Sore menjelang magrib. Cuaca kurang bersahabat. Selain mulai gelap karena akan ada pergantian waktu juga mendung pertanda hujanpun terlihat. Bersama si cikal saya berencana mengunjungi seseorang.
Saya memanggilnya Mba Endang. Aslinya dari Jawa tengah namun saya lupa tepatnya darimana.Dia adalah orang yang biasa mencuci dan menyetrika di rumah. Â Datangnya tidak tiap hari melainkan dua hari sekali.
Saya memang membutuhkan tenaganya untuk mengerjakan dua hal itu. Memiliki bayi membuat saya kesulitan mengerjakan kedua hal tadi. Â Terutama menyetrika. Kalau mencuci kan mudah bisa tinggal masukkan ke mesin lalu ditinggal sambil mengasuh bayi. Â Nah kalau menyetrikakan harus satu persatu cenderung memakan waktu lama dan tidak bisa sambil mengerjakan yang lain.
Membantu sayapun sebenarnya belum lama. Ya semenjak saya punya bayi saja. Sebelumnya dia biasa membantu kakak ipar saya melayani pembeli di warung.
Bukan cuma tersiksa karena jadi harus kembali mencuci dan menyetrika tapi saya khawatir Mba Endang sakit. Meskipun bekerjanya gesit dan selalu rapih namun kelemahannya adalah dia susah sekali makan atau mengemil. Alasannya malas atau tak terbiasa.
Jika saya menyuguhi makanan dan minuman saat dia menyetrika pakaian, maka bisa dipastikan semuanya utuh. Kalaupun dipaksa baru mau menghabiskan minumnya saja.
Jadi , dalam sebulan ada saja hari dia tidak masuk karena sakit. Sakit pingganglah,sakit kepalalah atau sakit pinggang. Â Kalau diingatkan untuk menghabiskan makanan dia cuma tertawa dan kembali dia berkata.
"Enggak  biasa saya teh. "
Kalau sudan begitu saya cuma bisa geleng-geleng kepala.
Dan kini sekitar 100 meteran dari gang yang kami masuki nampaklah kontrakan yang ditinggalinya. Ini kali kedua sebenarnya saya kesini. Yang pertama beberapa hari sebelumnya, namun Mba Endangnya sedang tak ada di rumah saat itu.
Sayapun segera memasuki kontrakan yang terdiri dari beberapa kamar. Kontrakkan itu dia mengambil 2 kamar. Satu buat ketiga anaknya , satu lagi untuk dia dan suami.Â
Satu kamar harganya 200 ribu rupiah perbulan. Â Jadi biaya kontrakan perbulan 400.000 rupiah.Nah, upah dari saya digunakannya untuk membayar kontrakan. Sementara untuk sehari-hari dia menggunakan upah dari kakak ipar seperti yang Mba Endang pernah ceritakan.
Begitu masuk ke kontrakan, nampaklah Mba Endang di kamar pertama. Â Dia nampak sedang bersama ketiga buah hatinya. Terlihat kaget melihat saya. Mungkin tak menyangka saya akan mengunjunginya.
"Mba sehat? " tanya saya.
Diapun menyatakan bahwa saat ini sedang tak enak badan. Entah mengapa beberapa hari ini katanya sakit kaki.
Kamipun ngalor- ngidul saling bercerita kondisi  masing-masing.
Kamar Mba Endang tak terlalu luas,ada dua lemari di sana. Ada TV yang gambar layarnya tinggal setengah. Dan ada kasur yang sengaja di berdirikan agar tak sempit ruangan.
Melihat dari uang yang akan masuk ke kantong sepertinya lebih besar dibanding uang yang biasa diterima dari saya dan kakak ipar. Namun kelebihannya bekerja pada kami dia masih bisa bersama anak-anak. Masih bisa mengurus dan memperhatikan mereka.
Sebetulnya suaminya juga ada. Masih sehat, segar dan bugar. Namun sayang, sulit sekali bagi suaminya menghasilkan rupiah. Â Mencoba jadi pengojek gagal karena perlu duit untuk daftar jadi pengojek resmi sehingga sering mendapatkan perlakuan tak nyaman jika hanya berstatus pengojek ilegal.
Pernah juga suaminya ini diajak bekerja di proyek pembangunan di pulau Sulawesi. Sebulan di sana ternyata Pembayaran macet karena uang gaji pekerja dibawa kabur oleh Mandornya. Â Nyaris saja suaminya tak bisa pulang karena tak ada uang untuk ongkos. Bukannya membawa uang yang ada malah Mba Endang jadi mengongkosi suaminya pulang. Â Daripada luntang -lantung tak jelas di daerah orang lebih baik pulang dan membantunya mengurus rumah dan anak-anak.
Entahlah susah sekali suaminya mendapatkan pekerjaan. Ternyata laki-laki malah sulit mendapat tawaran pekerjaan tak seperti Mba Endang yang kalau terus dijalani tak sulit mendapatkan pekerjaan. Akhirnya Mba Endang terima nasib jadi tulang punggung keluarga.
Memang pekerjaan yang didapatkan tak jauh dari pekerjaan asisten rumah tangga sih katanya sambil tertawa.
Suatu kali sambil menyetrika dia pernah mengeluh.
"Kenapa ya teh hidup saya dari kecil susaaah terus. Kerjanya ikut ke orang terus? "Â
Sebelumnya dia bercerita saat gadis pernah bekerja sebagai melakikan bersih-bersih lantai bekas kotoran masakan di rumah makan padang. Setelah itu dia juga pernah menjadi asisten rumah tangga di keluarha tiongkok. Dan sebelum bekerja di rumah dia sempat bekerja juga di rumah Pak lurah katanya. Tapi saya tak tahu lurah daerah mana.
Atas pertanyaannya tadi saya tak berani menjawab hanya melempar senyum saat itu.
Nah, setelah mendengar pengakuannya yang berencana melanglang buana ke kota Malang saya tak bisa melarang. Saya hanya menyarankan pikirkan kelebihan dan kekurangannya jika dia jauh dari keluarga. Mungkin materi dapat lebih tapi kebahagiaan dengan anak bagaimana. Hmm, sambil memberi pandangan berkecamuk dalam hati saya , ini beneran tulus berpendapat  atau ingin mempengaruhi biar dia tak pilih pergi hihihi.
Dia pun tampak seperti berpikir. Tak lama dia curhat lagi.
"Teh, sebenarnya saya juga bingung ini PKH, kalau saya tak ada takutnya uangnya tak turun! "
"PKH, program keluarga harapan itu? Â Oh Mba dapat? "tanya saya.
Dia mengangguk lalu bercerita bahwa di tahun 2014 dia mendapat undangan dari Jakarta sebagai calon penerima PKH.
"Wah, di kontrakan ini dapat semua Mba? "tanya saya.
"Enggak teh, cuma saya! "jawabnya sambil tersenyum senang.
Dia menunjukkan kartu PKH yang diperolehnya tak lama setelah berkumpul di desa. Â
Jadi, setiap tiga bulan biasanya ada pemberitahuan dari ketua PKH jika uang akan cair. Â Besarannya 500.000 rupiah untuk setiap kali pencairan.
Pembagiannya benar-benar gratis kalau dulu kan ada bayarnya juga katanya.
Paling tidak kata Mba Endang untuk beberapa hari, keluarga bisa makan karena beras gratis. Lauk-pauknya kan gampang ibaratnya asal ada nasi campur garam saja cukup lah. Buat kita beras 8 kg tak masalah buat keluarga Mba Endang sangat luar biasa.
Dulu jaman belum dapat beras kalau beras sudah tinggal sedikit namun uang paceklik, agar cukup berasnya dibuat bubur. Lalu lauk pauknya terigu saja digoreng asal enak ditambahkanlah pelezat rasa ayam, ih sedih banget ya.
Bisa makan enak itu katanya kalau ada tetangga yang tahlilan. Kan lumayan tuh sama yang punya rumah suka dikasih bingkisan Sebangsa kue, teh dan mie instan. Kadang dus nasi juga. Makanya kalau bisa saat tahlilan semua anggota keluarga dikerahkan untuk menghadirinya. Ini antara miris dan lucu sebenarnya.
Selain dapat suntikan beras perbulan dan uang pertiga bulan ada lagi dana yang dialirkan pemerintah untuk Ovi, Salwa, dan Farel tiga anaknya untuk sekolah. Â Untuk yang masih sekolah dasar besaranya 450.000 sementara untuk yang SMP besarannya 750.000 dibagikan saat menjelang masuk sekolah.
"Ya besarlah teh, paling tidak tiap tahun ajaran baru saya tak usah pusing mikirin beli buku, beli sepatu dan seragam saya cuma tinggal cari uang buat kontrakan sama makan sehari-hari!" begitu katanya.
Pemberitahuan cairnya uang  untuk sekolah dititipkan lewat sekolah ketiga anaknya masing-masing.  Agar tepat sasaran tentunya.Jangan sampai yang untuk keperluan sekolah di selewengkan oleh orang tuanya.
Setelah ada kabar pencairan, Mba Endang tinggal menanyakan ke Bank ditunjuk terdekat sudah atau belumnya uang masuk. Tiga buku tabungan sekaligus dibawa saat mengecek.
"Teh, katanya pendamping PKH kalau untuk peserta PKH anak-anaknya nanti bisa gratis meneruskam sekolah sampai PTN !"Sambil memasukkan lagi Semua berkas Mba Endang memberikan tambahan informasi.
"Mba, masih inget ga situ pernah ngeluh kenapa dari kecil mba susah terus dan selalu jadi pelayan? " tanya saya.
"Semoga kelak kehidupan Mba terangkat oleh Anak-anak ya... Dorong mereka terus bersekolah merekalah investasi Mbak masa depan! "sambung saya langsung untuk menyemangati sambil tersenyum .
Mba Endang ikut tersenyum. Â Karena adzan magrib sudah berkumandang, saya pamit padanya.
Saya menyerahkan keputusan padanya untuk memilih pekerjaan yang terbaik. Meski sedih jika ternyata Mba Endang tak memilih terus membantu di rumah tapi saya senang pernah mengenal Mba Endang seorang pekerja keras .Â
Bantuan pemerintah dalam bentuk PKH dari Kementrian Sosial selain mampu menjaga perut anak-anaknya terisi oleh bantuan berasnya, namun juga telah memberinya harapan kelak hidupnya akan membaik setelah anak-anaknya sekolah tinggi dan sukses.
Program ini membuat subsidi dari pemerintah lebih tepat guna karena langsung menyentuh sasaran. Saya yakin banyak Mba Endang -mba Endang lain yang akan berhenti mengeluh setelah mendapat PKH. Semoga kemiskinan Semakin lama semakin bisa dipangkas dengan program ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H