Mohon tunggu...
Langit Biru
Langit Biru Mohon Tunggu... Wiraswasta -

The Only Person U Should Try ToBe Better Than., Is The Person U were Yesterday!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Virus Malin Kundang (Nyata) di Sekitar Kita

23 Februari 2016   08:05 Diperbarui: 23 Februari 2016   14:00 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sore itu, seperti biasanya saya meluangkan waktu untuk menikmati secangkir kopi sembari mengobrol bersama dengan seorang teman. Obrolan yang ringan-ringan saja tentang berbagai hal. Kali ini saya lebih banyak mendengar, karena teman saya tengah mengkisahkan tentang sesuatu yang terlihat serius. Dia mengkisahkan tentang secuil baktinya kepada orang tuanya, yang menurutnya bukan hal yang istimewa, tetapi di kemudian hari membawa keberuntungan yang luar biasa dalam hidupnya.

Kisahnya adalah kisah yang sederhana, namun mampu membuat saya takjub sore itu. Hikmah dan pesan yang terkandung di dalamnya bernilai sekali. Seolah kembali mengingatkan bahwa bakti yang kita lakukan kepada orang tua besar sekali pengaruhnya bagi kehidupan kita. Buah bakti yang tidak akan pergi kemana, tetapi pasti akan kembali kepada diri kita sendiri (tanpa pernah kita sadari). What goes around, comes around.

Kisahnya itu dimulai saat dia mudik ke rumah orang tua jelang lebaran. Sesampai di rumah orangtuanya itu, terlihat beberapa lembar anyaman bambu (bahasa Jawa: gedhek) di halaman rumah orangtuanya yang luas. Teman saya itu menanyakan apa kegunaan anyaman bambu itu kepada orang tuanya, dan dijawab bahwa anyaman itu dipasang mengelilingi halaman tempat parkir kendaraan anak-anaknya, agar lebih terlindungi. Teman saya terkesiap dan spontan dia berinisiatif membeli pagar besi, sehingga orangtuanya tidak kerepotan memasang anyaman bambu itu.

Teman saya mengungkapkan juga bahwa sebenarnya saat itu saldo tabungannya tidak tersisa banyak, bahkan mungkin sudah darurat, namun dia tidak bisa melihat kerepotan orangtuanya. Alhasil, dia tetap merogoh tabungannya hingga ke dasarnya. Singkat cerita, sekembalinya ke rumah, pada suatu sore, di tengah kegalauannya karena kondisi keuangannya yang semakin berat, dia mendapat telepon dari rekanan kerjanya, bahwa piutang yang tak terbayar selama lebih dari 6 (enam) bulan, akan segera dibayar lunas. Dia terperanjat kegirangan dan sangat takjub, seperti tidak percaya dengan keajaiban yang baru saja didengarnya. Sebenarnya dia sudah tidak berharap lagi bahwa piutang yang telah mengendap sekian lama itu akan dibayar lunas. Tapi keajaiban itu-pun datang, dan tentu bukan sebuah kebetulan. Diceritakannya pula bahwa piutang yang akhirnya dibayar lunas itu nilainya sangat besar, bukan hanya mampu untuk mengembalikan nilai pembelian pagar besi itu saja, namun juga mampu untuk membeli sebuah rumah (belakangan uangnya itu memang digunakannya untuk membeli sebuah rumah di Bekasi).

Cerita tersebut adalah cerita yang sederhana, tapi luar biasa sekali. Dalam satu kali tepuk, dia sudah melakukan dua amalan besar. Pertama, bersedekah, dan kedua adalah berbakti kepada orangtua. Tanpa terasa, apa yang dia lakukan itu ibarat sedang mempersiapkan jalinan benang merah yang positif sekali efeknya pada fase kehidupannya di kemudian hari. Betapa memang hidup itu sebenarnya adalah sebuah roda yang berputar. Banyak sekali cerita yang bisa terjadi di antara fase-fasenya itu, yang semuanya mengandung pembelajaran berharga. Jadi, pandai-pandailah kita dalam mewarnai setiap fase kehidupan kita. Everything happens for a reason, nothing happens by chance.

Sedekah, adalah salah satu bentuk syukur yang mudah untuk dilakukan, yang semoga sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari hari. Semakin sering dan semakin banyak sedekah yang kita alirkan, maka akan semakin dahsyat pula imbasnya dalam kehidupan kita. Apalagi sedekah kepada kedua orangtua. Rejeki kita akan menjadi semakin lancar, dan akan datang dalam berbagai bentuk (keberuntungan) kepada kita, dari arah yang tiada disangka-sangka. Sedekah itu ibarat magnet yang akan menarik rejeki kepada kita. Semakin banyak sedekah yang kita taburkan, akan semakin besar dan semakin hebat pula magnet yang kita miliki. Jika kita mensyukuri yang sedikit, ia akan menjadi banyak, tapi jika kita mengeluhkan yang banyak, ia akan jadi sedikit. Jadi., berapapun itu, lakukanlah. Tidak perlu terpaku pada besaran nilai yang ditaburkan. Bisa jadi nilai yang dianggap kecil, ternyata itu bisa menjadi amal shaleh yg besar dihadapan Sang Pencipta.

Selain itu pula, meluaskan sedekah kepada banyak orang, juga akan menambah deretan orang yang akan mendoakan agar keberuntungan dan kesuksesan datang kepada kita. Semakin luas sedekahnya, maka kemungkinan untuk sukses di masa depan juga akan semakin terbuka luas. Kita tidak akan pernah tahu doa yang datang dari siapakah yang akan dikabulkan oleh Tuhan. Bisa jadi, limpahan kebahagiaan dan keberhasilan yang kita tuai saat ini sebenarnya adalah berkat doa dari seseorang yang pernah kita beri sedekah atau bantuan di masa lampau. Atau, kesuksesan dan kebahagiaan kita di kemudian hari nanti, bisa jadi justru akan tercurah kepada kita karena uluran tangan kita kepada seseorang di masa sekarang. Nobody knows.

Namun tidak dapat kita pungkiri juga, bahwa meski (terlihat) sepele, dalam kenyataannya seringkali memberi sedekah atau memberi bantuan kepada sesama itu terasa berat untuk ditunaikan. Kita acapkali sibuk dengan hitungan untung rugi. Kalkulator masih sering kita tenteng kesana kemari jika (akan) mengulurkan sedekah atau membantu seseorang. Padahal sedekah atau bantuan yang diulurkan secara ikhlas sama artinya dengan menanam tanaman yang akan berbuah banyak keajaiban. Barang siapa yang murah hatinya dan ringan untuk berbuat baik, apalagi terhadap orangtua, maka dia akan dilimpahi kemurahan dan kebaikan juga. Apa yang kita tabur, itu pulalah yang akan kita petik, As you sow, so shall you reap...

Malin Kundang Jaman Sekarang

Jika bakti kita kepada orangtua akan berbuah kebaikan, maka begitu pula dengan sebaliknya. Durhaka kepada orang tua, akan mengundang celaka. Cepat atau lambat akibatnya pasti akan terjadi. Pemandangan tentang anak yang bersikap keras atau galak bahkan melawan orangtua, tentu tidak sulit kita jumpai di sekitar kita. Di sinetron-sinetron yang ditayangkan televisi, jamak juga kita saksikan bagaimana beraninya sikap anak terhadap orangtua. Menurut saya, hal semacam itu adalah bibit kedurhakaan kepada orang tua yang sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius. Jika tidak diperbaiki, niscaya akan mengundang susah dan celaka dalam kehidupan sang anak. Pernah saya jumpai seorang yang kaya raya di masa mudanya, hidup berkelimpahan harta, namun berperilaku buruk terhadap orangtuanya. Apa yang terjadi di penghujung hidupnya? Bisa ditebak, di akhir hidupnya dia diliputi kekurangan dan kesempitan, dan hartanya-pun habis entah kemana. Pernah juga saya temui orang yang suka menyakiti dan mencela ibu mertuanya. Hingga sekarang dia-pun masih enggan bertegur sapa dengan ibu mertuanya itu. Dan tidak perlu waktu lama untuk melihat seperti apa akibat dari perilaku tercelanya itu. Tidak sampai sepuluh tahun (sejak pernikahannya), vonis bahwa dia terserang penyakit berat sudah menimpanya. Penyakit berat yang menggerogoti badannya hingga kurus kering.

Cerita-cerita semacam itu mengingatkan saya pada kisah Malin Kundang. Ternyata Malin Kundang yang durhaka itu bukan sebuah dongeng tanpa arti. Kisahnya banyak mewujud pada banyak orang di dunia nyata ini. Kata orang Jawa: Wong tuwa kuwi malati. Kata-kata ini agak sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah atau letterlijk, tapi intinya adalah bahwa akibat dari perbuatan kita kepada orangtua itu bisa menimpa kita secara instan dan/atau cespleng. Dalam budaya Tionghoa, berbakti kepada orangtua (孝, xiào) juga menduduki posisi yang tinggi. Keberuntungan mereka tergantung pada laku baktinya kepada orangtua. Sungguh benar sekali bahwa orangtua itu harus kita cintai dan kita dudukkan pada posisi yang istimewa. Semakin istimewa kedudukannya di dalam hidup kita, maka semakin istimewa pula kehidupan yang menghampiri kita. Tak berlebihan jika berbakti kepada orangtua itu kita sebut sebagai the secret ingredient of success and happiness.

Nah., bagi yang masih mempunyai orangtua, sering-seringlah minta doa dan restu dari mereka. Jika merasa ada salah yang diperbuat kepada mereka, maka bersegeralah minta maaf, minta ampun kepada mereka. Bahagiakanlah mereka. Tunjukkan bakti dan kasih sayang kita. Intinya: Cintai dan sayangilah kedua orangtua kita dengan sepenuh hati!

Semoga cerita-cerita sederhana di atas dapat melembutkan dan menggugah hati kita, sehingga dapat menambah bekal untuk kehidupan kita yang lebih baik.., dan lebih baik lagi. Bukankah good is not good (enough), when better is expected and best is possible?!

 

Salam hangat., semangattt..!! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun