Anak Mbok Jum lainnya yang tinggal di Madiun, juga menelpon Mbok Jum, dan menyarankan hal yang sama, yaitu agar Mbok Jum tidak perlu mudik dulu. Mungkin dia menyarankan hal tersebut berdasarkan situasi yang diamati di lingkungan sekitarnya.
Hoho, cucu Mbok Jum, berprofesi sebagai sopir mobil box. Mungkin saja selama bekerja Hoho juga telah mengamati situasi di jalan, di mana banyak posko pengawasan yang berkaitan dengan penerapan larangan mudik, PSBB, dan zona merah.Â
Belum pasti juga bagaimana perkembangan situasi menjelang Lebaran nanti. Bagaimana jika kondisi pengawasan lalu lintas makin ketat, tentu akan ada banyak kesulitan dalam menempuh perjalanan menjemput Mbok Jum.
Mbok Jum juga bercerita kalau banyak tetangga di desanya yang merantau di Jakarta, lebaran tahun ini juga telah memutuskan tak bakal mudik. Mungkin keluarga Mbok Jum juga merasa kurang enak, kalau yang lainnya ndak mudik, kok Mbok Jum mudik. Jadi akhirnya mereka semua bersepakat, Mbok Jum tidak usah mudik dulu.
Wajar kalau Mbok Jum bersedih, mungkin tadinya sudah terbayang akan membagi oleh-oleh di kampungnya buat anak, cucu, dan keponakan. Tadinya sudah terbayang bakal bercengkerama dengan anak dan cucu di kampung, merayakan lebaran bersama keluarga.Â
Juga pertemuan dengan para tetangga. Di desa Mbok Jum, umat Muslim, Nasrani, dan Buddha, selalu bertemu dengan Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan Hari Raya Waisak, dalam kegembiraan yang sama dalam suasana rukun dan harmonis.
Yah, saya juga mesti maklum, lebaran kali ini tidak bisa menikmati jatah wajik, jenang dan jadah, yang biasanya dibawa oleh Mbok Jum saat balik lagi ke Jogja sehabis mudik lebaran. Kesehatan dan keselamatan Mbok Jum, juga keluarganya di desa, itu yang paling utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H