Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Unlimited Dreamnya Seorang Emak-emak

25 Mei 2016   23:27 Diperbarui: 25 Mei 2016   23:34 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkenang masa lalu. Usia 3 tahunan. Saat itu saya terbangun dari tidur dan menyadari kalau Ibu yang sebelumnya menemani tidur siang tak lagi saya temukan padahal sebelumnya dia meninabokokan dengan belaian, pelukan dan nyanyian.

Seketika saya mencari-carinya. Bibir mungil ini tak berhenti memanggilnya. Dengan berurai air mata saya turun dari tempat tidur, lalu berlari untuk mencarinya. Tanpa memperhatikan jalan entah bagaimana prosesnya saya terjatuh dari tangga hingga berguling-guling. Memori buram itu masih terbenam kuat di lubuk hati saya hingga kadang muncul kembali sebagai mimpi buruk.

Tanpa saya mengerti alasannya, kedua orang tua saya bercerai. Sayapun ditinggalkan di rumah Nenek. Kalau keberadaan Ayah sebenarnya tak terlalu saya cari namun hadirnya Ibulah yang selalu saya nanti. Meski tak pasti sesekali beliau masih datang sebentar lalu kembali pergi.

Setiap malam saya merindukannya dan kalau dia datang lalu pamit pulang saya akan mengantarnya pergi dengan tangis dan terus berdiri di ujung jalan meskipun bayangannya sudah lama menghilang.

Kerinduan mendalam pada sosok Ibu membuat saya berharap jika kelak saya menikah kelak dan memiliki anak saya tak akan pernah meninggalkan mereka dari terbit fajar hingga malam menjelang.

Namun sayang harapan saya berbenturan dengan kenyataan. Gaji suami yang tak seberapa sebagai pengajar honorer menyebabkan saya harus membantunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski berat saya terpaksa memilih bekerja dan meninggalkan kedua buah hati saya pada Ibu mertua.Di tengah terik mentari sayapun melangkah untuk mengais rejeki dengan perasaan galau tak berkesudahan karena ingat terus mereka. 

[caption caption="Menantang matahari dokumen pribadi"][/caption]

De javu itu akhirnya terjadi. Jika dulu sayalah yang ditinggalkan maka kini saya yang meninggalkan. Betapa hati saya menjerit ketika buah hati saya menangis dan tak ingin ditinggalkan drama "Mama jangan pergi" terulang lagi.

Sepertinya saya harus segera mengakhiri ini. Saya tahu beratnya perasaan mereka. Saya tak ingin mereka seperti saya.

Berbekal keinginan itu sayapun mencari akal bagaimana caranya saya tetap bisa membantu suami dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah tanpa harus meninggalkan kedua buah hati. Namun saya kebingungan harus melakukan apa.

Tanpa saya sadari kegalauan yang saya ungkap tiap saat di sosial media menarik perhatian teman-teman yang membacanya. Cara saya menuturkan cerita keseharian saya sering mendapat komentar yang positif dan menghasilkan emoticon tawa dari para pembaca.

Sepertinya kebiasaan menulis diary dari masa SD dulu membuat saya lancar jaya dalam bercerita. Memang dulu saya pernah bermimpi untuk menjadi penulis. Namun bergulirnya waktu membuat saya melupakan mimpi itu.

Kebingungan lalu melanda saya. Dari mana saya harus memulainya. Adalah kawan saya saat kuliah dulu yang mengenalkan saya pada kompasiana. Sebagai langkah awal saya di sarankan menulis di sini. Sambil memfasihkan cara merangkai kata sayapun lalu mencoba. Di bulan Februari saya bergabung dengan kompasiana.

Meski hingga detik ini belum ada cerpen saya yang terpilih jadi pilihan maupun headline saya masih optimis untuk terus mencoba. Tulisan saya masih terlalu sedikit untuk dikategorikan sebagai kompasianer.

Kendala yang saya hadapi adalah alat yang mendukung proses penulisan. Laptop saya tak punya, sementara hp pun masih edisi jadul. Sayapun berputar otak. Akhirnya setelah beres bekerja sebelum pulang ke rumah saya meminjam komputer kantor untuk menulis dan menayangkan tulisan itu di kompasiana.

Masalah muncul kalau kebetulan punya ide menulis namun kerja sedang libur. Untunglah tak jauh dari rumah ada warnet. Sayapun memilih pergi ke warnet. Meski jauh dari kesan nyaman karena harus berada diantara anak-anak yang asyik bermain game on line namun saya tak punya pilihan lain.

Tak bisa terus-terusan melakukan modus operasi begini akhirnya sebulan yang lalu saya mengajukan pinjaman ke koperasi untuk membeli gadget berjenis tab demi memuluskan jalan menulis. Selain harganya tak semahal note book atau laptop sepertinya gadget berjenis tab lebih mudah dibawa kemana-mana karena ringan.

Ternyata ketika diasah kembali menuangkan ide lewat tulisan itu menyenangkan. Dan kini muncul mimpi baru saya yaitu membuat novel berisi catatan galau seorang ibu yang kerepotan bekerja, mengurus rumah dan mengasuh anak.

Sumbernya akan saya ambil dari status-status yang pernah saya buat di sosial media.Kekuatan saya dalam bercerita adalah menghadirkan sisi humor yang selama ini sering membuat teman-teman saya terpingkal-pingkal saat membacanya.

Saat ini saya baru menginventaris status yang saya buat dari tahun 2010 sampai sekarang dengan ditulis tangan terlebih dahulu. Meski baru menulis sampai tahun 2012 karena terganjal oleh kesibukan sebagai ibu pekerja dan ibu rumah tangga namun saya usahakan dalam satu bulan saya bisa menginventaris semua.

[caption caption="Inventarisir tulisan tangan dokumen pribadi sokumen pribadi"]

[/caption]

Jika selesai saya akan pilih status yang menarik untuk saya kembangkan jadi sebuah cerita. Sebagai tonggak awal saya sudah menulis di kanal fiksi kompasiana sebuah cerita berjudul "Status Galau Emak-emak Kacau ( part 1: menikah) tanggal 12 Maret 2016. Disitu saya menuliskan perisriwa pernikahan yang saya alami .

Memang masih panjang jalan menjadi seorang penulis. Namun saya mentargetkan tahun ini saya harus menyelesaikan penulisan novel itu. Jika saya berhasil membukukan catatan harian ini sayapun bisa berhenti pergi dari rumah untuk bekerja namun tetap memiliki penghasilan.

Mimpi terbesar saya adalah tinggal dirumah mengurus rumah, suami dan selalu memeluk buah hati hingga mereka besar nanti sambil menjadi penulis novel handal sepertinya layak menjadi jalan mewujudkanya. 

[caption caption="Impian selalu bersama keluarga dokumen pribadi"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun