Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Cerita di Balik Mudik: Bagian 2 (Serial Status Galau Emak-emak Kacau)

16 Juni 2019   06:13 Diperbarui: 16 Juni 2019   13:15 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan indah dari hamparam sawah. Foto: Irma T.H

Selamat Pagi Cipari

Sepertinya di luar masih gelap. Harusnya kami masih berlindung dibalik selimut tebal. Maklum suhu Kampung Cipari saat itu dingin juga. Namun kegaduhan membuat mata tak bisa lagi terpejam.

Untung saya membawa bekal selimut. Selimut yang ada di rumah ini peninggalan empunya rumah yaitu almarhumah neneknya suami hanya ada dua. Jika yang tertidur 12 orang bisa dipastikan akan terjadi tarik menarik selimut menjelang shubuh. 

Saya sekeluarga mendapat kehormatan tidur di kamar, maklum masih punya bayi,sementara yang lain memilih menggelar tikar di ruang tengah.

Tungku perapian dipanaskan agar suasana rumah menghangat. Enaknya bakar singkong tuh diantara abu kayu bakar. Sayang kami belum memetik singkong jadi hari ini sarapan perdana kami nasi goreng.

Nasi goreng sederhana yang terdiri dari irisan bawang merah dan putih serta campur telur. Yang penting amankan dulu perut anak-anak dengan bahan makanan yang ada,nanti siangan dikit bisa memasak makanan khas dari sini.

Begitu membuka pintu belakang hijau pemandangan tersajikan. Dua ekor ayam yang sepertinya tadi pagi membangunkan dengan kokoknya tampak asyik berlarian.

2 ekor ayam di halaman belakang. Foto: Irma T.H
2 ekor ayam di halaman belakang. Foto: Irma T.H

Kami keluar rumah selepas perut kenyang. Satu persatu rumah kami kunjungi untuk salaman dan mencoba isi toples atau kaleng yang nongkrong di meja mereka.

Berkumpulnya Anak dan Balita

Tahun ini sepertinya tahunnya anak dan balita. Maksudnya hampir semua sepupu dari suami punya anggota keluarga baru. Ada yang baru satu ada juga juga yang sudah bertanbah jadi dua.

Generasi seusia anak -anak kami bertambah.  Teteh,anak saya kedua saja kini sudah punya 2 saudara yang sepantaran. Dede,anak bungsu saya sudah punya 5 saudara yang sepantaran.Jadilah teras-teras rumah seperti taman bermain.

Saudara cilik bergabung. Foto: Irma T.H
Saudara cilik bergabung. Foto: Irma T.H

Demi menambah keseruan mereka, kami sengaja membawa tenda dari kota. Dua tenda. Yang satu memanfaatkan karung bekas makanan kucing,yang satu lagi memang tenda beneran yang biasa digunakan Teteh bermain.

Terbukti mereka semakin betah berada di sini,selain berhaha hihi juga ramai berlati-lari,tenaga mereka seperti tak ada habisnya.

Bermain di tenda. Foto: Irma T.H
Bermain di tenda. Foto: Irma T.H

Baru jam 10 pagi,tapi perut saya sudah minta di isi. Wah kacau nih,mungkin dinginnya hawa pegunungan membuat kami gampang lapar.

Makan Bersama

Untunglah orang sini mengerti derita kami. Segera sedari pagi dua ekor ayam disembelih untuk menyambut kedatangan kami.  Ups, sepertinya dua ayam yang tadi pagi jalan-jalan di halaman belakang.

Meskipun dimasak dengan bumbu yang sama namun rasa daging ayamnya berbeda. Selain para ayam makannannya alami sedapatnya di tanah,juga masaknya menggunakan bahan bakar kayu. 

Acara makannya tentu ramai -ramai dengan ditemani lalap-lalapan dan sambel. Bibi paman,sepupu bahkan para bocah semua berebut piring

Makan nasi liwet,sambal dan ayam. Dokume pribadi
Makan nasi liwet,sambal dan ayam. Dokume pribadi

Wah,kalau sudah makan bareng begini mana tahan buat ga nambah makan. Good bye deh diet untuk menahan laju berat badan. Nasi habis masih ada lauknya,terpaksalah nasi ditambah. 

Nasi banyak lauknya habis terpaksalah mencomot ayam. Begitu terus seolah perut tak mau kenyang,keterpaksaan yang disukai. Jangan-jangan terjadi pertambaham volume lambung.

Nyaris semua orang mengalami kekenyangan. Wah gawat nih perlu digerakkan badan jangan didiamkan . Bisa berpotensi menambah lemak baru.

Berziarah Makam Leluhur

 Untunglah para sesepuh mengagendakan ziarah ke makam leluhur. Dengan kegiatan ini maka kami dipaksa untuk membakar lemak yang baru saja akan ditimbun.

Pemakaman leluhur itu letaknya di daerah perbukitan. Artinya kami harus berjalan menanjak.

Saat pergi saya dan suami yang ketinggalan rombongan karena saya menina bobokan dulu si kecil. Kami berdua memilih jalan mulus pedesaan. 

Maksudnya sih biar enggak terlalu sulit medannya. Biarlah lelah karena kaki yang bergerak menanjak saja. Segitu saja saya sudah hehoh menahan nafas yang seperti berlarian.

Jalanan menanjak namun sudah beraspal. Foro: Irma T.H
Jalanan menanjak namun sudah beraspal. Foro: Irma T.H

Sembari berjalan,kami berdua harap-harap tunggu sinyal datang. Ya,di kampung ini sinyal memang belum kuat. Susah menemukan inyal sekali ada, mampirnya sebentar. Dunia maya sulit ditemukan . Tapi bagus juga sih sebenarnya jadi kami menyatu dengan alam.

Rombongan sudah lama tiba di pemakaman sepertinya karena saat kami datang doa bagi leluhur sudah nyaris selesai dipanjatkan. Selepas doa air  disiramkan dan bunga-bunga ditaburkan.

Dasar anak-anak. Ada saja ide untuk bergerak. Di pemakaman itu ada pohon yang usianya sepertinya puluhan tahun. Tali akar yang terjuntai akhirnya membuat mereka merasakan bergelantungan laksana tarzan.

Anak kota mencoba sensasi menjadi tarzan. Foto: Irma T.H
Anak kota mencoba sensasi menjadi tarzan. Foto: Irma T.H

Ah,sempet ketar-ketir saya. Khawatir para makhluk halus penunggu daerah makam terganggu dengan keisengan bocah. Beberapa kali mengucap bismillah.

Kami pulang melewati jalan berbeda. Kali ini kami melewati persawahan.Mata seger tuh melihat hamparan padi.

Pemandangan indah dari hamparam sawah. Foto: Irma T.H
Pemandangan indah dari hamparam sawah. Foto: Irma T.H

Indahnya pemandangan di sekitar. Hasil karya Yang Maha Kuasa tiada duanya. Jalan beriringan melewati batas antar sawah membuat kami harus berhati-hati,salah pijak bisa meleset dan menginjak sawah.

Perjalanan baru setengah,eh anak-anak sudah menemukana surga lagi. Apakah itu?ah nanti saja ya saya teruskan di bagian ke 3. 

Eh,yang belum sempat baca bagian 1 boleh intip dulu ya biar keseruannya nyambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun