Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terancamnya Regenerasi Petani

15 Oktober 2018   17:05 Diperbarui: 15 Oktober 2018   18:23 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu Lalaki langit, anak cikal saya memilih pakaian petani untuk digunakan sebagai baju yang akan dia kenakan di karnaval sekaligus foto profesi di sekolah, saya sempat tertawa. 

Anak yang lain memilih jadi dokter, tentara, pembalap, guru atau direktur eh dia malah petani. Alasannya sih biar beda sendiri begitu katanya. Hmm, saya kira memang dia ingin jadi petani betulan.

Petani memang bukan cita-cita kebanyakan anak kita.  Padahal negara kitakan negara agraris ya. Negara kita juga pernah mampu berswasembada pangan katanya. Tapi mengapa petani tak pernah jadi pilihan sebagai cita-cita anak Indonesia?

Bahkan presiden Jokowi kalau tidak salah pernah menyentil lulusan IPB saat menghadiri acara wisudaan dengan menyarankan mereka untuk mengurus dunia pertanian bukannya malah kerja di bank. 

Ya, memang banyak yang kuliahnya di jurusan pertanian tapi saat kerja malah jauh dari dunia tani. Lah terus ngapain mereka milih jurusan pertanian? Cuma mengejar titel sarjana doang ?

Itu yang akademisi, nah yang di kampung suami saya sendiri (maaf saya kebetulan tak punya sanak saudara di kampung jadi pakai sampel punya suami ya) ,sepertinya pekerjaan petani berhenti di level paman uwa dan bibi. 

Anak-anak mereka seusai Sekolah mereka lepas ke kota. Tak ada satupun yang berharap anaknya jadi petani juga. Bekerja di pabrik malah lebih membanggakan karena memiliki gaji katanya. Yang jadi pengasuh dan pelayan toko juga ada beberapa malah. Kalau ada yang mencari tenaga kerja dari kota, semua malah berebut jatah. 

Jika kebetulan berkunjung ke sana ,di hari raya,hanya orang tualah yang masih pergi ke sawah, masih setia menggiring sapi serta domba, dan masih rajin membuat gula aren. 

Anak-anak mereka tak tergoda untuk turun ke sawah juga. Kalaupun pergi ke sawah,  mereka hanya memperhatikan saja sambil menikmati makan di tengah sawah. Laksana pengunjung di kebun raya. Tunjuk sini-sana pada anak istrinya.

Dokpri
Dokpri
Jikapun masih tersisa para pemuda di kampung itu hanya satu dua yang ayah-ibunya dibantu,sisanya malah memilih mengojek saja atau hanya berkumpul tak jelas hingga mereka dapat pekerjaan selain jadi petani. 

Dengan tidak melibatkan anak-anaknya untuk membantu mereka, jelas memang orang tuanya sendiri tak ingin mereka menjadi petani ini yang saya tak pernah mengerti

Apa karena mereka tak mau anak-anaknya berkubang lumpur, bermandi keringat dan berbau sengatan matahari? 

Apa mereka sendiri merasa bahwa pekerjaan petani tak bisa digunakan untuk menyenangkan hati? Mungkinkah mereka merasa bahwa uang dari bertani tak seberapa? Mungkinkah modal saat menanam benih dengan modal pinjaman sana-sini tak pernah kembali lebih saat menuai panen? 

Kalau iya mungkin cara bertani mereka yang kurang tepat. Di jaman canggih begini pasti banyak ilmu pertanian dari sarjana baru yang bisa membantu. Dengan bantuan para sarjana pertanian sawah mereka menghasilkan uang milyaran. 

Nah semestinya para sarjana pertanian lari ke sawah jangan cuma ingin gaji mewah di tempat kerja yang "wah". Betul tuh berarti kata pak Jokowi! Ayo, turun langsung membantu petani!

Jika terus seperti itu ,maka regenerasi petani akan berhenti. Setelah mereka meninggalkan dunia ini, maka sawah mereka akan tinggal kenangan. Hayo siapa yang akan meneruskan kalau anaknya semua terperangkap di kota. 

Semoga ada angin baru yang mengguncang dunia pertanian sehingga petani di sawah akan menjadi salah satu cita-cita anak Indonesia. Sawah bukan hanya sekedar pemandangan. 

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun