Pagi ini ada tayangan berita yang terdengar konyol sekaligus memprihatinkan. Dua kelompok bocil di sebuah kampung terlibat tawuran. Dari posturnya mereka paling hanya seusia SD dan SMP. Istilahnya, anak-anak yang kencingnya saja belum lempeng.
Mereka saling lempar batu. Itu batu beneran, dan kalau kena kepala ya bisa benjut beneran. Lebih sialnya lagi bocor. Konon penyebab tawuran adalah saling ejek. Biasanya sih di jaman ini olok-olok itu beredar lewat social media. Berbeda dengan jaman dulu, kalau kita mau duel, kita ketemu langsung, janjian mau ketemuan di lapangan mana jam berapa. Duel berlangsung single dan tangan kosong, lainnya cuma menonton saja.
Jangan kira karena tawuran bocil terus dampaknya remeh. Akibat tawuran ini jalan tempat tawuran tidak bisa dipergunakan untuk lalu lintas. Jelas kepentingan umum terganggu.
Lalu apa respon orang-orang dewasa di tempat tersebut? Mereka tampak menonton saja dan membiarkan itu semua terjadi. Tidak ada yang berusaha melerai atau membubarkan. Benar-benar wibawa orang dewasa sudah tidak dipandang lagi. Atau jangan-jangan memang sengaja dipersiapkan semacam regenerasi tawuran? Pengabaian yang luar biasa.
Saya membayangkan seandainya ini terjadi di jamanku, berikut inilah kira-kira yang bakal kejadian.
Ibu-ibu akan berbondong-bondong keluar dari rumah, sebagian membawa sapu lidi yang siap disabetkan ke pantat anaknya. Sebagian lagi membawa gulungan koran bekas yang sudah diperam berbulan-bulan.
Ada ibu-ibu yang membawa ember berisi air bekas cucian, siap disiramkan ke para peserta tawuran.
Lho bapak-bapak kemana? Tidak perlu bapak-bapak turun tangan. Melihat emak mengacungkan sapu lidi itu dijamin mereka semua akan lari lintang pukang, ada yang sembunyi di kebon, ada yang manjat pohon, sembunyi di kandang ayam belakang rumah. Pokoknya tawuran akan bubar seketika. Di mata para bocil melihat emak bersapu lidi bagaikan malaikat Munkar dan Nakir yang hendak menggebuki mereka yang nakal.
Tidak perlu Satpol PP, apalagi water canon, siraman air cucian emak jauh lebih dahsyat menyadarkan mereka untuk insyaf dari tawuran.
Seandainya di sekitar tempat tersebut ada kediaman guru-guru mereka, maka penderitaan mereka akan bertambah, Pak Guru akan datang membawa penggaris besar mencari-cari siapa yang tadi berkelahi. Itu jauh lebih mengerikan ketimbang petugas anti huru hara. Dan tunggu saja hukuman tambahan nanti di sekolah. Kalian bisa tawuran di ujung dunia sekalipun, tapi kalau ketahuan Pak Guru, hukuman menanti di sekolah.
Dan kalau sepulang ke rumah kabar perkelahian itu sampai ke telinga ayah, tunggu saja "bonus" tambahan yang sudah menanti. Kepala gesper itu sudah berkilat-kilat.
"It takes a village to raise a child" kata sebuah pepatah Afrika. Sayangnya sekarang tatanan di "village-village" kita ini sudah amburadul. Orang tua tak bisa dijadikan teladan. Orang dewasa tak bisa dijadikan panutan. Para bocil pun tumbuh liar, dengan internet sebagai pembimbing utamanya.
Tak heran sekarang banyak keluarga seolah menutup diri. Bocil mereka tak boleh bebas bergaul dengan siapa saja. Bahkan hanya untuk sekedar bermain dengan para bocil di lingkungannya. Bukan karena sombong, tetapi khawatir dengan pengaruh buruk yang mereka terima. Bocil menjadi sangat diproteksi dalam bergaul. Tapi dunia memang sudah sangat berbeda.
WYATB GBU ASAP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H