Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dalam Teks Tak Bernyawa (Komentar untuk Cerpen 3 Petapa Karya Leo Tolstoy)

31 Mei 2011   09:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:01 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sore itu, buku-buku novel berjejer rapi di rak sebuah toko buku diskon di kota ini. Dari kejauhan, design sampul variatif setidaknya mengundang perhatian mata. Novel pop, kolosal seperti Ramayana hingga Mahabharata juga kisah kolosal kerajaan di nusantara. Sejenak saya berpikir, apakah perederan novel mengikuti pasar layaknya musik-musik pop yang silih berganti tiap harinya. Jika memang mengikuti pasar, novel seperti apa yang memang tren di pasaran sehingga para penulis berjibaku siang dan malam mengikuti tren terkini.

Dari novel pop Andrea Hirata hingga novel fiksi sejarah yang kental konspirasi, seringkali dalam sampulnya tertera slogan best seller dan membuat kita penasaran dan tergiur untuk membeli. Tidak hanya dari segi penjualan, efek psikologis dari pesan yang disampaikan pun memiliki multiply effect luar biasa bagi pembaca. Adalah ketika seorang pembaca terinspirasi dari cerita yang disampaikan hingga membuat dia lebih menghargai dan memanfaatkan kehidupan sebaik mungkin setidaknya tujuan yang ingin diraih oleh si penulis. Sementara itu, ketika hasrat kita terhadap sejarah tergerus karena prinsip utilitas kita terhadap sejarah, seringkali kita lupa dan menganggap remeh pengetahuan sejarah. Soekarno sendiri mengajarkan kita betapa pentingnya sejarah hingga mewanti-wanti pada kita untuk tidak melupakan sejarah. Jauh sebelumnya, seorang pemikir besar seperti Karl Marx juga menganggap sejarah sebagai sebuah proses dialektika untuk melihat bagaimana suatu saat struktur masyarakat dalam tatanan sistem kapitalis, karena menurutnya, faktor produksi menentukan perubahan masyarakat dalam sistem kapitalis. Sejarah seringkali membosankan, bicara masa lalu dan melulu soal yang lalu. Beberapa waktu ini, novel fiksi sejarah setidaknya menjadi konsumsi publik dan tidak jarang menuai kontroversi. Kita lihat kemunculan novel Dan Brown tentang Da Vinci Code. Semenjak kemunculannya, gereja seperti kebakaran jenggot dan seolah-olah lupa bahwa itu hanya sekedar novel fiksi. Di Indonesia, saya tidak tahu pasti, tapi dari beberapa yang pernah saya baca, seperti Misteri Harta Karun VOC hingga Jacatra Secret, meski tidak menuai kontroversi, perlu diakui, ilmu sejarah kembali dengan daya tariknya.

Tidak sedikit rak-rak toko buku dipenuhi dengan novel-novel best seller, saking best sellernya, seringkali sekelompok mahasiswa mengundang si penulis untuk menjadi pembicara diskusi atau bedah buku, mungkin hanya sekedar untuk mengungkap hal yang belum dijelaskan si penulis dalam bukunya. Lebih dari itu, tidak jarang, beberapa produser ternama memfilmkan cerita dalam novel. Seperi misalnya Miles Production yang memfilmkan novel karya Andrea Hirata karena ceritanya dinilai bisa menjadi inspirasi bagi seluruh masyarakat, tidak hanya para pembaca yang memilikinya. Di samping Miles Production, ada sutradara muda Hanung Bramantyo yang juga memfilmkan novel Ayat-ayat Cinta yang mengingatkan tentang bagaimana cara memperlakukan antar lelasi dalam konteks kehidupan beragama. Dari fenomena itu, seringkali saya mendengar komentar dari sejumlah penonton dengan komentar "lebih seru jika membaca daripada menonton filmnya".

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana semua fenomena itu mempengaruhi karakter masyarakat kita atau dengan kata lain, sejauh mana karya novel sebagai karya sastra bisa menginspirasi juga mengilhami seseorang untuk menjadi lebih baik. Sederhananya, saat sebuah karya sastra telah dilabeli stempel best seller karena pengaruhnya bermanfaat bagi banyak orang, paling tidak sastra telah melakukan tugasnya sebagai faktor eksternal dalam menjalankan programnya untuk membuat pembacanya sadar terhadap apapun. Cuma masalahnya, seringkali kita "sadar" justru hanya pada saat kita larut dalam cerita novel atau cerita film. Setelahnya, kita kembali menjadi manusia yang kadang sadar dan kadang tidak tentang bagaimana seharusnya hidup diperlakukan.

Saya jadi teringat cerpen berjudul Tiga Petapa karangan Leo Tolstoy, sastrawan besar Rusia, meski tidak terlabeli novel best seller, tapi karya-karyanya seringkali di inspirasi para penulis yang menghasilkan novel-novel best seller, , dalam ceritanya, seorang uskup sengaja mendatangi 3 orang petapa yang sengaja menetap di pulau terpencil di tengah laut hanya untuk melayani Tuhannya. Seketika itu, sang uskup menilai bahwa perbuatanya sedikit keliru, maka sang uskup mengajarkan caranya melayani Tuhan serta bagaimana caranya berdoa. Dia mengutip salah satu doa di Al Kitab dan meminta ketiganya untuk mengikuti ucapan doa yang disampaikan sang uskup. Dengan sabar sang uskup mengajarkannya cara berdoa hingga mereka bisa dan terus mengulang-ngulang doa. Setelah dirasa berhasil, sang uskup pun pergi meninggalkan mereka dengan kondisi  masih mengulang-ngulang doa yang diajarkan sang uskup. Setelah sang uskup jauh meninggalkan pulau itu, di tengah malam saat sang uskup masih terjaga, tiba-tiba dia dikagetkan oleh langkah orang lari di tengah laut, merasa aneh dan penasaran, sang uskup mencari sumber suara, setelah tahu, sang uskup dikagetkan oleh 3 petapa tengah berlari mengejar kapal yang ditumpangi sang uskup dan mereka mengejar kapal itu hanya untuk meminta tolong agar sang uskup mengajarkan lagi doa yang diajarkan sebelumnya karena, setelah sang uskup pergi meninggalkan mereka di pulau, mereka mendadak lupa dengan apa yang dikatakan sang uskup, selesai sudah akhir cerita Tolstoy tentang 3 petapa itu.

Relasinya, 3 petapa itu setidaknya mencerminkan sikap kita dalam usaha memahami sesuatu. Pada dasarnya kita tahu mana yang benar mana yang salah, kadang kita diingatkan dengan petuah-petuah nilai agama, kadang kita sadar setelah kita membaca novel atau film yang menginspirasi, tapi saat kita lepas dari nilai-nilai dan saat kita selesai membaca  novel atau menonton film yang menginspirasi, kita lupa apa yang harus dilakukan untuk menjadi lebih baik yang pada akhirnya kita kembali menjadi manusia yang lupa bagaimana caranya menjadi manusia. Seorang kawan tempo hari berkata, karya sastra itu harus jadi alat politik untuk kesejahteraan rakyat. Bagi saya, apalah artinya teks mati yang hanya bisa dibaca lalu lantas harus menjadi alat perjuangan untuk kesejahteraan orang banyak. Teks itu tak bernyawa, tapi kita yang memberinya nyawa dan membakar kesadaran manusia untuk segera beranjak lebih baik. Jika pernah membaca cerpen karya Tolstoy, seringkali membuat kesadaran kita menegang, kita sadar bahwa seringkali kesadaran moralitas kita hilang entah kemana. Bagaimana kisah-kisahnya memberikan pengalaman moral pada para pembacanya hingga mengembalikan kesadaran moral dengan utuh.

Intinya, perubahan itu berasal dari kesadaran manusia, rangkaian teks dalam karya sastra atau apapun bentuknya, hanyalah alat untuk mengingatkan manusia tentang kesadaran moralitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun