Sayapun segera memasuki kontrakan yang terdiri dari beberapa kamar. Kontrakkan itu dia mengambil 2 kamar. Satu buat ketiga anaknya , satu lagi untuk dia dan suami.Â
Satu kamar harganya 200 ribu rupiah perbulan. Â Jadi biaya kontrakan perbulan 400.000 rupiah.Nah, upah dari saya digunakannya untuk membayar kontrakan. Sementara untuk sehari-hari dia menggunakan upah dari kakak ipar seperti yang Mba Endang pernah ceritakan.
Begitu masuk ke kontrakan, nampaklah Mba Endang di kamar pertama. Â Dia nampak sedang bersama ketiga buah hatinya. Terlihat kaget melihat saya. Mungkin tak menyangka saya akan mengunjunginya.
"Mba sehat? " tanya saya.
Diapun menyatakan bahwa saat ini sedang tak enak badan. Entah mengapa beberapa hari ini katanya sakit kaki.
Kamipun ngalor- ngidul saling bercerita kondisi  masing-masing.
Kamar Mba Endang tak terlalu luas,ada dua lemari di sana. Ada TV yang gambar layarnya tinggal setengah. Dan ada kasur yang sengaja di berdirikan agar tak sempit ruangan.
Melihat dari uang yang akan masuk ke kantong sepertinya lebih besar dibanding uang yang biasa diterima dari saya dan kakak ipar. Namun kelebihannya bekerja pada kami dia masih bisa bersama anak-anak. Masih bisa mengurus dan memperhatikan mereka.
Sebetulnya suaminya juga ada. Masih sehat, segar dan bugar. Namun sayang, sulit sekali bagi suaminya menghasilkan rupiah. Â Mencoba jadi pengojek gagal karena perlu duit untuk daftar jadi pengojek resmi sehingga sering mendapatkan perlakuan tak nyaman jika hanya berstatus pengojek ilegal.
Pernah juga suaminya ini diajak bekerja di proyek pembangunan di pulau Sulawesi. Sebulan di sana ternyata Pembayaran macet karena uang gaji pekerja dibawa kabur oleh Mandornya. Â Nyaris saja suaminya tak bisa pulang karena tak ada uang untuk ongkos. Bukannya membawa uang yang ada malah Mba Endang jadi mengongkosi suaminya pulang. Â Daripada luntang -lantung tak jelas di daerah orang lebih baik pulang dan membantunya mengurus rumah dan anak-anak.