Saya membayangkan di usia SMP 11-14 tahun anak sedang memasuki masa pubertas. Katanya di usia itu harus ada pertukaran kedekatan gender. Anak perempuan harus dekat dengan ayahnya agar dia tak mudah digombali mungkin hehehe. Â Anak laki-laki harus dekat dengan Ibunya agar belajar menyayangi.Â
Masa kelabilan dalam hidupnya. Â Di masa itu tentu pembentukkan karakter anak terjadi. Meski secara ilmu agama dia pasti terus diisi namun bagaimana dengan caranya menyelesaikan masalah sehari-hari? Jika di rumah dia akan mempelajari sosok ayahnya saat menyelesaikan masalah rumah.Â
Kelak saat dia menjadi ayah dia mengamalkan apa yang dilihat dari ayahnya untuk anak lelaki.
Begitupun untuk anak perempuan, Â dia akan meniru ibunya dalam menghandle smua pekerjaan rumah tangga laksana ibunya. Apa cukup dia melihat cara menyelesaikan itu dalam guru pesantrennya?
Masalah di rumah, masalah hidup temtu berbeda dengan masalah di pesantren. Di pesantren mungkin tak ada yang memintanya untuk menjaga adiknya walau sebentar. Di pesantren apa mungkin saya bisa memintanya menemani saya untuk membereskan rumah .Â
Jika dia punya masalah dia akan bercerita pada ayah atau ibunya di rumah lalu kami memberinya solusi dari sudut pandang kami, bagaimana dengan di sana? Kami tak mungkin mendengarmya bercerita di malam hari.Â
Saya takkan bisa memeluknya saat anak perempuan saya menangis karena mengalami ketidaknyanan dan sebagainya.Â
Kelak dia akan menjadi ayah dan ibu juga, pola siapakah yang dia ikuti nanti apakah kami orang tuanya atau guru-gurunya di pesantren.Â
Maka memang hebat sekali menurut saya teman-teman yang menitipkan anak-anaknya di pesantren. Â Saya termasuk orang tua yang tak sehebat itu. Saya memilih tumbuh dan berkembang di sampingnya.Â
Belajar agama bersamanya. Memilihkan sekolah berbasis agama. Mencarikan guru mengaji, menyuruhnya pergi ke mesjid saat waktunya sholat.Â
Meski akhlak kami mungkin jauh dari sholeh sholehah tapi kami memang  termasuk orang tua yang penakut karena tak bisa jauh dari buah hati.Â