Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Tukang Kredit Menyapa (Serial Status Galau Emak-emak Kacau)

2 April 2017   17:40 Diperbarui: 4 April 2017   15:15 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Jemuran hasil kreditan. Dokumen pribadi"][/caption]Semenjak pindah ke rumah sendiri, terasalah bahwa harta kekayaan rumah tangga masih banyak yang belum dibeli.

Saat masih di perumahan mertua indah semua barang sudah tersedia sehingga tak pernah terpikirkan akan kebutuhannya. Makan minum tinggal buka mulut tak pernah terpikirkan jumlah gelas atau piring.

Setelah pindah baru sadar bahwa gelas ternyata punya 6 buah , sendok yang masih kurang dari selusin . Mungkin baru piring sih yang sudah ada selusin itupun hasil hibah dari ibu mertua.

Untungnya perlengkapan rumah tangga utama sebagian sudah parkir seperti Tempat tidur, lemari, tv, kulkas, kompor gas dan kursi tamu.

Nah baru terpikir kebutuhan akan suatu barang ketika akan menggunakan.
Suatu hari setelah selesai mencuci barulah sadar kalau tali jemuran yang hanya terbuat dari tali rapia ini tak kuat menahan beban baju yang di jemur.

Padahal pembuatannya sudah berulang -ulang.
Akibatnya baju yang nyaris kering jatuh berjamaah ke tanah. Kalau sudah begitu rasanya ingin menangis sambil guling-guling.

Edisi memasak beda lagi, mau bikin santan lupa alat parutnya belum punya, mau goreng-goreng, baru inget kalau penggorengannya belum ada.

Untuk beberapa minggu awal makanpun beli makanan siap saji. Akibatnya biaya hiduppun membengkak.

Hasrat hati ingin melengkapi perabotan rumah tangga, apa daya dana awal rumah tangga belum mencukupi. Proposalpun belum bisa direstui suami.

Hingga pada suatu hari malaikat itu datang (hahaha,sepertinya berlebihan). Di suatu pagi yang cerah ,dimana embun pagi mulai menguap dan matahari bersinar dengan indahnya, ciehhh....Dan deru pelan sebuah mobil tertangkap telinga semakin mendekat. Lalu terdengar suara dari balik toa.

"Perabot perabot perabot! "

Aku yang saat itu sedang asyik menyuapi si kecil menatap heran penampakkan ini.

Sebuah mobil bak terbuka. Dimana panci, penggorengan, dan wadah-wadah terlihat memenuhi baknya.

Tak perlu waktu lama para emak mendekat. Ada yang mencari  sapu, ada yang mengorek penggorengan, ada yang menanyakan harga lemari bahkan kompor gas.

Sebagai pemula aku hanya memperhatikan kelakuan mereka.

"Beli apa nih? " tanyaku pada salah satu emak-emak yang tidak perlu diekspos namanya karena menyangkut nama baik katanya.

" Beli lemari,kompor gas, panci sama pisau! " ujarnya sambil menunjukkan semua barang yang dia pilih.

" Wah, hebat Bu, tanggung bulan begini masih bisa beli segala!" pujiku yang salut melihatnya masih sanggup membeli peralatan secara kalau akusih isi dompet sudah nyaris tak berpenghuni.

" Lah, kan bayarnya dicicil, tar mulai nyicil kalo dah gajian aja" jelasnya bangga

Wah, menarik sekali, ada metode pembelian dengan cara dicicil. Emak-emak itukan kalau mau mengeluarkan uang banyak rasanya berat sekali. Istilahnya serasa dirampok.

"Dicicilnya suka berapa Bu? "

"Tergantung punya duit berapa, kalau tanggal muda ya 20 ribu, tengah bulan 10 ribu, akhir bulan kalau enggak 5000 ya, pasang muka memelas aja sama tukang kreditnya biasanya dia memberikan keringanan."

Waaw, akupun semakin tertarik. Barang-barang yang ada di depan mata begitu mengoda.

"Mau Bu? "

Pertanyaanya mengagetkanku. Aku mengangguk malu-malu.

"Pa'iiii... Ni ada yang mau mau ngutang perabotanmu!"

Seruan Bu ini malah disambut gelak tawa semua emak-emak . Sepertinya mukaku memerah nih.

"Ayo silahkan mau beli apa Bu? "

Sang tukang kredit yang dipanggil Mas Pa'i mendekat.

" Batasnya berapa? "

"Hahaha.. Ya bebas lah semaksimal malunya ibu ngutang, " jawab Mas Pa'i cuek.

Akupun mengangguk mantap. Lalu segera tangan ini bergerilya mengambil perbotan yang kubutuhkan. Sebuah sapu, pengki, tempat sampah dan tudung saji berhasil kuraih.

Setelah yakin akan barang yang dipilih aku pun ikut antri seperti emak-emak lain untuk menghadap Mas Pa'i dan melaporkan barang yang akan dikredit.

"Namanya siapa Bu? "

Mas Pa'i mengabsen. Tangannya sudah siap menulis namaku di dalam buku hutangnya.

" Mama Miyu,"

Karena di sini tak terbiasa menyebutkan nama sendiri atau nama suami, maka akupun seperti emak-emak yang lain menyebutkan menyebutkan nama anak.

" Uang mukanya mau berapa? "

"Harus berapa? "

"Ya bebas berapa aja saya terima! "

Ah, luar biasa! betapa menyenangkannya modus berbelanja pada Mas Pa'i ini. Dia tak takut apa kalau emak-emak yang berhutang akan melakukan kredit macet?

Namun menurut emak-emak yang tadi tak mau disebutkan namanya atas dasar takut ketahuan berhutang, mas Pa'i  bisa membaca aura pembeli kalau auranya jelek dia tak akan mau memberikan kredit barang, hmm.. Apakah aku harus tersanjung atau terhina dipercaya berhutang?

Hari yang sangat bersejarah dalam catatan kehidupanku di komplek ini.

Nah, semenjak hari itu aku resmi berhutang pada Mas Pa'i tukang kredit keliling.

Berkat sistem pembeliannya yang boleh dihutang dan dicicil, perabotan rumah tanggaku semakin lengkap.
Selamat tinggal jemuran rapia yang sering putus, sekarang sudah berdiri kokoh jemuran besi berwarna kuning.

Tinggalkan cara menyetrika sambil duduk selonjoran di lantai. Kesemutan dan pegal sudah tak terasa setelah meja setrika ini jadi penghuni baru.

Dan tanggapan suamiku? Meski dia semula protes atas pilihanku ini, namun setelah melihat istrinya tak pernah minta uang tambahan namun kelengkapan perabotan semakin terlihat sepertinya diapun mulai sepakat.

Malam ini satu-satu daftar perabotan rumah tangga yang tadinya belum ada mulai kuceklis.

Kusambut hari esok dengan hutang baru..

 

***

Jangan tiru cerita ini. Cerita ini dialami oleh seorang ahli. Kalau tak ahli maka berkredit membahayakan keuangan rumah tangga anda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun