" Mak!" Panggil Utin,gadis kecil berusia 10 tahunan.
"Kenapa?" Tanya emaknya sambil terus memilah-milah botol bekas hasil memulungnya.
"Lapar Mak!" Mulut kecil itu lirih mengeluhkan suara perutnya.
"Udin juga lapar!" Disebelah Utin, Adiknya Udin juga mengeluh.
"Sama Mak,lapaaar!" Uwin, Ukin dan Usin serempak berseru seakan merasa diberi Jalan oleh keluhan kakak tertuanya.
Emak Entoh menghentikan aktifitasnya. Seakan baru tersadar bahwa kelima buah hatinya belum makan. Sudah hampir jam 3 terlalu sore untuk jam makan siang.
Emak mengintip tempat berasnya. Hanya tinggal satu mangkok kecil,takkan cukup jika ditanak untuk kelima anaknya. Untuk dirinya tak diperhitungkan. Yang penting kelima anaknya.
Ah,untuk membeli beras lagi emak tak mungkin bisa. Plastik hasil pulungannya bersama kelima bocah belum sempat dijual ke pengepul. Nyaris tak ada lagi uang di saku celananya.
Menunggu uang hasil jual botol plastik tak bisa cepat. Anak-anak nya pasti sudah lapar berat karena tadi pagi dia sudah menjanjikan makan siang mengenyangkan pengganti sarapan yang hilang. Pasti kelima bocah itu akan menjerit-jerit.
Emak Entoh pun menyalakan api untuk membakar  kayu-kayu bekas . Tak ada kompor gas yang bisa dinyalakan . Setelah api terlihat dinaikkannya panci berisi beras tadi dengan air yang tak terlalu kebanyakan untuk ukuran Tanak nasi. Ya Emak Entoh berencana membuat bubur saja agar bersama yang tak seberapa ini cukup untuk semua.
"Bubur lagi Mak?tanya Utin dari belakang.
"Iya nak, Emak kan belum dapat uang,"
"Ah emak,katanya siang makannya bisa kenyang!"Udin protes.
"Nanti malam deh kita kenyang makan,sementara bubur saja dulu ya makan kali ini,semoga sore kita sudah bisaa menukarkan botol-botol plastik ini ke pengepul," kembali Emak hanya bisa berjanji. Sebetulnya ia tak yakin,bahkan nanti malam pun belum tentu ada makanan. Entah kalau besok.
Meski kecewa namun kelima anak Emak Entoh bisa menerima. Karena memasak bubur memakan waktu lama, maka Emak meminta mereka bermain dulu di luar agar tak terasa saat menunggu.
Baru saja air mulai mendidih dan beras mulai dimasukkan, anak-anak yang tadi keluar untuk bermain,kini masuk kembali.
"Di luar mendung Mak!"kata Utin
"Kayaknya mau hujan besar Mak!"Udin menimpali.
"Takut Mak! Ketiga bocah lain serempak berteriak.
Betul saja ,ketika Emak Etoh baru saja berniat  melihat cuaca diluar, Emak Entoh melihat hujan sudah mulai turun.
Tanpa gerimis dahulu, hujan langsung turun dengan derasnya. Emak berusaha menutup pintu. Entah mengapa sedikit susah sepertinya ada angin yang menahan pintu tertutup.Â
Hujan deras membuat rumah mereka kembali dibasahi air hujan seperti biasanya. Maklum atap rumah mereka sudah banyak yang bocor. Belum lagi bilik rumah mereka sudah banyak yang bolong. Selain tak ada Bapak yang bisa membetulkan,juga terlalu mahal bagi mereka yang makan saja masih sulit .
"Mak basah !"teriak Utin.
Mak Entoh mengeluarkan panci dan ember yang ada untuk menadah air hujan. Namun entah mengapa kali ini tak bisa tertampung. Sepertinya hujan memang terlalu deras.
Ibu dan kelima anak yang usia satu sama lain tidak tak jauh itu mulai kebasahan. Hujan sepertinya makin menggila.Â
Kelima anak itu semula tertawa girang karena kebasahan. Emak Entohkan biasanya melarang mereka untuk bermain hujan-hujanan.
"Emak,itu pintu terbuka!"Udin berteriak melihat pintu yang tadi susah payah ditutup Emak Entoh kembali terbuka.
Hujan semakin brutal memasuki rumah. Angin bertiup tak seperti biasanya. Emak Entoh kembali berusaha menutup pintu rumahnya. Melihat kesulitan yang ditunjukkan emaknya, Utin dan Udin mencoba membantu menutup pintu yang jika malam tiba sudah tak pernah dikunci hanya diselot saja karena telah rusak.
Tepat saat mereka membantu Emak Entoh, tiba-tiba angin sangat kencang menggulung semua dinding bilik di sekitar mereka. Sebelum itu atap yang dari tadi bocor telah terlempar jauh entah kemana. Bukan lagi setetes demi setetes air hujan yang membasahi bumi,tapi hujan sudah masuk semua ke dalam rumah.
Mereka saling berpegangan menahan terpaan angin maha dahsyat yang terlihat berputar itu. Angin itu melumat semua benda di sekitar mereka. Namun tak mengena mereka. Tak lama,hanya beberapa menit. Setelah itu pergi entah kemana dan hujan berhenti secara tiba-tiba tiba. Cuaca kembali terang.
Emak Entoh terperangah. Rumahnya habis terbawa angin puting beliung. Entah dimana panci berisi beras tadi. Emak memeluk ke lima anaknya. Menangisi makan siang dan rumah yang hilang.
****
Mak Entoh tersenyum melihat kelima anaknya lahap menyantap sarapan pagi. Makanan lezat banyak dikirim oleh dermawan. Sementara di depan sana rumah mereka mulai diperbaiki oleh para relawan. Rumah mereka sebentar lagi akan berdiri kokoh dan tak bocor seperti kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H