Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Razia Kondom, Buat Apa?

15 Februari 2022   14:36 Diperbarui: 15 Februari 2022   14:36 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Satpol PP disebuah kota merazia alat kontrasepsi atau kondom di sejumlah minimarket jelang Hari Valentine." Begitu berita yang saya baca di sebuah media.

Jujur rasanya ini seperti menyelesaikan masalah dengan masalah. Apakah maksiat bakal merajalela di hari Valentine? Hubungan seks bukan monopoli hari Valentine. Yah, razia ini sepertinya merupakan penanda kalau Valentine sudah dekat. Seperti halnya kalau menjelang puasa maka penandanya adalah harga-harga yang naik. Mungkin perlu dicek juga apakah kondomnya sudah berlabel halal.

Kalau ini jadi rutinitas sih lama-lama juga apal nyetok kondom duluan. Apalagi yang jualan online juga banyak di socmed. Apa marketplace disuruh stop jualan kondom dulu setiap menjelang Valentine?

Masih lebih efektif razia hotel dan kost-kost-an campur atau tanpa pengawasan. Tapi mungkin memang perlu semacam penelitian ilmiah, apakah membatasi akses orang ke kondom akan menurunkan tingkat hubungan seks.

Saya nggak akan memandang Valentine dari pendekatan religi, yang membenturkannya dengan dogma ini dan dogma itu. Dari aspek fungsional saja apakah ada manfaat  merayakan Valentine? Kalau nggak ada, berarti perayaan Valentine termasuk kegiatan unfaedah. Berfaedahnya cuma untuk mengkayakan mereka yang jualan bermodus Valentine. Mengkayakan mereka yang level korporasi. Sedang yang level recehan cuma kebagian trickle-down-effect saja. Cuma netesnya kecil buanget ...

Memang sih makna sebenarnya dari Valentine tak sedangkal hari untuk ngeseks dengan pasangan. Tapi berapa banyak yang memahami kedalaman makna itu. Seolah makna Valentine tak jauh dari urusan selangkangan.

Sebenarnya sih, perayaan hari apapun, dari Lebaran, Natal, sampai Valentine, tak lepas dari campur tangan korporasi. Jadi memang ada semacam pembentukan atmosfer konsumtif. Suatu kelompok mengatakan semacam perangkap kapitalisme.

Tapi silakan saja sih kalau mau ngasih selamat atau ngasih coklat. Saya nggak akan nolak sih. Saya anggap itu lucu-lucuan saja, kayak kita mau karnaval. Kayak Halloween itu juga saya anggap lucu-lucuan. Coklat Valentine dan angpao Imlek sama saja bagi saya.

Saya nggak akan kasih permen Halloween, tapi kalau ada yang ngasih ya saya terima. Itu saja. Ngajarin dosa dan neraka ke orang lain soal Valentine atau Halloween itu hanya menghabiskan energi. Mending energinya buat nonton film Sekubidu.  

Sebenarnya ada cara lain untuk meredam masalah Valentine ini. Misalkan seputaran hari Valentine bikin semacam pesantren kilat. Ini bisa dilakukan oleh pihak sekolah. Ini kan semacam teknik pengalihan perhatian, seperti kalau kecil kita ingin sesuatu, tapi tidak dibolehkan, makin dilarang, makin tantrum. Cara meredamnya ya alihkan perhatian ke hal lain, misal ada daun jatuh, kucing lewat, odong-odong lewat, BlackPink lewat .....

Sebenarnya persoalan di hulu yang harus diselesaikan. Berikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada siswa. Semua siswa mesti paham konsekuensi dari hubungan seksual. Sekali saja berhubungan seksual bisa menyebabkan kehamilan. Dan hancurlah masa depanmu.

Tunjukkan video apa yang terjadi saat proses aborsi. Tunjukkan video nasib mereka yang berurusan dengan hukum karena melakukan aborsi atau buang bayi. Itu jauh lebih efektif ketimbang menakut-nakuti mereka dengan sorga dan neraka. Tunjukkan dampak-dampak mereka yang hancur hidupnya karena kehamilan di luar nikah. Dari aborsi, buang bayi, hingga bunuh diri. Jujur, saya sangat berharap edukasi kesehatan reproduksi ini jangan dengan cara konvensional lagi harus dengan pendekatan yang radikal. Supaya para siswa ini benar-benar melek. Lakukan sehari penuh untuk menggedor jiwa mereka. Kalau perlu dibikin mirip pelatihan kecerdasan emosional yang berbandrol mahal itu.

Kembali ke soal Valentine, jangan dipandang sebagai sesuatu event romansa yang sakral. Anggap saja seperti harbolnas misalnya atau April Mop. Valentine hanyalah sekedar persoalan coklat batangan, bukan batangan berwarna coklat. Valentine bukanlah hal yang mesti diakhiri dengan ereksi dan ejakulasi.

Anggap Valentine sebagai event lucu-lucuan saja. Seperti halnya kalau kita menentukan suatu hari kita harus memberikan kado silang pada teman-teman kita.
Kalau memang Valentine mesti memberikan coklat, maka saya akan berikan ampyang dari Pasar Demangan yang dibuat dengan sepenuh cinta dari mbok bakulnya. Tapi kalau ada yang mau kasih saya coklat Swiss sih silakan.

Jadi gimana? Ya, pokoknya jangan sampai perayaan Valentine ini jadi semacam toxic dalam hidup kita. Mau setuju atau ndak, nggak usah gaslighting. Boleh aja sih kalau mau ghosting saat Valentine.

Lebaran identik dengan ketupat. Biarkanlah Valentine identik dengan coklat, bukan kondom.

"Mau ikut merayakan Valentine nggak, Mas?"
"Palentin, Palentin? Pala lu peyang ...."

WYATB GBU ASAP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun