Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Denting Di Lantai Surga

21 Maret 2016   21:06 Diperbarui: 21 Maret 2016   21:31 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara itu selalu terdengar manakala kesunyian datang dan malam menyelipkan mimpi indah atau pada doa yang hampir berakhir. Bagi pikiran serius berdialog dengan hati, suara itu selalu terdengar seketuk dua ketuk menggeseki telinga menggodai niat untuk urung ketika perjalanan hampir mencapai penghujung batas. Terdengar serupa langkah, tak pernah berbekas saat malam berganti pagi dan suara itu pergi dengan sendirinya.


Selalu di kala kekhusukan berusaha menyisiri jalan, di bawah temerawang sinar rembulan bersila di atas lempengan batu hitam di tengah telaga, hening memanggut rasa dan jernih membasuh mata batin. Adalah bisik malaikat sambil mengepak-kepakan sayap menghamburkan butiran-butiran rahmat sebagaimana pesan langit yang harus disampaikan. Suara itu akan kembali terdengar meng-ngrasaki pikiran membuyarkan semua, telah tertata rapi di dinding hati. 


Tiba-tiba barisan pasukan berkuda muncul dihadapan, mengenakan jubah hitam dan mereka terlihat gagah namun jauh dari kesan angker, sorot mata teduh kata-katanya berat penuh wibawa.


Siapa kamu dan mau ke mana?
Siapa kamu dan mau ke mana?
Siapa kamu dan mau ke mana?
Tanyanya berulang tiga kali kemudian berlalu tanpa menunggu jawaban. Angin menyapu-nyapu gurun, debu pasir berterbangan dan terik matahari mencabik-cabik tubuh.
Di mana aku ini, apa yang terjadi, apa yang terjadi padakuuu....!!


Aku berteriak. Seketika angin berhenti berlari, pasir diam tak berhamburan, menyisakan hanya aku seorang berdiri terpaku tanpa siapa-siapa. Sementara, gambaran-gambaran itu terlintas silih berganti, tanpa mengerti makna dan dari mana asal.


Di depan telah membentang jalan sempit nan panjang, ujung sahara pun menghilang. Jalan apa ini, mengapa telihat seperti jembatan layang membelah lautan lahar di puncak merapi?


Mana suara itu, mana suara yang beberapa hari ini selalu terdengar ketika aku telah melaju jauh mengarungi belantara keterasingan. Kenapa terasa ada yang menusuk-nusuk punggung, memaksaku berjalan melewati jembatan ini. Aku ngeri memulai langkah karena banyak orang terpeleset jatuh ke dalam lautan lahar, kemertak dan ledakan tulang terbakar serta tubuh-tubuh segera lenyap termakan bara. 


Ini dia suara itu datang juga, aku memasang telinga sepenuh seksama memakainya sebagai pemandu langkah satu demi satu dengan kepala tertunduk tak berani memalingkan arah pandangan, hanya tertunduk dan terus berjalan. Badan serasa mendidih, peluh bercucuran, panas bukan kepalang.


Akhirnya aku berhasil melintasi jembatan, sebuah gerbang besar berdiri kokoh di depan, pancaran cahaya menembus sela-sela. Cahaya apa di dalam sana, kenapa terlihat benderang, bagaimana aku bisa membuka. Untuk beberapa saat, aku terdiam tak tahu harus berbuat apa, namun tiba-tiba gerbang raksasa itu membuka. 


Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, sungguh keindahan tiada bandingan, luar biasa. Tempat apa ini, betapa menakjudkan, sebuah istana megah nan indah dengan lantai-dinding-tiang serta semua interior berlapiskan mutiara jamrut mutu manikam dan taman-taman penuh bunga elok menawan. Semua belum pernah aku lihat sebelumnya.


Ada makhluk-makhluk serupa manusia namun bersayap di setiap sudut tempat, apakah itu para penjaga istana?
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
###
“Bagaimana dok, kondisi ayah saya, kenapa sudah tujuh belas hari ini koma, belum sadar juga. Tolonglah dok, selamatkan nyawa ayah saya, karena hanya dia tinggal satu-satunya, tolonglah bagaimana caranya dan berapapun biaya tidak masalah,” Rasti memohon sangat Dokter Bram dapat mengembalikan kesadaran Werdana ayahnya.
 Bagi Rasti, setelah kecelakaan maut merenggut nyawa mama dan kakaknya, sekarang ini yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan ayahnya, sampai kapanpun selagi dokter bilang tanda-tanda kehidupan masih ada, ia tetap akan menunggui sampai sadar kembali.


Tidak ada firasat apapun, bahkan sepuluh menit sebelum kecelakaan terjadi, Rasti sempat ngobrol lama dengan mamanya melalui Hp.
“Gimana Ma, acara wisuda kakak, meriah nggak”, tanyanya mengawali pembicaraan.
“Uuu, rame sekali, kakakmu dan teman-temannya begitu kompak dan sangat gembira menyambut kelulusan mereka. Kamu sih nggak bisa ikut, o ya, bagaimana persiapan di rumah apa sudah selesai”, cerita Mama Erni penuh antusias waktu itu.
“Beres ma, it’s okey, tetangga dan kerabat dekat sudah berdatangan, siap memeriahkan acara syukuran. Pokoknya mama nggak perlu khawatir, Rasti sudah mempersiapkan semua”, jawabnya mantap.
“Percaya, anak mama yang cantik pasti dapat diandalkan. Sampai bertemu di rumah, bye sayang”, jawabnya singkat sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Da juga mama, jangan lupa ingatkan ayah berhati-hati bawa mobilnya karena ini hujan kali pertama”, Rasti memencet tombol off bergegas bergabung dengan kerabat melanjutkan pekerjaan. Tidak menyangka pembicaraan via HP sepuluh menit sebelum kecelakaan itu menjadi semacam salam perpisahan dengan mama tercinta, gambaran kebahagiaan menggelayut di bilik hati Werdana, Erni, Pradita dan Rasti seketika berhambur, hancur menjadi serpihan-serpihan. Kecelakaan maut di tol kilometer 13 telah merenggut dua nyawa sekaligus.
Di rumah sakit, Rasti jatuh pingsan dan jatuh pingsan lagi, kesadarannya laksana kapas tertiup angin melayang-layang di udara, beruntung ada ayahnya meski masih koma. Pelan-pelan Rasti berusaha tegar menghadapi kenyataan.
“Kasus pasien koma berbeda-beda, semua tergantung riwayat penyebab. Jadi saya tetap berusaha, Mbak Rasti harus kuat dan tabah serta banyak berdoa, semoga ayahnya diberikan kesembuhan”, sejatinya Dokter Bram juga pesimis sambil mengamati monitor EKG yang belum menunjukkan perubahan, namun ia berusaha menguatkan hati Rasti.
Rasti kembali duduk lemas di samping ayahnya terbaring, sesekali dipandangi wajah ayahnya yang nampak dingin tanpa ekspresi.
“Bangunlah ayah, sadarlah...Rasti butuh ayah, Rasti tidak bisa melanjutkan hidup seorang diri, ayaah,” desah Rasti seraya merebahkan kepala di pinggiran ranjang, karena terserang lelah akhirnya tak kuasa menahan kantuk datang.
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Roh Werdana terpental kembali masuk ke tubuhnya yang telah terkulai selama tujuh belas hari ini, perlahah-lahan jemari tangannya bergerak.
Suara itu, suara yang acapkali terdengar itu adalah denting berjatuhan di lantai surga,menuntun Werdana menemukan kesadaran dan memberikan kesempatan hidup untuk kali kedua.
Puji Tuhan!
Ayaaah!
Rastiii!
Mereka saling bertaut tangan dan berpelukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun