Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tafsir Purwakarta atas Marhaenisme Si Bung

22 Agustus 2017   09:22 Diperbarui: 22 Agustus 2017   09:26 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat disinggung soal Marhaenisme, ia menganggap gagasan itu sebagai simbol kemandirian pangan di Indonesia. Menurutnya, Marhaenisme sebagai bagian dari budaya Jabar, tidak lain sebagai cikal bakal Jabar dalam kemandirian pangan. 

Ia menyebut Jabar setelah dipasok kebutuhan air dari Bendungan Jatiluhur kemudian airnya dibagi ke Tarum Barat untuk mengairi sawah di sebelah barat Jabar dan Tarum Timur untuk mengairi sawah di timur Jabar, pernah menjadi daerah yang mampu swasembada beras. 

Sosok Marhaen yang ditemui si Bung, Dedi menyebutnya sebagai simbol masyarakat tradisional Jabar. 

Bahkan apa yang dilakukan seorang Marhaen seabad lalu, diterapkan oleh sekelompok masyarakat adat. Dedi mengaku pernah berkeliling daerah adat di Jabar dan menyaksikan upacar adatnya, semuanya memiliki karakter yang sama, memliki lumbung padi sehingga saat musim paceklik mereka tidak pernah kekurangan.

"Anda memproduksi beras sendiri,di lahan sendiri, untuk produksi sendiri dan sisanya disimpan di leuit (lumbung). Saat musim paceklik, beras yang disimpan itu masih aman dan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Itulah konsep Soekarno tentang Marhaenisme yang telah ratusan tahun diterapkan oleh masyarakat adat, Marhaenisme itu yang menghasilkan goah atau leuit atau lumbung," ujar dia.

Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Ia sempat mendatangi Kecamatan Compreng Kabupaten Subang dan beberapa daerah lain di Jabar sebagai penghasil beras. 

Kondisi yang ia temukan, banyak buruh tani yang hanya menggarap lahan sawah milik orang lain dengan alat produksi sendiri namun hasilnya untuk orang lain.

Bahkan, ia juga menemukan banyak pemilik lahan sawah yang menggarap sawahnya, memanen hasilnya namun hasilnya justru langsung dijual ke tengkulak dengan harga rendah.

Tidak ada beras yang disimpan sebagai cadangan saat musim paceklik sehingga akhirnya mereka harus kesulitan dan membeli beras mahal saat musim paceklik.

"Padahal mereka adalah tuan tanah atas sebidang sawah penghasil beras. Mereka bukan tuan, tuan itu ya mereka yang garap sawah pake tangan sendiri dan yang pasti memiliki beras sendiri," kata Dedi dalam sebuah diskusi.

Sebagai kesimpulan, setidaknya saya berpendapat Marhaenisme yang sering digaungkan para nasionalis, yang selama ini dianggap sebagai gagasan "langit" pada tataran praktisnya bisa dijalankan.  Seperti halnya yang dilakukan Dedi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun