Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hai Para Emak Berbahagialah, Horor Tes Calistung Masuk SD Telah Usai!

31 Mei 2023   22:28 Diperbarui: 31 Mei 2023   22:30 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman 2 Buku MATEMATIKA kelas 1 Terbitan Erlangga. Foto : Irma Tri Handayani

Jujurly, Saya Bingung juga sebenarnya sejak kapan masuk SD itu harus bisa membaca menulis dan berhitung alias Calistung. 

Seingat saya, saat anak pertama saya TK tiba-tiba saya menemukan buku PR yang harus dikerjakannya.

Contoh buku Calistung TK. Foto : Irma Tri Handayani
Contoh buku Calistung TK. Foto : Irma Tri Handayani

Ada PR calistung yang diberikan. Pada saat itu saya tak terimalah, karena di pikiran saya namanya TK ya anak-anak fokus bermain.

Esoknya tuh, saya mendatangi Ibu guru dan meminta bahwa anak saya tak diberikan bekal PR calistung.

Saat itu guru TK nya  sempat bingung. Kok bisa saya tak minta PR calistung buat anak saya,katanya.

Karena selama ini Emak-emak yang lain justru meminta PR agar anak mereka cepat bisa menulis dan membaca.

Bahkan stigma berkembang bahwa TKnyang bagus dapat mencetak anak didiknya pintar calistung. 

Tidak berhenti sampai di situ saja, emak-emak yang lain juga sempat menertawakan buku PR calistung anak saya yang bersih.

Mereka keheranan, saya sebagai seorang guru, kok anaknya  kok tak pernah mengerjakan PR bahkan dilarang membawa PR calistung.

Namun saya tak ambil pusing dan tak mau berdebat saat  itu.

Karena saya belum punya alasan ilmiah mengapa saya tak mau anak saya belajar baca selagi TK, maka saya tak memilih diam.

Saat itu alasan saya hanyalah bahwa berdasarkan pengalaman diri sendiri, saya belajar calistung itu SD.

Saya ingat kok mak, bagaimana susah payahnya memenuhi kertas dengan angka 0  atau angka 1.

Saya juga tak lupa bagaimana serunya membaca ini budi, ini Ibu Budi (kalau pada mengalami juga berarti samaan saya, yu angkat tangan! ). 

Buku membaca tahun 1980-an. Sumber foto tangkap layar YouTube BIG REALITY
Buku membaca tahun 1980-an. Sumber foto tangkap layar YouTube BIG REALITY

Memori belajar membaca di SD melekat betul di kepala saya dan tak akan salah ingat karena memang dulu saya tak masuk TK.

Masuk TK dulu adalah sesuatu yang mahal. Hanya orang-orang yang berdompet tebal yang memasukkan anaknya ke TK pada masa saya tahun 1980an.

Maka berdasarkan pengalaman itu, saya pun meyakini bahwa anak saya tak perlu belajar calistung selagi TK.

Saya hanya ingin anak saya merasakan sensasi main ayunan dan perosotan serta mainan TK yang dulu cuma bisa saya intip dari balik pagar. Sedih banget ya! 

Anak TK bermain. Foto : Irma Tri Handayani
Anak TK bermain. Foto : Irma Tri Handayani

Saya juga berharap dia belajar berteman karena sebelumnya biasa sendirian di rumah.

Bonusnya ya menggambar, mewarnai , menggunting menempel dan keterampilan dasar lain yang saya harap bisa dia dapatkan.

Hasil karya menempel. Foto : Irma Tri Handayani
Hasil karya menempel. Foto : Irma Tri Handayani


Tak terpikir sama sekali jika anak saya harus belajar membaca.

Baru saya sadari mengapa anak TK harus belajar calistung yang paling spesifiknya membaca sedari dini setelah saya melihat buku paket anak saya saat menginjak kelas 1 SD.

Bukan karena saya tak menemukan kalimat : ini budi dan ini bapak budi lagi namun memang buku SD kelas 1 sudah berbentuk bacaan biasa.

Entah itu pelajaran bahasa Indonesia , IPA atau Matematika.

Artinya, anak sepertinya dianggap sudah bisa membaca dan menulis kalau begitu.

Saya ambil contoh buku milik anak saya saat kelas 1 SD halaman 2 buku matematika kelas 1

Halaman 2 Buku MATEMATIKA kelas 1 Terbitan Erlangga. Foto : Irma Tri Handayani
Halaman 2 Buku MATEMATIKA kelas 1 Terbitan Erlangga. Foto : Irma Tri Handayani

Inilah kalimat awal yang saya dapatkan di halaman itu.

Ayo, hitung banyak benda pada gambar!

Kalimat awalnya saja memang harus dibaca oleh anak yang memang sudah ahli membaca. 

Jika dia tidak bisa membaca lalu bagaimana dia bisa mengerjakan, artinya anak memang harus sudah  bisa membaca.

Wajarlah jika kemudian para Emak memaksa Bu Guru TK mengajari anak-anak membaca sedari dini.


Untungnya  Anak kedua 2 saya terselamatkan dari kewajiban membaca dan menulis karena masa belajar TKnya terpotong pandemi yang membuatnya belajar on line.

Lalu saat masuk SD, sekolah memang menanyakan apakah anak saya sudah bisa baca, namun untungnya sekolah tersebut malah menyediakan waktu khusus nanti untuk anak belajar membaca.

Namun yang saya tangkap memang belajar bacanya di luar KBM tak di kelas.


Maka ketika Pak Nadiem Makarim  Semarak  Merdeka Belajar dalam Kurikulum Merdeka yang khusus membahas transisi PAUD ke SD dimana dengan tegas beliau menghapuskan test Calistung untuk masuk SD, saya girang bukan main.

Mengapa? Karena Masih ada satu lagi anak saya si Bungsu yang kini duduk di  TK kelas A .

Dengan adanya ketegasan Pak Nadiem Makarim larang tes calistung tentu saya berharap saya tak perlu repot-repot meminta guru TKnya seperti saat kedua kakaknya untuk tak mengajarkan calistung pada si Bungsu.

Dahsyatnya ketakutan emak-emak lain dalam mempersiapkan anak-anak nya masuk SD memang luar biasa hingga di masa si Bungsu ini.

Selain sama, mereka minta PR untuk anak-anaknya, tak sedikit yang sengaja memasukkan anak-anaknya Les calistung.

Anak TK belajar baca. Foto : Irma Tri Handayani
Anak TK belajar baca. Foto : Irma Tri Handayani


Memang saya sempat khawatir apa yang Pak Nadiem katakan hanya sekedar wacana yang tak pernah sampai ke pihak SD seperti dulu.

Ya, wacana menghilangkan tes calistung kan sudah lama namun pada prakteknya tetap saja anak-anak di SD sudah harus bisa baca agar bertahan.

Seperti yang saya uraikan di atas meskipun di larang calistung tapi kalau buku paketnya seolah anak sudah siap calistung dan bukan baru mau belajar calistung,ya sama saja bohong. 


Ternyata hal ini sudah diantisipasi oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan mengubah  kurikulum SD untuk kelas 1 dan 2.

Dari website kurikulum.kemendikbud.go.id  inilah Capaian pembelajaran Bahasa Indonesia Fase A ( Kelas I dan II SD/MI / Program Paket A) untuk elemen Membaca:

 Peserta didik mampu bersikap menjadi pembaca dan pemirsa yang menunjukkan minat terhadap yang dibaca atau dipirsa

Sementara untuk elemen Menulis, Capaian pembelajarannya adalah :

peserta didik mampu menunjukkan keterampilan menulis permulaan dengan benar (cara memegang alat tulis, jarak mata dengan buku, menebalkan garis/huruf, dll) di atas kertas dan/atau melalui media digital. 

Penjelasan elemen menulis dan capaian pembelajaran dari laman kemendikbud.go.id foto: irma Tri Handayani
Penjelasan elemen menulis dan capaian pembelajaran dari laman kemendikbud.go.id foto: irma Tri Handayani

Dengan jelas dikatakan bahwa anak  fase A (kelas 1 dan 2) diajarkan untuk terampil menulis  bahkan di mulai cara memegang alat tulis. 

Dengan capaian pembelajaran yang saya dikutip di atas maka perkiraan saya bukunya SD kelas 1 tak lagi seperti sekarang yang ada. 

Bisa jadi anak-anak SD kelas 1 seperti saya dulu di SD belajar menulis dan membaca . 

Bukan tak mungkin buku 1980an akan muncul di SD sekarang. 

Hanya saja mungkin "ini Budi " diganti dengan nama anak lain yang kekinian. 

Peserta akan belajar calistung di SD dan bukan TK. Maka guru TK kini tak makan diomeli lagi oleh para emak yang merasakan anaknya tak juga handal calistung padahal sudah mau masuk SD. 

Pak Nadiem Makarim memastikan bahwa tugas guru SD-lah belajar calistung. 

Jadi mak, jangan rusak canda tawa anak dengan kewajiban calistung karena mereka akan rasakan itu nanti di SD sesuai kurikulum yang sudah dibuat oleh jajaran pak Nadiem. 

Konsekuensi yang ditimbulkan dari calistung adalah belajar tidak menyenangkan dari umur kecil. 

Bisa jadi seumur hidup anak akan merasa bahwa sekolah itu suatu beban. 

Stigma muncul jika anak tak bisa calistung dirinya bodoh. 

Pak Nadiem yakinkan sudah tak ada lagi asumsi bahwa anak itu bisa calistung saat masuk SD. 

Menurut Pak Nadiem konsekuensi kita fokus pada calistung di anak usia dini menghilangkan skill-skil lain yang lebih penting. 

Yang terpenting dari masa TK adalah kemampuan regulasi emosional seorang anak. 

Dan jika dia tidak mampu meregulasi emosional dia tidak mampu berkomunikasi dengan orang sekitarnya. 

Anak TK bermain. Foto : Irma Tri Handayani
Anak TK bermain. Foto : Irma Tri Handayani

Jika begitu maka tak ada artinya calistung yang mati-matian dilakukan. 

Hal ini dikarenakan dia tak  bisa berpartisipasi dalam situasi sekolah. 

Sudahlah mak.. Antar saja anak-anak ke sekolah tanpa beban, jangan paksa lagi mereka calistung ya! Kita dukung semarak merdeka belajar untuk anak kita di TK. 

Biarkan anak-anak bermain puas di TK. Biarkan anak-anak hanya belajar berkomunikasi dan bersosialisasi.

Sementara mereka sedang asyik belajar dengan gurunya di dalam Kelas, mari kita ngobrol ngalor- ngidul dan menikmati semangkok bakso saja dipojokan sambil menunggu waktunya mereka pulang ya Maaak. 

Janji ya mak, ga paksa anak TK calistung lagi! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun