Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Denting Di Lantai Surga

21 Maret 2016   21:06 Diperbarui: 21 Maret 2016   21:31 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Tidak ada firasat apapun, bahkan sepuluh menit sebelum kecelakaan terjadi, Rasti sempat ngobrol lama dengan mamanya melalui Hp.
“Gimana Ma, acara wisuda kakak, meriah nggak”, tanyanya mengawali pembicaraan.
“Uuu, rame sekali, kakakmu dan teman-temannya begitu kompak dan sangat gembira menyambut kelulusan mereka. Kamu sih nggak bisa ikut, o ya, bagaimana persiapan di rumah apa sudah selesai”, cerita Mama Erni penuh antusias waktu itu.
“Beres ma, it’s okey, tetangga dan kerabat dekat sudah berdatangan, siap memeriahkan acara syukuran. Pokoknya mama nggak perlu khawatir, Rasti sudah mempersiapkan semua”, jawabnya mantap.
“Percaya, anak mama yang cantik pasti dapat diandalkan. Sampai bertemu di rumah, bye sayang”, jawabnya singkat sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Da juga mama, jangan lupa ingatkan ayah berhati-hati bawa mobilnya karena ini hujan kali pertama”, Rasti memencet tombol off bergegas bergabung dengan kerabat melanjutkan pekerjaan. Tidak menyangka pembicaraan via HP sepuluh menit sebelum kecelakaan itu menjadi semacam salam perpisahan dengan mama tercinta, gambaran kebahagiaan menggelayut di bilik hati Werdana, Erni, Pradita dan Rasti seketika berhambur, hancur menjadi serpihan-serpihan. Kecelakaan maut di tol kilometer 13 telah merenggut dua nyawa sekaligus.
Di rumah sakit, Rasti jatuh pingsan dan jatuh pingsan lagi, kesadarannya laksana kapas tertiup angin melayang-layang di udara, beruntung ada ayahnya meski masih koma. Pelan-pelan Rasti berusaha tegar menghadapi kenyataan.
“Kasus pasien koma berbeda-beda, semua tergantung riwayat penyebab. Jadi saya tetap berusaha, Mbak Rasti harus kuat dan tabah serta banyak berdoa, semoga ayahnya diberikan kesembuhan”, sejatinya Dokter Bram juga pesimis sambil mengamati monitor EKG yang belum menunjukkan perubahan, namun ia berusaha menguatkan hati Rasti.
Rasti kembali duduk lemas di samping ayahnya terbaring, sesekali dipandangi wajah ayahnya yang nampak dingin tanpa ekspresi.
“Bangunlah ayah, sadarlah...Rasti butuh ayah, Rasti tidak bisa melanjutkan hidup seorang diri, ayaah,” desah Rasti seraya merebahkan kepala di pinggiran ranjang, karena terserang lelah akhirnya tak kuasa menahan kantuk datang.
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Hai manusia, kembalilah, belum waktunya kamu berada di sini!
Roh Werdana terpental kembali masuk ke tubuhnya yang telah terkulai selama tujuh belas hari ini, perlahah-lahan jemari tangannya bergerak.
Suara itu, suara yang acapkali terdengar itu adalah denting berjatuhan di lantai surga,menuntun Werdana menemukan kesadaran dan memberikan kesempatan hidup untuk kali kedua.
Puji Tuhan!
Ayaaah!
Rastiii!
Mereka saling bertaut tangan dan berpelukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun