Beberapa pekan lalu saya baru saja mengkhatamkan sebuah serial Netflix , judulnya All of us are dead. Film yang dirilis tanggal 28 januari ini banyak menyedot perhatian para penikmat film bergenre horor, bukan hanya di Korea namun juga di seluruh dunia. Â Tak heran jika selama sepekan film ini bertengger di chart teratas Netflix dunia mengalahkan film terkenal Squid Game. Para zombie enthusiast seperti saya pun tak mau ketinggalan untuk menikmati alur ceritanya yang dibuat dalam 12 episode oleh sang sutradara.
Diadopsi dari serial Webtoon "Now at our school" karya Joo Dong Geun, film ini bercerita tentang sekelompok anak SMA yang bertahan hidup dari serangan mayat hidup atau zombie. Bertabur bintang-bintang muda film ini semakin apik dengan efek CGI yang halus. Tak ayal saya pun tanpa terasa hanya 3 hari menyelesaikan serial ini. Karna setiap episodenya membuat rasa penasaran utk menonton episode berikutnya.
Tidak hanya scene horor yang diangkat di film ini. Sebagaimana film korea pada umumnya balutan drama pada film ini juga terbilang menguras emosi. Pada episode akhir penonton dibuat penasaran dengan kelanjutan nasib salah satu tokoh utama, saya pun berharap film ini ada sesion lanjutannya.
Selesai menonton fim tersebut ada add value yang dapat saya ambil. Yaitu tentang bullying effect. Nampaknya hal tersebut adalah hikmah yang coba diselipkan oleh sang sutradara melalui film. Sebagaimana kita ketahui Korea Selatan merupakan negara dengan kasus bullying terbesar di dunia, khususnya di Asia.
Pesan Anti Bullying
Berawal dari bullying yang sering dialami oleh anaknya di sekolah, Lee Byong Chan yang merupakan lulusan sains terbaik mencoba membuat sebuah formula agar anaknya yang pengecut tersebut menjadi berani menghadapi para perundung di sekolah. Alih-alih formula tersebut bisa menyelamatkan anaknya justru malah membuat anak dan istrinya berubah menjadi mayat hidup.
Awal bencana terjadi saat Hyeon Ju, salah satu siswi SMA Hyosan memasuki gudang peralatan sains yang ada di sekolahnya. Tak sengaja ia digigit oleh tikus ekperimen milik Lee Byong Chan yang tak lain adalah guru sains di sekolah tersebut. Beberapa menit setelah tergigit tubuh Hyeon Ju pun mulai bereaksi, ia kejang-kejang dan mulai mengerang seperti hewan. Hal tersebut diketahui oleh sang guru. Ia pun mengurung Hyeon Ju semalaman hingga akhirnya terlepas. Dari situlah awal malapetaka di mulai.
Lee Byong Chan awalnya ingin menolong Hyeon Ju, namun saat ia mengingat tragedi bullying yang terjadi kepada anaknya di sekolah itu ia pun mengurungkan niatnya. Pada akhirnya ia juga menjadi korban dari virus yang ia ciptakan. Sementara itu virus ternyata tidak hanya menyebar di sekolah namun juga di seluruh kota.
Bullying di Korea
Menurut data, kasus bullying di Korea Selatan sendiri sudah masuk pada tahap yang mengkhawatirkan. Cenderung meningkat tiap tahunnya bahkan tidak sedikit mengakibatkan korbannya bunuh diri. Meningkatnya kasus bullying di Korsel tidak lepas dari peran media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook. Umumnya korban merupakan publik figur yang tengah menjalani karirnya.
Tak hanya artis, bullying juga umum terjadi di kalangan pelajar. Hyeon Seob remaja 17 tahun memutuskan mengakhiri hidupnya setelah tidak tahan di-bully oleh kawan-kawannya di asrama sekolah. Kejadian tersebut sempat menjadi isu nasional pertengahan tahun lalu.
Bullying di dalam negeri
Tidak hanya di Korsel, kasus perundungan atau bullying di dalam negeri juga mengkhawatirkan. Menurut data KPAI tahun 2021 saja telah terjadi 17 kasus bullying yang melibatkan pelajar dan pendidik. Mulai dari jenjang SD sampai SMA/SMK. Sebagian besar terjadi di 11 propinsi antara lain; Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Jakarta, Banten, Kepri, Sulteng, Kaltara, NTT, NTB dan Sumsel.