Pagi hari yang cerah, senin itu nampaknya langit menyambut matahari dengan suka cita. Awan-awan berarak memintal langit menambah anggun kebiruannya. Burung-burung pun mulai beterbangan mencari rezeki yang dijanjikan Allah, ada pula yang asik bernyanyi di dalam sangkar yang tergantung di teras rumah. Di salah satu sudut rumah berdiri di depan kaca, pria dengan kemeja putih licinnya tengah berhias diri sambil sesekali melihat ke arah jam di dinding rumah yang sudah menunjukkan pukul 06:30. Segera saja Pak Ahmad berpamitan dengan sang istri tanpa sempat menghabiskan kopi paginya yang baru ia seruput tiga kali. “Ayah berangkat ya bun, Assalamu’alaikum!,” ucap Pak Ahmad tergesa. “Lho koq buru-buru amat sih yah, emang ngajar jam pertama?. Tanya istri heran. Sambil memakai sepatu hitamnya, “ayah harus dateng sebelum jam 7 bun, telat satu menit aja gaji ayah bisa dipotong!.” Jawabnya menegaskan. Pak Ahmad pun berlalu dengan sepeda motor bututnya, mengawali harinya sebagai guru yang diharapkan mampu mencetak generasi bangsa yang unggul dengan tergesa-gesa tanpa sadar bahwa apa yang dialaminya tak ubah seperti buruh pabrik yang datang pagi hanya untuk bertemu dengan finger print.
Kondisi seperti kisah imajiner yang penulis ceritakan di atas mungkin pernah dialami oleh sebagian besar guru di Indonesia. Setiap kali datang hari senin raut muka bahagia yang tampak di sabtu dan minggu berubah menjadi tegang berhias kesal, dan kata-kata yang terlontar antara lain, “ahh..udah senen lagi ajah!.” Dan dengan berat hati ia pun bergegas berangkat karna khawatir penghasilan bulanannya terpotong akibat telat datang. Di depan gerbang sekolah ia menyambut para siswa-siswinya dengan senyum kedustaan dan tatapan kosong tanpa makna. Ia menjulurkan tangan kanannya sementara satu tangannya sibuk memainkan ponsel pintar miliknya seraya berharap dalam hati hari jumat segera tiba. Laksana karyawan perusahaan yang merasa tertekan dengan lingkungan kerjanya.
Sejak disahkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka sesuai dengan arahan UU tersebut penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8 Juli 2003. MBS sendiri adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/ madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan1. Dengan kata lain sekolah memiliki otoritas tersendiri dalam mengelola sekolah sesuai dengan ciri khas, fasilitas dan target yang ingin dicapai oleh sekolah tersebut.
Di beberapa negara sistem pengelolaan berbasis sekolahpun sudah lama diterapkan dengan berbagai nama serta titik fokus keunggulannya. Di Kanada MBS dikenal dengan istilah School-site decision making (SSDM), di Hongkong The School Management Initiative (SMI), di Amerika Site- based Management (SBM), di Inggris Grant Maintained School (GMS), atau bahkan di Austria dengan 3 jenis yaitu standard flexbility option (SO), Enchanced Flexibility Option-1(EO1), dan enchanced Flexibility-2(EO2)2. Meski diversifikasi penerapan MBS cukup beragam, namun pada intinya dalam rangka mencapai sukses pendidikan dibutuhkan kerjasama semua pihak antara lain manajemen, sekolah dan orang tua.
Sekolah sesuai dengan tujuan dari Sisdiknas diharapkan mampu mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa serta mampu bersaing di kancah internasional. Eksistensi sekolah sebagai sebuah lembaga seyogyanya bisa menghadirkan iklim yang kondusif demi tercapainya tujuan tersebut. Sekolah yang hanya mengejar stabilisasi kuantitas siswa hanya akan menjadi sekolah yang kering tanpa ruh, sementara sekolah yang sibuk menaikan citra akan terlempar dengan realitas yang ada. Oleh sebab itu, upaya untuk menghadirkan sekolah yang aman, nyaman serta unggul bagi seluruh warga sekolah menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Dan diantara faktor penentu hal tersebut adalah sistem yang diterapkan dalam mengelola sekolah. Karna banyaknya jenis manajemen berbasis sekolah yang diterapkan oleh tiap sekolah di Indonesia dan agar pembahasan ini tidak terlalu meluas, maka penulis hanya berfokus pada fenomena yang dialami oleh para guru seperti kisah imajiner yang penulis sampaikan di awal.
Bertumbuhnya geliat pendidikan di Indonesia mulai tampak sejak ditetapkannya 20 % APBN untuk alokasi dana pendidikan. Sampai saat ini pun komitmen pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan diakui cukup besar meski belum merata. Mulai dari biaya pendidikan dasar yang digratiskan sampai berjamurnya sekolah-sekolah negeri yang sudah berstandar nasional. Hal yang sama juga dialami oleh sekolah-sekolah swasta. Meminjam ungkapan Pak Ukim Komarudin, mantan Kepala Sekolah Lab School Kebayoran, bahwa kompetisi yang tak adil antara sekolah negeri yang gratis dan swasta yang berbayar menuntut sekolah-sekolah swasta untuk mempertahankan mutu pendidikannya. Jangankan persaingan dengan yang negeri, antar sekolah swasta pun terjadi kompetisi merebut hati calon orangtua siswa yang cukup sengit. Hingga tidak bisa tidak, saat ini terdapat pergeseran orientasi yang cukup nyata yang dialami oleh beberapa lembaga sekolah wa bil khusus sekolah formal. Dan yang tak kalah memprihatinkan yaitu sebagian besar sekolah mengalami apa yang disebut dengan coorporate system syndrome.
Coorporate System Syndrome yaitu suatu kondisi dimana lembaga sekolah terlalu berfokus pada kepuasaan costumer yaitu siswa dan orangtuanya tanpa peduli terhadap guru selaku mesin penggerak lembaga itu sendiri. Ciri mendasar dari kondisi ini yaitu adanya gap yang kentara antar struktur sekolah. Yayasan dengan manajemen, yayasan dengan para guru dan manajemen dengan para guru. Hubungan yang terjalin antara mereka pun lebih terkesan sebagai hubungan transaksional dibanding hubungan emosional layaknya hubungan atasan dengan bawahannya. Maka dari itu tak heran jika terjadi sirkulasi keluar masuk guru baru yang cukup signifikan dan cepat pada sekolah yang mengalami kondisi seperti ini. Pada sekolah-sekolah internasional yang sekuler dan umum fenomena ini biasa terjadi. Namun amat disayangkan jika pada kenyataannya “penyakit” ini juga menjangkiti sekolah-sekolah yang notabene adalah sekolah islam dan terpadu.
Ciri lain dari sekolah yang mengalami coorporate system syndrome yaitu melemahnya tingkat kepatuhan guru pada peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh sekolah. Dan kalaupun taat bukan karna menghormati tanggungjawabnya sebagai guru namun lebih karena takut akan punishment yang diberlakukan. Tingginya angka keterlambatan guru, sepinya sekolah dari diskusi-diskusi bermanfaat tentang pendidikan dan pembelajaran, ramainya perkumpulan guru dengan pembicaaran tentang kebijakan atasan serta salary, hubungan yang kaku antara guru dengan orangtua siswa, serta keringnya spiritual pun menjadi ciri dari sekolah yang mengalami sindrom ini. Hingga akibatnya akan tercipta guru-guru seperti cerita imajiner yang penulis sampaikan di atas. Untuk solusi dari kondisi ini penulis akan jelaskan pada tulisan berikutnya.
Abu Maryam Al Ghafiqi (AGUPENA DKI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H