Suatu hari di tahun 90-an, saya menumpang sebuah kereta api kelas ekonomi dalam perjalanan dari tanah Sunda menuju ke Jogja. Kala itu jika saya memberitahukan kepada bibi saya yang orang Sunda, bahwa saya hendak ke Jogja, beliau akan menanggapinya, "Oh, hendak pulang ke Jawa".
Kereta berangkat pagi. Untunglah saya sudah persiapan antre karcis beberapa jam sebelum jam buka loket, sehingga masih kebagian nomer tempat duduk. Barisan kursi 3-2, duduk saling berhadapan.Â
Saya duduk bersama sebuah keluarga, yang terdiri dari suami istri dengan dua anak yang masih setingkat SD. Duduk persis di sebelah saya adalah sang suami. Kami mengobrol sepanjang perjalanan. Ketika sudah masuk waktu makan siang, suami istri itu mengeluarkan bekal makanan mereka.
Saya sendiri tidak membawa bekal makanan, karena berencana akan membeli sebungkus nasi ayam atau nasi rames, saat kereta berhenti di stasiun antara. Kereta ekonomi di jaman itu, para penjaja makanan bersliweran di dalam kereta setiap kali kereta berhenti di stasiun.Â
Rupanya keluarga kecil tersebut membawa bekal makanan sejumlah arem-arem. Saya menerima uluran makanan mereka, dan kami makan bersama dengan akrabnya.Â
Tentu saja, saya membatalkan rencana hendak jajan nasi bungkus, karena dua bungkus arem-arem sudah terasa cukup untuk mengganjal perut sampai nanti sore saat kereta mencapai stasiun Tugu. Waktu itu kereta ekonomi masih berhenti di stasiun Tugu, baru selanjutnya menuju Lempuyangan.
Tahun 90-an, selain kereta api, bus malam juga menjadi moda transportasi pilihan saya untuk perjalanan antar kota antar provinsi. Berangkat sekitar jam tujuh malam, sampai Jogja menjelang subuh.
Saya duduk bersebelahan dengan seorang pria, mungkin lebih tua beberapa tahun. Kami duduk paling depan sendiri, sehingga leher bakalan cepat pegal kalau hendak menengok layar televisi di bus yang menyajikan film dari pemutar kaset video (belum jamannya VCD/DVD player).Â
Ketika itu ponsel juga belum marak. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul sambil sesekali mengomentari lalu lintas sepanjang perjalanan, tidak seperti di jaman now dimana obrolan bakal banyak diinterupsi bunyi "tuit tuit" dari gawai.Â
Setelah lama mengobrol, dia membuka sebungkus biskuit, dan menawarkan kepada saya. Mungkin di jaman ini, pemandangan di mana saya menerima dan kemudian ikut menikmati biskuit tersebut, dapat dianggap sebagai sesuatu tindakan yang sembrono.
Dulu tahun 90-an, kereta api ekonomi jarak jauh masih menjual tiket tanpa tempat duduk. Mungkin suatu kali kita pernah bepergian sendirian, karena tak kebagian kursi, terpaksa "lesehan" di lorong kereta beralas koran bekas.Â