Denny Siregar dituntut oleh Udztad Ruslan dengan UU Informasi dan Transaksi Eletronik pasal 45 nomor 19 tahun 2016 atas penghinaan santri di postingan akun media sosial facebook.Â
Dalam postingan tersebut Denny siregar menyebutkan anak-anak santri sebagai calon teroris dan menyinggung umat Islam dikaitkan dengan ISIS. Denny siregar dalam postingan tersebut melontarkan kata---kata yang bersifat menyerang dan menyinggung kelompok agama Islam.Â
Kasus seperti Denny Siregar bukan kasus pertama di Indonesia terkait tindakan Hate Speech, ujaran kebencian yang dilakukan untuk menyerang guna melemahkan kelompok tertentu (Azra, 2018).
Kasus ini diawali dari Denny Siregar memposting di akun Facebook dengan tujuan mengkritik aksi demo para santri. Namun, kritik tersebut mengakibatkan bias opini dan bias makna menjadi penghinaan terhadap kaum santri yang terang tertulis, " adek-adek ku calon teroris yang abang sayang...".Â
Kalimat tersebut ditanggapi oleh kelompok santri sebagai penghinaan dan menuntut Denny Siregar kepada aparat kepolisian untuk memberikan hukuman pidana.
Melihat lebih dalam, Denny Siregar menyampaikan argumen pendapatnya berdasarkan ekspresi. Namun Denny dianggap melakukan penghinaan terhadap santri.Â
Kasus Denny Siregar, Mengingat media sebagai ruang publik, namun kini negara ikut campur untuk mengatur ruang publik. Dalam kasus Denny Siregar, media sosial selalu memiliki resiko untuk dimanipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu.Â
Hal ini ditegaskan langsung dalam gagasan McLuhan (1964), media sebagai medium untuk menyampaikan pesan dan juga perlu untuk melihat dalam impilkasi media tersebut bukan sekedar memaknai isi pesan. Media sosial seperti facebook menyediakan ruang privat dan ruang publik secara bersamaan.Â
Pilihan yang ditentukan oleh pengguna facebook untuk terkait jangkauan ruang publikasinya antara privat atau publik. Keadaan ini mengakibatkan adanya ambiguitas media sosial sebagai ruang publik yang privat atau ruang privat yang menjadi publik?
Media Sosial Sebagai Ruang Publik?
Media sebagai public sphere yang menjadi problem pemecahan antara ruang privat dengan ruang publik. Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai kumpulan ruang-ruang privat yang menjadi satu kelompok.Â
Gagasan-gagasan privat secara cepat akan menjadi gagasan publik dan membutuhkan perhatian khusus agar konstruksi yang dibentuk bukan gagasan privat yang berkembang menjadi gagasan publik dan menghasilkan "komunikasi yang tidak terdistorsi".
Konsep ruang Habermas menekankan bahwa ranah publik baiknya tidak terintitusiuonalisasi dan ruang publik bukanlah hal yang terjadi secara alamiah; tidak ada ruang publik yang dibentuk tunggal. Ruang publik sebagai ruang yang plural yang di dalamnya terdapat kumpulan ruang-ruang privat yang sulit untuk mengabaikan kepentingan privat dan mengancam kepentingan publik di media.
Media sosial sebagai ruang publik yang kini sering bermasalah karena argumen-argumen privat dapat secara cepat menjadi argumen publik.Â
Herman dan Chomsky (1988), media memiliki kekuatan penuh untuk memproduksi propaganda. Media sosial sebagai media baru yang memiliki kekuatan ruang privat untuk membangun propaganda kepada publik.
Persoalan kasus Denny Siregar memposting di media sosial Facebook, menghina anak-anak santri dan menimbulkan masalah ke ranah hukum.Â
Sebagai media sosial terang penggabungan ruang privat dan ruang publik, adanya pilihan untuk postingan privat dan postingan publik. Kesediaan pilihan tersebuut memang masih diabaikan maka otomatis postingan yang seharusnya merupakan privat, namun menjadi publik tanpa filter.
Ambiguitas Ruang di Media Sosial
Hugo Gian, sebagai pengamat media, berpendapat bahwa kasus Denny Siregar merupakan kasus yang bias ruang, bias opini, dan bias makna. Hugo menilai Denny Siregar dan Udztad Ruslan sama-sama bersalah.Â
Kesalahan Denny Sirgar, ketidaksadaran akan ruang digunakan untuik mengkritik serta pemilihan kalimat kritiknya yang berbeda dari maksud aslinya lalu diteruskan oleh bias makna dari para santri dan Udztad Ruslan, yang menilai bahwa ini penghinaan.Â
Media sosial dinilai kurang efektif untuk dinyatakan sebagai ruang publik atapun ruang privat karena batas-batas yang tersembunyi dan memungkinkan resiko akun diretas.
Penilaian tersebut didukung oleh Hendra Noor, sebagai pengkaji media Universitas Atmajaya Yogyakarta. Hendra menilai kasus tersebut sangat tidak efektif untuk melihat media sosial sebagai ruang publik yang dikatakan oleh Habermas.Â
Negara mengatur dalam UU ITE terlalu ketat dan sangat berlawanan dengan ruang publik yang mana menjadi ruang kepentingan publik. Realitasnya media sosial kini tergantung bagaimana konten dan tujuan penggunaannya.Â
Maka yang terjadi adalah tidak adanya indikator jelas yang menyatakan bahwa media sosial sebagai ruang publik karena siapapun pihak yang merasa tersinggung atau bermasalah dengan postingan konten tersebut maka dapat menuntut pihak yang memposting konten tersebut dengan UU ITE, seperti kasus Denny Siregar yang dituntut oleh Udztad Ruaslan sebagai perwakilan dari kelompok karena konten penghinaan.
Kasus Denny Siregar dituntut oleh Udztad Ruslan masih menjadi ambiguitas ruang bagi media sosial. Pilihan ruang tergantung dari kehendak pengguna media sosial, konten akan menjadi ranah privat atau menjadi ranah publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI