Mohon tunggu...
Irma Tri Handayani
Irma Tri Handayani Mohon Tunggu... Guru - Ibunya Lalaki Langit,Miyuni Kembang, dan Satria Wicaksana

Ibunya Lalaki Langit ,Miyuni Kembang,dan Satria Wicaksana serta Seorang Penulis berdaster

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah dalam Putaran Roda Sepeda

25 Maret 2016   22:25 Diperbarui: 25 Maret 2016   22:44 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Mendengar kata sepedaitu bisa membuat mulut saya menganga, diikuti berbinarnya mata laksana orang kelaparan yang menemukan sepiring makanan kesukaan.Ya, saya sukaaaa sekali benda yang satu ini. Semenjak usia 6 tahun ketika saya mulai mahir mengayuhnya, disaat  itulah saya seperti ketagihan untuk menaikinya.

Tak terhitung luka berdarah di dengkul begitupun memar-memar di sikut kanan-kiri hasil jatuh bangun bersepeda. Meski saat malam tiba cenat-cenut terasa, namun esoknya saya tak kapok untuk menggoesnya kembali.

Sayangnya, saya termasuk anak yang kurang beruntung karena tidak memiliki sepeda sendiri. Untungnya teman-teman di masa kecil saya mau berbaik hati untuk saling bergantian meminjamkan sepeda mereka. Walaupun kadang saya yang tak tahu diri keasyikan bersepeda hingga lupa mengembalikan sepeda pada pemiliknya.

Saat menginjak kelas 6 SD, kakak laki-laki tertua saya dibelikan sepeda oleh Ayah. Sebuah sepeda wimcyclenamun saat itu saya belum tahu tipenya. Meski kakak saya yang dibelikan namun pengendara tetapnya adalah saya. Seringkali kami berebut untuk mengayuhnya, untunglah  jurus menangis sekencang-kencangnya selalu berhasil diterapkan sehingga saya yang selalu menjadi memenangkan perebutan itu..

Yang tak pernah terlupakan dari sepeda itu adalah berkat kehadirannya saya berhasil menemui Ibu saya yang telah terpisah semenjak saya berusia 4 tahun. Kebetulan saya dibesarkan oleh nenek sementara orang tua saya berpisah dan memiliki rumah tangga baru. Berbekal sekilas memori saat diajak menginap di rumahnya, saya pun memberanikan diri menemuinya kembali mengendarai sepeda itu.

Jarak rumah Nenek dengan rumah Ibu kurang lebih 5 km. Saya ingat betul saat itu matahari sedang terik-teriknya, ketika kaki-kaki kecil saya berjuang mengayuh wimcycle membelah keramaian jalan raya di mana berseliweran mobil dan motor hanya untuk melepas kerinduan pada Ibu

Sayangnya 3 tahun kemudian sepeda itu nenek jual untuk membayar uang masuk sekolah kakak saya.Sediiih rasanya saat itu, ingin sekali saya memiliki sepeda kembali. Semenjak saat itu saya nyaris tak pernah bersepeda lagi.

Setelah saya menikah dan memiliki satu anak aktifitas bersepeda ternyata mendapat peluang untuk dilakukan kembali. Di suatu hari saat tanpa sengaja saat ayah mertua sedang membereskan gudang, saya melihat sebuah sepeda teronggok di sudut ruangan. Rupanya itu adalah sepeda yang sudah lama tak terpakai. Sepeda yang entah apa mereknya itu, wujudnya menyerupai sepeda wimcycle tipe Starlite 7 speed, sepeda peruntukkan perempuan dewasa dengan keranjang di depan dan boncengan di belakang. Setelah mendapatkan sedikit sentuhan tangan dingin sang mertua, akhirnya sepeda itu pun siap untuk meramaikan khasanah dunia persepedahan.

Seperti menemukan kembali dunia yang hilang, itulah yang saya rasakan saat menemukan sepeda itu. Hampir tiap hari saya bersepeda. Di sore hari momen bersepeda ini saya manfaatkan untuk berkeliling menjelajahi komplek bersama Langit anak pertama saya, kalau sedang tidak sibuk suami pun ikut menemani.

["Penjelajah komplek"][/caption]

Kegilaan bersepeda makin membara setelah anak ke dua saya Miyuni Kembang lahir. Meski harus sambil menggendongnya saat berbelanja ke pasar atau hanya sekedar membeli garam di warung yang tak sampai 50 meter jaraknya. Tak pernah terlintas kerepotan  saat harus menggoes sepeda itu, meski selain menggendong Miyuni seringkali di belakang Langit ikut duduk manis di boncengan.

Sebenarnya sepeda itu sudah pantas dikatakan butut. Selain  karena warna bodynya  sudah memudar, bannya pun sering kempes bergantian dan kalau lagi apes kadang dua-duanya kempes bersamaan. Penyakit terakhirnya adalah remnya tidak berfungsi karena lepas dan entah disimpan di mana oleh empunya. Jadi untuk yang satu ini perlu keahlian khusus bermodalkan sandal jepit butut untuk digusur saat akan mengurangi kecepatan.

Suatu hari saya mengantarkan Langit ke sekolah dengan menggunakan sepeda itu. 100 meter pertama saya dan Langit masih tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi riang agar perjalanan tak terasa. Dua ratus meter kemudian barulah terasa beratnya karena medan jalan menanjak. Sedang khusuk-khusuk nya menggoes, lewatlah mobil jemputan tempat anak saya bersekolah. Entah karena kasihan melihat pergerakan sepeda yang terseok-seok, supir mobil jemputan itu menghentikan mobil tepat di depan saya lalu menawarkan tumpangan buat anak saya.

Yang membuat saya terharu, anak saya tetap tak bergeming dan memilih terus bersepeda bersama ibunya. Sama sekali tak terlihat malu walau teman-temannya  menahan senyum melihat kami. Maka bagai mendapat suntikkan semangat saya kembali menggoes dan menggoes sepeda itu hingga akhirnya tiba di gerbang sekolah. Diantara peluh bercucuran dan bau ketek yang tak karuan saya berhasil menghantarkan anak saya hingga kelas.

Sepertinya keinginan saya untuk memiliki sepeda kembali menggelora. Di saat badan saya sudah tak bisa di kategorikan langsing lagi tentu saja bersepeda dapat mengurangi gelambir lemak yang sudah tak malu-malu lagi menampakkan diri. Meski kini gempuran sepeda motor di sana-sini saya akan memilih bersepeda yang sudah jelas ramah lingkungan dan tak perlu ada dana harian untuk mengisi bensin.

Yang tak lengkap dari pengakuan saya sebagai seorang pesepeda adalah hingga detik ini saya belum juga memiliki sepeda sendiri. Diantara sekian daftar belanja bulanan rumah tangga belum pernah ada dana cukup untuk membeli sepeda.Semoga pengakuan saya ini segera di dukung oleh hadirnya sebuah sepeda wimcyclesebagai hadiah dari tulisan ini…semoga.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun