Awal pernikahan, bercinta itu pastilah kebutuhan. Maklum dua-duanya pengalaman pertama. Sesuatu yang rasanya luar biasa dan kemudian bisa jadi memabukkan.
Namun seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan sudut pandang bagi istri juga untuk suami.
Ketika hamil, tentu istri mengalami banyak hambatan. Repot dengan mual muntah. Berjibaku dengan lemas itu masalah di awal kehamilan. Semakin besar kehamilan, semakin sulit bercinta. Namun bukan berarti keinginan itu tak ada ya.
Begitu anak lahir, beda lagi yang dirasakan istri tentang bercinta. Horornya bayangan sakit saat mengeluarkan anak untuk yang melahirkan normal pun yang melahirkan SC membuat istri takut bercinta.Â
Belum 40 hari suami dah colek-colek lagi itu bikin keringat dingin. Luka jahitan masih terasa cenat cenutnya.
Ada bayi masalah muncul kembali. Di bulan awal istri berjuang untuk mengeluarkan ASI. Pola tidur bayi yang tak mengindahkan permintaan Bang Rhoma Irama untuk tidak begadang membuat dia siang pulas,malam buas. Meskipun mata istri sudah 5 watt, namun terpaksa mengikuti keinginan bayi.
Bulan berikutnya masalah selesai? Belumlah!. Yang namanya bayi kan belum bisa apa-apa selain nangis. Bawaanya pengen nempel terus minta ASI.
Dalam pelukan Ibu dia pulas,begitu diturunkan kasur sebentar saja dia sudah menangis lagi. Istri mengalami kelelahan.
Mata genit suami minta dilayani membuat istri ingin pergi. Rasanya sudah tak ada tenaga untuk bercinta. Jika pertarungan baru saja dimulai dan bayi menangis, maka istri merasa terselamatkan karena suami pasti rela mengundurkan diri demi anak.
Semakin bertambah usia anak semakin kerepotan bertambah. Energi ekstra keluar untuk menjaga, belum lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang tak pernah selesai, saat malam tiba sebenarnya istri sudah kelelahan akut pengennya ambil selimut.
Jadi yang saya rasakan sebagai istri masa bulan madu alias menyenangkannya bercinta hanya di awal menikah. Setelah hamil dan memiliki anak, urusan memuaskan suami hanya sebatas kewajiban saja karena takut kena dosa. Membiarkan dia bermain sendiri itu sering terjadi. Asalkan suami mencapai puncak saya pun lega.
Tak pernah lagi kepikiran untuk mencari cara agar saya puas. Lelah ini membelenggu. Kalau suami sudah tidur duluan saat malam senangnya bukan main. Artinya saya tak perlu melayaninya di ranjang.
Beda dengan suami. Sebagai lelaki katanya bercinta itu kebutuhan biologis yang memang harus disalurkan. Ada fasenya sperma matang dan siap dikeluarkan. Mungkin disitulah puncak saatnya suami ingin bercinta.
Nah perbedaan sudut pandang itulah yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah. Istri menganggap suami ga bisa empati atas kelelahannya sehari-hari. Sementara suami marah karena merasa istri sudah tidak lagi menginginkannya.
Bercinta dengan berbeda sudut pandang begini takkan memuaskan kedua belah pihak. Hambar tanpa rasa. Hanya sekedar saja.
Padahal bercinta adalah level atas dari pemberian dan penerimaan rasa . Perlu kerja sama yang baik untuk urusan kepuasan.Â
Tidak masalah siapa yang mampu menciptakan kepuasan .
Bagi suami, bangunlah komunikasi yang baik tentang istri . Istri merasa perlu diberikan pujian atas pekerjaan sehari- hari, lalu didengar keluhan istri tentang kesulitannya siang tadi.Â
Kalau istri sudah nyaman,maka colekan suami akan segera dibalas terkaman,percayalah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H