Ayah, hari ini tanggal 1 Juni adalah hari kelahiranmu. Usiamu tak lagi muda Yah, sudah 68 tahun. Semestinya di usiamu ini kau duduk manis di rumah,menikmati masa tuamu ,melihat keberhasilan anak-anakmu dan berrmain bersama cucu-cucumu.
Ayah, dipenghujung Ramadan sepatutnya kau semakin khusyu menjalankan ibadah. Seperti halnya lelaki tua lain kaupun semestinya melewati shalat tarawih lalu bercengkrama sebentar bersama tetangga di mesjid setelah itu kau kembali ke rumah menikmati hidangan buka puasa yang biasa kau nikmati selepas tarawih.Â
Masakan istrimu yang lezat tentu membuat makanmu lahap. Meskipun kini kau hanya tinggal bertiga dengan si bungsu namun suasana makan bertiga itu selalu menjadi rutinitas jika kau sedang ada di rumah.
Ayah,aku memang tak mengerti, mengapa di usiamu yang sudah tak muda lagi kau masih juga menjadi andalan di proyek-proyek pembangunan jalan tol yang sekarang sedang gencar-gencarnya. Kadang tak percaya kau mengepalai anak-anak muda yang bertitel sarjana. SMA saja kau tak tamat,namun kemampuanmu menjalankan proyek diakui oleh siapapun hingga kau tetap digunakan sebagai konsultan.Â
Ibu bilang kau memang hebat. Semenjak aku lahir sebagai anak perempuan setelah kedua kakak laki-lakiku,karirmu meningkat pesat. Perekonomian kalian berubah seiring kakak-lakak masuk sekolah.
Sayangnya keberhasilan ekonomi membuat kesetiaanmu luntur pada Ibu. Saat usiaku 3 tahun bahtera rumah tanggamu dengan Ibu kandas. Seorang gadis muda berhasil membuatmu berpaling dari Ibu.
Ayah,meskipun aku tak terlalu suka pada istrimu itu,namun sedari dulu aku hanya bisa pasrah. Jarangnya Ayah menjengukku membuatku tak begitu mengenalmu.
Aku hanya tahu dari Nenek kalau kau memiliki 3 anak bersama istrimu. Tak pernah terbesit keinginan istrimu untuk menyambut kami sebagai darah dagingmu.
Aku menyangka kau telah bahagia. Hingga saat usiaku semakin dewasa aku semakin mengenalmu. Pertemuan kitapun sering terjadi. Kerinduanku padamu lehih besar dibandingkan kesedihan karena kau tinggalkan. Maka aku selalu senang bertemu denganmu ayah. Tak ada benci yang tersisa.
Ayah ,dari ceritamu aku akhirnya tahu bahwa setelah Ibu kau memang tak bisa setia pada satu wanita. Istri barumu tak mampu menghentikan hasrat kelaki-lakianmu.
Hanya padaku kau berani cerita siapa saja wanita yang kau singgahi. Istrimu tak pernah tahu. Aku menyimpan rahasiamu itu hingga akhirnya semua tanpa sengaja diketahui istrimu.
Petulangan cintamu terbongkar setelah ada wanita lain datang mencarimu. Kisahmu dengan istrimu usai. Kau diusir dari rumah. Rumah besar yang kau bangun susah payah dari tenaga rentamu selepas menyelesaikan sekolah ketiga anakmu darinya. Permintaan maaf dan penyesalamu ditolak.
 Anak-anakmu darinya membencimu . Seseorang dari mereka malah meludahimu karena tak tega melihat ibunya dikhianati. Aku ikut sakit menengarnya Ayah, aku yang semestinya begitu bukan mereka. Mereka berhasil kau beri pendidikan dan kasih sayang sedari kecil hingga berkeluarga. Sementara aku kau tinggalkan begitu saja dalam pelukan tua Nenek.
Kaupun jadi sering menemuiku untuk mengadu. Semula aku bahagia kau lepas dari istrimu karena dendamku padanya atas terengutnya masa kecilku denganmu. Di mataku dia telah merebutmu dari sisi ibu. Namun melihatmu tak terurus dan luntang- lantung tak jelas,tiba-tiba aku berharap istrimu bisa memaafkanmu.
Kini aku malah jadi iba padamu ayah. Di sisa usiamu kau terlunta-lunta mencari tempat berteduh.Ajakan tinggal bersama keluarga kecilku tak kau iyakan. Mungkin kau tak enak pada suamiku.
Dan lebaran nanti adalah puncak penderitaanmu. Di sela isak tangis dalam percakapanmu di telpon tadi, Â kau mengatakan tak tahu akan kemana pulang saat takbir nanti berkumandang.
"Selamat Ulang Tahun Ayah..," hanya itu ucap lirih yang keluar dari bibirku sebelum menutup telepon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H