sangat terasa untuk melawan serangan Virus "ganas" ini, dengan berbagai informasi dan edukasi yang benar, menyajikan antara fakta dan hoax, antara ketulusan dan komersialisasi, antara obyektifitas dengan tendensi. Dan akhirnya kita patut merasa lega sebab  gejala panic buying mulai mereda, masyarakat mulai tenang dan mampu berpikir rasional, dan bisa diarahkan untuk mempersiapkan diri secara pribadi maupun secara kolektif untuk menghadapi virus ini.
Sungguh banyak pelajaran berharga  dari kejadian seperempat tahun pertama, di 2020 ini. Sesungguhnya  dari berbagai laporan negara-negara yang terkena virus ini, sebagaimana dilansir dari kompas.com dan pernyataan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dampak kematian pada pasien yang terinfeksi secara global diseluruh dunia ini adalah 3,4% sungguh jauh dibandingkan dengan dampak mematikan akibat diabetes melitus yaitu sebesar 63,50% (Pusdatin.kemkes.go.id, 2018). Tetapi mengapa di Wuhan China, Jakarta, Depok, dan berbagai kota lain kepanikan ini begitu kuat melanda? Seolah-olah serangan virus ini akan memusnahkan seluruh umat manusia.
Rupanya terjadi "kerjasama" yang sangat bagus antara serangan Virus Covid-19 ini dengan serangan "Virus Informasi" yang masuk ke pikiran kita, sebuah "sinergi virus" yang sangat menakutkan bagi manusia. Faktanya virus ini menyerang fisik manusia, maka yang harus dilakukan adalah membuat fisik kita sehat dengan cara hidup yang sehat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa fisik yang sehat harus dimulai dengan pikiran yang sehat, ini masalah mental.Â
Aksi rush  atau  panic buying di supermarket, merupakan kegagalan berpikir  sehat didalam jiwa kemanusiaan kita. Pikiran yang sakit dipenuhi dengan kekuatiran, ketakutan, kecemasan, setara dengan dendam, benci, dan amarah yang membabi-buta. Selanjutnya pikiran sakit ini akan mendorong kita untuk mengamankan diri sendiri, menihilkan keberadaan manusia lain, bahkan menjadikan orang lain sebagai ancaman yang layak dimusnahkan, persis dunia binatang dengan hukum rimbanya: yang kuat dialah yang menang.Â
Dan itu yang sempat kita saksikan terjadi bersamaan dengan serangan Virus Corona di berbagai belahan dunia, bagaimana orang berkelahi berebut makanan di supermarket, saling jambak, saling dorong, bahkan saling bunuh. Akhirnya daya hancur virus ini menjadi begitu besar bukan karena keganasannya, tetapi karena pikiran manusia yang sudah dipenuhi dengan kekuatiran, ketakutan, dan kecemasan.
Bagaimana supaya pikiran kita sehat? Ada baiknya kita tenang sejenak, melupakan segala keriuhan yang terjadi untuk kembali fokus menemukan jati diri kita seutuhnya. Kembalilah fokus kepada prinsip-prinsip yang kita percayai dalam kehidupan kita, dan kepada nilai-nilai yang membawa kita untuk tetap hidup secara manusiawi. Â
Prinsip adalah sesuatu yang bersifat kekal, berlaku universal dan dipercayai semua orang, sebagaimana matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat atau air yang selalu mengalir secara alamiah dari tempat yang tinggi ketempat-tempat yang lebih rendah atau kesetiaan rembulan untuk muncul memberikan terang di malam yang gelap manakala matahari mulai tenggelam, demikianlah kebenaran dari sebuah prinsip "Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang" maka karenanya ada nilai-nilai yang menuntun kita kepada kebenaran prinsip ini, yaitu manusia lumrahnya juga "mengasihi dan menyayangi" sesamanya.Â
Tuhan itu bukan ciptaan, tetapi Ia adalah pencipta segala sesuatu, karenanya sewajarnya jika kita meyakini (nilai) bahwa Tuhan memelihara segenap ciptaan-Nya, maka kita akan merasa selalu dicukupkan, sebuah mentalitas melawan kerakusan. Tuhan adalah tempat berlindung yang paling aman, maka kita percaya bahwa melalui doa dan keyakinan kita akan dilindungi dari berbagai macam penyakit, sebuah mentalitas yang menuntun kita untuk hidup sehat, dan memiliki keberanian melakukan berbagai aktivitas. Tuhan adalah sumber hikmat dan marifat, sebuah mentalitas yang menuntun kita bertindak secara bijaksana dalam situasi mudah maupun sulit.
Rupanya tidak cukup 500 kata untuk menuliskan tentang Corona di minggu kedua bulan Maret ini. Virus akan datang dan pergi, karena tidak ada yang kekal di dunia ini, namun yang harus tinggal tetap dalam diri kita adalah pikiran yang sehat, berupa keyakinan yang kuat pada prinsip-prinsip yang benar dan kekal, serta menjalani kehidupan ini dengan nila-nilai yang akan menuntun kita kepada kebenaran itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H