Mohon tunggu...
Egi David Perdana
Egi David Perdana Mohon Tunggu... -

https://www.facebook.com/egibest.egi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sonata Cinta V - VIII

10 Oktober 2012   12:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau satu-satunya air pasang yang mampu membuatku terkikis ketika aku tidak tahu aku akan menjadi apa nanti
sebab setiap ombak yang mengalir selalu meninggalkanku ketika mereka sampai ke hadapanku
mereka, mereka terlalu gelisah, gelisah tuk membuang kegelisahan busuk dari ladang hati mereka
menatapi asa dari kejauhan namun tak berani mendekat, terlalu takut tuk mengikis, mengikis aku
"Ah seandainya tiada kepengecutan seumpama malaikat terang dalam jiwa kami" harap mereka.

Bagian ketujuh - Ini Perih

Atas nafkah-nafkah yang dibiarkan meregang nyawa, ia berselimut tipis menggigil di pangkuan trotoar
layaknya merpati yang kembali ke sarangnya namun ia tak temukan anak-anaknya disana, tersambarlah hatinya
terik ini seakan menghanguskan mentari sendiri, luka, luka dan luka pun terluka semakin terluka dan terluka
sedang anda menonton dari balkon utama tertawa terpingkal-pingkal sebagaimana anda menikmati dagelan terkonyol yang pernah ada
"ingat tuan penguasa 'ini perih' minta ampunlah sebelum engkau dilaknat kemarahan rakyat"

Semua orang suci hening diam dan tanda bahaya keluar tertatih-tatih dari dasar jurang kenistaan
setiap orang berusaha mencegahnya keluar, sedang komat-kamit tahmid berkumandang di seantero kekhawatiran
bayi-bayi menangis, orang tua bersedu sedan, air mata mereka mengalir melalui hulu-hulu kecemasan dan bermuara ke ketakutan yang dalam
"Ini akhir sejarah kita seperti yang kita tahu dan setiap luka kita menjerit!" pekik mereka tajam
"jangan mengeluh, ini perih namun bumi lebih perih lagi, jeritan lukanya lebih dalam!" pekikku lebih tajam.

Tubuhku terjebak dalam dimensi ketiga, begitu pun akal, budi serta pikiranku, sungguh usang, sungguh
aku tak bisa keluar terpenjara dalam kotak-kotak bernama kefasikan, kemunafikan serta keegoisan
jalan keluarku cuma satu menghapus semua masa lalu dzalim berkedokan kepahitan dan rasa sakit
tapi jalan yang lebih segar tidak mau membukakan pintunya padaku, selalu digrendel dengan bayang-bayang yang mendikte ia
aku sadar jalan yang menutup pintunya itu adalah aku sendiri dan ini perih.

Aku adalah pungguk yang menatap anugerah dan berkat yang berpagut mesra, di senyummu yang indah itu tentunya
rasanya aku ingin menjadi sekepal batu yang menempel di dalam otakmu, agar aku selalu ada dalam pikiranmu
karna engkaulah satu-satunya gadis yang dapat membuat ketidakpercayaan diriku rela menjemput maut
sampai pada akhirnya tatapan matamu menyiratkan rasa mual yang amat sangat
izinkan aku untuk meramu pandanganmu menjadi khayalan pesimisku belaka sebab ini perih.

Sudah tersirat timur iri kepada barat begitupun tersurat barat memendam dengki kepada timur
lalu apakah kita harus berlari ke arah selatan dan utara walaupun arah sudah dibolak-balikan?
kemana kita melangkah disitulah kita akan terhenti lalu mati begitu pun dimana kita terdiam itulah awal segala pahit yang akan mematikan kita
dan jangan biarkan kita tanpa penuntun tapi jika penuntun itu penyesat langkah lebih baik kita meremukannya
pasrahkan saja diri kita terhanyut sampai ke muara tanpa arah walau ini perih.

Bagian kedelapan - Teralunnya Doa

Gelap.... tangis yang tak terputus-putus, bendera partai yang dikebumikan
tua renta menatap reformasi yang cacat berlubang, ia menghela nafas ingin melompat ke dalam lubang itu
lingkaran itu tiada henti berputar di dalam kepala birokrasi, gulingkan kedikdatoran, gulingkan ketidakadilan
gulingkan janji-janji yang menutup matanya, gulingkan segalanya yang tak sehati dengan kami
kami disini menanti teralunnya doa dari ibu, ibu kami, ibu pertiwi. atas dosa-dosa entah siapa kami atau mereka.

Ingin kukatakan padamu kepalsuan adalah dualisme dan si jahat telah mati, Ya gelap dunia telah dieksekusi
dan sistem hirarki adalah palsu jika tinggi dan rendah tidak sesuai dan sejalan, itu klasik
lalu pada masanya nanti bibir kosmos akan sedikit terbuka dan seluruh manusia ingin masuk ke dalamnya
tapi sudah kuingatkan tidak setiap buih menjadi wujud, tidak semua niatan menjadi anak manusia
tidak semua rencana terangkai megah di dalam teralunnya doa.

Aku berdiri di damaskus bersiap menumpahkan cawan yang keempat, aku gugup
kucermati manusia satu persatu mereka meringkik, sebagian sujud dan tertelungkup
mereka semua terbakar hangus, terdengar jerit dan mereka berkata cukup-cukup
tetapi mereka terus melempari namaNYA dengan hujat tanpa henti sehingga cacian mereka menggunung tertangkup-tangkup
seperti telah tertulis tetap saja tak ada pertobatan dalam setiap teralunnya doa mereka, aneh hanya untuk itu mereka terlihat tak sanggup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun