Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menanti Terang di Bunikasih Subang (Jalan-jalan Tapal Batas 1)

21 April 2013   21:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:49 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BENTANGAN langit masih terlihat biru dan terkadang menghitam sepanjang hari Sabtu (20/4) di sekitar kawasan Gunung Sanggah, Gunung Geulis dan Gunung Gede di perbatasan Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat. Jalan sepanjang 17 kilometer dengan kondisi rusak berat serta berada di tengah-tengah hutan, bisa kami lewati dengan berjibaku dari Kecamatan Cisalak, menuju Kampung Buni Kasih di Desa Cupunagara Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang.

Sebelum kami tiba di Kampung Bunikasih. terlebih dulu kami tiba di Desa Cupunagara. Setibanya di Desa Cupunagara, kami harus kembali menempuh perjalanan sepanjang lima kilometer, melewati perkebunan teh, cabai, bukit dan hutan. Kondisi infrastrukturnya pun, sama rusaknya. Bahkan, kendaraan kami harus melewati aliran sungai dengan air yang bersih.

13665543411195030413
13665543411195030413
Meski begitu, tidak masalah. Bagaimanapun juga, saya sebagai warga pendatang di Subang dan jika saat hari libur tidak pulang ke Kota Bandung, saya dan beberapa teman memilih untuk berjalan-jalan ke daerah-daerah pelosok, dalam rangka foto-foto maupun sebatas aktivitas killing time saja. Jadi, kampung ini, menjadi salah satu kampung paling ujung di selatan Kabupaten Subang dan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat. Gunung Gede, rumah bagi habitat Elang Jawa, harimau dan rusa, memisahkan kampung ini dengan Kabupaten Bandung Barat. Lokasinya tepat berada di bawah Gunung Gede dengan ketinggian 1100 meter di atas permukaan laut. Butuh waktu dua jam perjalanan menuju kampung terisolir ini dari pusat kota Subang dan dihuni oleh 32 kepala keluarga.

1366557392299915082
1366557392299915082
Sebelum kami berkunjung kesana, kami mencari kontak lokal. Akhirnya, kontak lokal pertama disana, kami bertemu Dadang Darmawan, ketua RW 1 di desa tersebut. Perbincangan kami dengannya, membuat kami tahu bahwa di desa ini, ada tiga kampung yang terisolir di Kabupaten Subang.

Ketiga kampung tersebut, jaraknya cukup dekat dengan Lembang. Dari tiga kampung tersebut,karena waktu yang terbatas, kami baru bisa mengunjungi  Desa Buni Kasih. Dari kantor Desa Cupunagara menuju kesana, jaraknya 5 kilo meter dengan kondisi jalan yang juga rusak. Menuju kampung tersebut, kendaraan kami harus melewati dua aliran sungai yang airnya sangat jernih.

1366557497230323548
1366557497230323548
Dari sejumlah perkampungan di desa ini, kampung Buni Kasih menjadi kampung yang kurang memiliki akses atas listrik. Pasalnya, karena lokasinya yang sangat jauh, jaringan PLN belum bisa menjangkau daerah tersebut. Jarak kampung ini dari pusat pemerintan Subang, mencapai 45 kilometer. Saking jauhnya, jaringan listrik yang sudah terpasang saat ini di Desa Cupunagara, berasal dari PLN Cimahi. Hanya Buni Asih saja yang belum teraliri. Kami diberitahu oleh Dadang bahwa sebenarnya,  di kampung tersebut, sudah ada lisrik sejak 2008 dengan menggunakan Pembangkit Listrik Mikrohidro. Cuma, kekuatan listriknya belum maksimal. Makanya, saat ini, agar listriknya berjalan maksimal,sedang dibangun PLTMH dengan kekuatan 15 ribu watt. Dari Dadang inilah, kami bertemu dengan Novandri. Dosen di Fakultas Teknik Universitas Subang.Selama dua bulan terakhir ini, ia dengan dibantu 15 mahasiswanya, menetap disana hampir setiap minggu guna membangun proyek PLTMH.
13665592871971665644
13665592871971665644
Menurutnya, kampung ini  ini belum teraliri listrik dengan baik. PLTMH yang ada masih skala kecil. Saat ini, dirinya sedang membangun PLTMH baru untuk menyempurnakan PLTMH lama yang dibuat ITB di tahun 2008. Tahun 2008 sendiri, pertama kalinya kampung ini dialiri listrik, setelah puluhan tahun. Meski sejak 2008 hingga saat ini, kampung tersebut sudah teraliri listrik, namun, apa yang dihasilkan belum signifikan. Pasalnya, listrik bisa dinikmati oleh warga kampung yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani ini, hanya saat musim hujan saja. Saat berkunjung kesana, Novandri yang biasa dipanggil Andri ini mengatakan pada kami bahwa PLTMH mengandalkan debit air. Disini, jika musim kemarau, enggak ada listrik karena air tidak bisa menggerakkan turbin. Musim hujan saja warga bisa menikmati listrik.
1366559379773245502
1366559379773245502
Itulah kenapa, pria lulusan ITB ini, yang berpengalaman membangun PLTMH di berbagai daerah di Indonesia, sebagai akademisi, merasa bertanggung jawab atas kondisi warga Buni Kasih. Selama ini, dirinya sering membangun PLTMH di Jawa dan Sumatera. Sekarang, giliran dirinya membangun PLTMH di Subang. Di kampung ini, Andri dibantu warga, membangun PLTMH berkapasitas 15 ribu megawatt.Kebutuhan kampung ini sendiri sebenarnya hanya 10 ribu mega watt. Tapi, mereka mencoba lebih supaya tetap mengalirkan listrik jika terjadi kemarau yang sangat panjang.
13665595211516053187
13665595211516053187
Membangun PLTMH di Buni Kasih yang termasuk kampung terisolir, ia memanfaatkan Sungai Cipangulangan untuk menggerakkan turbin. Hanya saja, karena sungai tersebut seringkali kering saat musim kemarau, ia juga memanfaatkan sumber mata air Cisalada yang lokasinya, berada di pinggir aliran sungai. Untuk menggerakkan turbin, di saat musim hujan, debit air untuk menggerakkan turbin yakni 75 liter per detik dan di musim kemarau, sebesar 25 liter per detik. Angka itu, perhitungan pria yang akrab dipanggil Andri ini, sudah bisa digunakan untuk menyalakan lampu dan TV. Pembangunan PLTMH ini, tidak hanya sebatas pembangunan fisik saja. Namun, sekaligus upayanya dalam rangka community development. Hal itu, agar kekompakkan warga selalu terjalin. Pasalnya, setelah PLTMH ini selesai, dibutuhkan kekompakkan warga dalam merawat PLTMH. Membangun PLTMH ini, selain memanfaatkan aliran sungai, mereka juga  dibantu oleh aliran sumber mata air  yang tidak pernah kering meski di musim kemarau. Dengan kapasitas sebesar 15 ribu megawatt ini, selain bisa memenuhi kebutuhan listrik warga, juga bisa dijual ke PLN. Perhitungan Andri, dari kapasitas sebesar itu, setiap bulannya, warga bisa mendapat Rp 700 ribu perbulan. Namun, untuk mewujudkan itu semua, kekompakkan warga benar-benar utama karena PLTMH ini membutuhkan perawatn dari warga agar tetap berjalan dengan baik. Pembangunan infrastruktur pendukung PLTMH sudah selesai dibangun. Andri bersama mahasiswanya, dibantu oleh warga, tinggal memasang turbin seberat 5 kwintal. Memindahkan turbin dari permukiman kampung itu, akan membutuhkan kerja keras. Pasalnya, dari permukiman hingga lokasi PLTMH, harus menuruni bukit dengan kemringan 70 derajat. Rencananya, awal Mei nanti, PLTMH ini segera beroperasi. Sebagai kampung yang loaksinya terisolir dan berada di tengah-tengah hutan serta di bawah kaki gunung, kebutuhan listrik menjadi hal utama setelah infrastruktur jalan yang menghubungan kampung itu dengan pusat pemerintahan desa. Saat itu, kami disempatkan bertemu dengan ketua RT setempat, pak Sukanda. Menurutnya, musim kemarau menjadi musim bagi warganya harus hidup dalam kegelapan malam, hanya lilin atau lampu petromak satu-satunya sumber pencahayaan. Tidak hanya listrik saja yang menjadi kendala bagi warga kampung ini. Melainkan, infrastruktur jalan dan posyandu. Pasalnya, dengan infrastruktur jalan yang rusak, selain menghambut perekonomian lokal disana, juga membuat sejumlah anak-anak harus tidak sekolah jika hujan besar karena membanjiri jalanan. Belum lagi, ancaman longsor. Lebih memprihatinkan lagi, karena tidak ada bidan atau fasilitas kesehatan, dirinya sudah sering mengantarkan ibu yang melahirkan dari kampungnya ke kantor Desa Cupunagara, karena di kampungnya, sama sekali tidak ada bidan.Konsep mengantar ibu hamil ini, sangat ironis. Yakni, dengan menandi si ibu hamil dengan jalan kaki sejauh lima kilometer. Itu kenapa, listrik, infrastruktur dan posyandu, menjadi hal yang didambakan bagi warga kampung terisolir ini. "Listrik sebentar lagi selesai. Tinggal jalan sama kami ingin ada posyandu disini. Kasihan warga disini kalau lagi sakit. Tapi, kami sekarang cukup lega, setelah listrik, katanya Pemkab Subang mau bangun posyandu di kampung kami, nanti di bulan ketujuh. Mudah-mudahan saja emkab Subangnya enggak bohong, tapi kalau bohong, kami akan demo," ujarnya. Pada akhirnya, waktu sudah sore saat itu. Awan penghitam tinggal menyemburkan airnya membasahi bumi. Setelah bersantap makan dengan menu seadanya dari warga, kami pun kembali ke salah satu rumah singgah pertama kami di Kampung Cupunagara, untuk kemudian mempersiapkan diri dan kembali ke Subang. Menunggu kembali hari libur dan merencanakan kembali, daerah terpencil mana di Subang yang akan kami kunjungi dalam rangka jalan-jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun