Mohon tunggu...
Langit K.
Langit K. Mohon Tunggu... -

World in my hands. World citizen. Born 1991 in Bonn. Grew up in East Java. Studying in DE.\r\n\r\nID/DE/EN/MY/FR/ES/NL/JV

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sexism = Mengapa Pria Harus Pria dan Wanita Harus Keibuan?

1 Juli 2013   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:09 1980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Gender Studies"][/caption] Ketika saya berpikir untuk menulis artikel ini kebetulan saya sedang membaca buku perkuliahan yang ditulis oleh profesor saya yang berjudul Pengantar Gender Studies (Einführung in die Gender Studies). Saat ini saya sedang duduk di balkon sambil mengamati orang-orang yang sedang lalu-lalang di kota ini. Saya melihat remaja lelaki yang sedang minum bir, sedikit mabuk dan berteriak-teriak tak jelas. Di sisi lain tampak pria-pria yang sedang melototi dan mengagumi motor-motor gede yang terparkir di pinggir jalan. Sedangkan di jalanan sebelah tampak wanita-wanita muda yang sedang mengamati pakaian-pakaian yang dipajang di etalase toko baju. Mengapa pada umumnya pria menyukai hal-hal yang berbeda dengan wanita? Kebanyakan orang awam memang belum pernah mendengar istilah Gender, Gender Mainstreaming ataupun Gender Studies. Gender mainstreaming berarti, bahwa semua jenis kelamin atau gender adalah sama, tak peduli pria, wanita, homoseksual, biseksual maupun interseksual. Mungkin orang mengartikan Gender dengan jenis kelamin secara sosial atau yang secara biologis disebut dengan istilah sex. Peneliti masalah Gender berpendapat bahwa lelaki dan wanita bukanlah kodrat alam ataupun kodrat natural seseorang, melainkan hasil dari convention atau penyesuaian. Tentu saja kita tidak bisa menyangkal, bahwa pria mempunyai penis dan wanita memiliki vagina. Namun terlepas dari ciri bologis tersebut pria dan wanita adalah sama. Pria dan wanita bisa jadi sama, apabila lingkungan disekitar mereka memberikan kemungkinan untuk itu. Teori professor saya Prof. Dr. Franziska Schlößler melalui bukunya yang terbit pada tahun 2008: "Adalah masalah kultural yang menyebabkan seorang menjadi seorang lelaki atau perempuan". Jadi bukan hanya masalah biologis: penis atau vagina saja. Teori itu memang teori yang tak mudah untuk diterima. Apakah hormon testosteron dan evolusi manusia adalah juga proses yang menyebabkan manusia menjadi pria atau wanita? Kita tentu sering mendengar tentang teori evolusi itu ketika para ilmuwan atau peneliti berbicara sejarah, namun ilmuwan tersebut bukanlah ilmuwan gender. Beberapa buku tentang gender bahkan hanya menyinggung kata hormon dua kali saja dan lebih-lebih kata evolusi tidak muncul sama sekali. Juga tidak pernah dibahas bahwa seorang pria mempunyai penis dan wanita memiliki vagina. Di bidang penelitian gender, anatomi biologis manusia tidak begitu diperhatikan. "Musuh besar" para ilmuwan dan peneliti gender adalah ilmuwan lainnya dari bidang ilmu alam. Memang mirip dengan teori evolusi Charles Darwin yang tidak akan pernah berjalan lurus dengan ilmu agama. Akan terjadi banyak pertentangan pada ilmu alam, teologi dan sosiologi yang meneliti masalah gender. Ilmu alam maupun ilmu kedoketran memiliki fungsi yang hampir sama yang dimiliki ilmu teologi pada masa yang lalu. Kelihatannya cabang ilmu gender memang seperti anti terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu gender memang sebuah cabang ilmu pengetahuan yang ingin menyalahkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lainnya. Dalam pengamatan sosial yang saya lakukan secara kasar, memang di sekolah-sekolah pada dasarnya murid perempuan lebih berprestasi dari pada teman lelaki mereka. Lebih banyak murid lelaki yang tidak naik kelas, lebih banyak mahasiswi dari pada mahasiswa. Lebih banyak murid lelaki yang memiliki problema seperti ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan perkembangan dalam peningkatan motorik anak-anak yang menyebabkan seorang anak tidak bertingkah lazim dan cenderung berlebihan. Remaja pria juga kadang mendapatkan predikat lebih agresif, dari pada remaja wanita. Kelakuan anak-anak lelaki yang cenderung agresif ini merupakan hasil ajaran lingkungannya. Mungkin anak-anak lelaki cenderung memiliki prestasi yang lebih buruk di sekolah dari pada anak-anak perempuan karena mereka sudah di'doktrin' sejak lahir, bahwa mereka harus memerankan peran  mereka sebagai pria. Sejak bayi mereka sudah diperlakukan berbeda, inilah yang memunculkan perbedaan gender (sehingga saya tidak bisa menerjemahkan gender sebagai jenis kelamin, dan saya tidak bisa menemukan istilah yang cocok untuk ini dalam Bahasa Indonesia) dan hasilnya adalah adanya perbedaan antara lelaki dan wanita. Ranah penelitian gender ini tidak melulu mengenai proses terbentuknya seseorang menjadi pria atau wanita, melainkan juga fenomena-fenomena lain seperti diskriminasi pria yang kadang tak terlihat dalam masyarakat yang lebih mempermasalahkan diskriminasi perempuan. Ketika ada wacana bahwa wanita juga harus diberi kesempatan yang sama dengan pria dalam segala hal, terutama dalam hal karir. Saya kemudian berpikir, apakah pria melakukan perkerjaannya lebih buruk, sehingga wanita harus diberi kesempatan yang lebih?! Bukankah wanita terkenal lebih suka berbicara tentang hal-hal yang tidak perlu (menggosip misalnya), sedangkan pria cenderung tidak melakukan hal itu?!. Beberapa penelitian yang dilakukan memang menghasilkan tipikal "kodrat" pria dan wanita. Seorang peneiliti tingkah laku Trond Diseth mengamati bayi-bayi yang berusia 9 bulan yang diletakkan pada sebuah ruangan yang berisi banyak mainan. Bayi-bayi perempuan rata-rata mengambil boneka, sedangkan bayi lelaki mengambil mobil-mobilan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti evolusi biologi Simon Baron-Cohen juga mirip. Dia mengamati rekasi bayi-bayi yang baru dilahirkan dan belum tersentuh sama sekali oleh struktur masyarakat. Bayi-bayi perempuan akan bereaksi cepat ketika mereka melihat wajah seseorang, sedangkan bayi-bayi lelaki lebih bereaksi ke alat-alat mekanik. Penelitian lainnya dilakukan Richard Lippa. Dia meneliti 200.000 orang tentang pekerjaan impian mereka di 53 negara. Hasilnya, kebanyakan pria ingin bekerja sebagai insinyur, sedangkan para wanita lebih ingin bekerja di bidang-bisang sosial. Jadi di sini hal itu tidak dipengaruhi kultur seseorang, meskipun objekt penelitian berasal dari negara-negara yang sangat berbeda seperti Norwegia, Amerika Serikat dan Arab Saudi. Dari hasil penelitian para ilmuwan memang adanya perbedaan gender karena sedikit banyak pengaruh lingkungan. Faktor lain memiliki hubungan hormon-hormon. Ahli psikologi Kanada Susan Pinker dalam bukunya mengungkapkan bahwa hormon testosteron membuat seseorang ingin menerima resiko, menjadi kuat dan lelaki memang kebanyakan memili sifat-sifat ini. Menurut saya gender studies bukanlah merupakan ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi, matematika, dan lain-lain. Cabang ilmu pengetahuan yang belum banyak diteliti di Indonesia ini lebih merupakan sebuah pergerakan kaum wanita intelektual yang ingin menampakkan diri dan mencari perhatian sosial, supaya orang mengerti, bahwa menjadi pria atau wanita bukan hanya masalah biologis saja, namun juga terhubung dengan masalah kultur dan pembentukan lingkungan seseorang. Sumber: makalah akademis pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun