Sadarkah wahai para suami di muka bumi ini, pilihan memasang kontrasepsi bukan pilihan mudah buat kami, para istri. Suntik hormon baik yang 1 bulan sekali ataupun 3 bulan sekali tak menyenangkan untuk dilakukan. Harus menyerahkan diri pada jarum suntik itu meskipun sedikit tapi sakit.Â
Memasang IUD meskipun lebih praktis karena tidak perlu rajin kencan dengan dokter kandungan atau bidan katanya, tapi membayangkan ngilunya saat dipasang itu membuat saya sendiri tak terpikir memilih opsi ini. Belum lagi setelah sekian tahun harus dibuka dan diganti. Itu horor, horor sekali.
Nyali saya sendiri sebagai seorang istri hanya sanggup menelan pil KB tiap malam Energinya cenderung kecillah. Pil ya juga segede upil. Tinggal didorong air segelas, selesailah tugas negara. Malamnya enggak akan horor kalau dicolak-colek suami.Â
Namun si pil kecil ini juga bukan berarti tak ada efek samping, walau cocok biasanya badan jadi gembrot. Meskipun simpel, namun bikin jerawat di muka nempel. Dan katanya tidak aman digunakan dalam jangka panjang. Ah, minimal 4 atau 5 tahun ke depan saya aman ajalah dulu. Barangkali setelah 5 tahun saya punya nyali untuk pasang IUD.
Untuk beberapa emak, banyak yang menolak pil. Alasannya mereka sering lupa. Lah, pil kalau lupa efek kesuburannya konon lebih dahsyat. Tidak mudah untuk hamil saat anak masih kecil. Beda 1 tahun itu udah uji nyali namanya. Orang ada yang menatap iba,ada juga yang julid.Â
"Kasihan ya, kakaknya masih kecil!" Itu yang terucap.
Nih, emak-emak doyan banget bikin anak dah tahu repot pasang KB kek, itu yang percakapan dalam hati.
Beberapa teman saya memilih steril segera setelah kebobolan jalan menuju rahim ditutup dan sekali lagi para istri yang diobok-obok
Padahal sebelumnya emak-emak sudah susah payah melahirkan loh. Yang lahiran normal, itu mulesnya antara hidup dan mati. Ngeden yang disarankan bidan atau dokter enggak semudah ngeden BAB loh.Â
Begitu brojol ada yang dapat bonus jahitan. Bonus itu bikin para emak ngeri kalau mau buang air kecil. Dan lebih ngeri setelah 40 hari suami nyolek-nyolek lagi.
Yang lahiran SC apalagi. Ngeluarin bayinya sih hitungan menit dan ga pake mules atau ngeden. Tapi..sakitnya disuntik di tulang belakang itu serasa mendapatkan sterum berkilo watt.Â
Belum lagi pasca pemulihan. Belajar bangun, gerak samping kanan dan kiri itu ampun susahnya setengah mati. Sakitnya luka SC kemudian harus ditambah memberi ASI yang tak langsung lancar untuk pertama kali.
Apa yang saya tulis di sini hanyalah menunjukkan pada lelaki betapa untuk memasang kontrasepsi kembali wanita yang harus berkorban.Â
Jadi mengapa mesti wanita terus yang harus dikontrasepsi? Saya salut jika para suami mengajukan diri untuk diamankan. Bukan berarti akan melegalkan dia untuk jajan karena tak akan meninggalkan jejak junior.Â
Tapj pengorbanan suami untuk dipermak alat reproduksinya merupakan empatinya atas hidup mati istri yang telah hamil dan melahirkan buah hati mereka.
Di balik daster kuning merah selesailah tulisan yang ringan-ringan berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H