Mohon tunggu...
Egi David Perdana
Egi David Perdana Mohon Tunggu... -

https://www.facebook.com/egibest.egi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saksi Sekejap (Cerpen "Fiksi" Dedikasi untuk Para Aktivis yang Hilang)

11 Agustus 2014   18:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mencoba menulis cerpen untuk  saya dedikasikan pada para aktivis yang hilang belasan tahun silam, tentu saja ini hanya fiksi dan ini jelas murni hanya pemikiran dan ide gila dari saya sebagai penulis amatir maka dari itu jangan terlalu dimasukkan ke dalam pikiran atau hati apalagi tulisan saya dianggap sebagai dari bocoran dari teori konspirasi misalnya dimasukkannya nama Jakarta Post dan Telkom Speedy di cerpen saya ini sebagai pihak yang terlibat, yah anggap saja sebagai aksesoris untuk mempercantik cerpen saya.

****

Judul: Saksi Sekejap
Genre: Misteri, Crime
Tokoh Utama: Tofan Abdurahman
Lokasi: Jakarta

Hari itu senin 20 tahun yang lalu aku pergi bersama beberapa rekanku sesama aktifis lingkungan  hidup, kami berangkat menuju sebuah pulau yang jaraknya kira-kira 4 kilo meter, waktu itu aku begitu semangatnya, aku ingat rekanku yang bernama Wahyono menyemangati kami dan berkata kita tidak boleh menyerah dengan cukong-cukong yang berniat memprovokasi warga untuk menyerahkan daerah mereka yang hijau kepada investor, aku ingat betul kata-katanya itu dan kini setelah sudah memasuki tahun ke dua puluh setelah kejadian aku tak pernah melihat lagi batang hidung mas Wahyono sampai sekarang ini.

Ada yang pernah melihat mayat mas Wahyono di buang di sebuah kali besar di sekitar Muara Angke, Jakarta tetapi orang yang menyebarkan berita tersebut keesokan harinya tidak mau buka mulut kembali, besar kemungkinan orang itu dipaksa tutup mulut. Sebelumnya orang yang menyebarkan berita itu berkata bahwa tubuh mas Wahyono dibanduli sehingga mudah tenggelam ke dasar dan sulit untuk ditemukan, tapi bisa saja itu adalah tubuh mas Waludin yang wajahnya mirip dengan mas Wahyono sebab mereka kakak beradik, Ya kedua kakak beradik tersebut hilang dalam selisih waktu hanya beberapa hari saja.

Aku menatap catatan kecil mas Wahyono, Ya begitulah aku memanggilnya dengan embel-embel “mas” karena ia lebih tua 10 tahun dariku, mas Wahyono  memang bukan penyair, bukan pula sastrawan tapi kata-katanya selalu membangkitkan semangat kami para aktifis, biasanya mas Wahyono menuliskan dulu orasinya kepada kami di secarik kertas dan kemudian membacakannya di depan kami. Ya ia bukan tipe orator yang mendapatkan ide di kepala secara tiba-tiba tetapi harus memikirkannya terlebih dahulu, kalau dia sedang tidak ada kata-kata untuk diorasikan ya dia memilih diam dan menyerahkan orasi pada yang lain, toh banyak juga aktifis yang sama baiknya bahkan lebih baik cara berorasinya ketimbang mas Wahyono itulah yang selalu ia katakan kepada kami jika ia menolak untuk berorasi.

Dan pagi ini hari senin tepat sudah dua puluh tahun setelah kejadian hilangnya mas Wahyono facebookku diadd oleh orang yang sangat mirip dengan mas Wahyono. Tetapi disini tubuh orang yang mirip mas Wahyono terlihat lebih gemuk tetapi tatapan matanya terlihat kosong, rambutnya awut-awutan dan ia menunjukan senyum yang dipaksakan kelihatannya orang tersebut mengalami sedikit gangguan jiwa. Latar dari foto orang yang mirip dengan mas Wahyono tersebut hanyalah sebuah tembok putih dan nampaknya foto tersebut diambil dengan sebuah handphone yang jadul, hal itu terlihat dari tidak jelasnya foto orang tersebut di facebookku.

Dan dilihat dari temannya di facebook dia baru mempunyai 1 teman yaitu aku, aku pun semakin penasaran.

Kemudian aku mengirimkan pesan pada orang yang menggunakan akun nama “Petir Menggelegar” tersebut,  dan aku bertanya padanya tentang tempat dimana dia tinggal dan siapa namanya tapi dia hanya menjawab dengan sebuah jawaban yang membingungkan.

“Nanti aja mas banyak orang disini”

Aku bingung maksud dari kata-kata orang tersebut, banyak orang maksudnya banyak keluarganya atau teman-temannya? Lagipula aku hanya menanyakan nama dan alamat tidak mungkin keluarga atau teman-teman orang tersebut mempermasalahkannya.

“Loh kenapa mas? Saya kan hanya tanya nama dan alamat mas?” tanyaku membalas jawaban pesan orang tersebut yang sangat membingungkan.

Tetapi ia malah menjawab:

“Bukankah kenyataan adalah apa yang bagi diri kita sendiri telah lihat dan kita anggap itu benar? Bagaimana kalau orang-orang di sekitarmu bagian dari ketidaknyataan itu?”

Aku pun bingung, aku bertanya apa maksudnya dia mengatakan hal tersebut tetapi kali ini orang itu tidak menjawab dan setelah aku cek orang tersebut telah menghapus pertemanannya denganku. Aku pun langsung berinisiatif melacak ip-nya karena kebetulan aku tahu tekniknya karena pernah belajar teknik jaringan di universitas pakuan Bogor. Setelah beberapa jam akhirnya aku mendapatkan alamat ip-nya sekaligus menemukan isp-nya dan ternyata isp-nya sama dengan isp berlangganan internetku.

Aku diam mengamati alamat ip-nya kemudian beralih ke isp-nya kalau isp-nya sama berarti orang tersebut ada di dalam wilayah dalam jangkauan layanan provider internet yang sama denganku, aku pun langsung bertanya pada provider internet berlangganku yaitu Telkom Speedy via telepon, namun pihak provider tidak mau memberitahu nama dari pemilik ip tersebut dengan alasan privasi namun setelah aku ungkapkan alasanku menanyakan siapa pemilik ip tersebut dan ada sangkut pautnya dengan mas Wahyono si operator langsung memutus telepon tiba-tiba. Sebelum ia memutuskan telepon terdengar suara yang aku kenal sedang membentak operator tersebut, ya suara itu adalah suara Sutono salah satu kawanku dan mas Wahyono yang juga seorang aktivis.

Aku segera berdiri dan berniat pergi ke rumah Sutono, aku mulai curiga jangan-jangan dialah salah satu dalang dibalik hilangnya mas Wahyono dan mas Waludin, Sutono yang setelah berhenti menjadi aktivis sempat bekerja sebagai karyawan di salah satu media cetak paling dihormati di jakarta yaitu Jakarta Post dan setahun kemudian  masuk angkatan darat dan kini berpolitik tersebut memang patut dicurigai karena sejak dulu rasanya dia sentimen terhadap mas Wahyono dan mas Waludin.

***

Seorang satpam yang dulu juga adalah rekanku yaitu Bejo menghampiriku dengan senyum lebar dan menyapaku.

“Kemana aja Fan kok baru mampir?” tanyanya.

“Aku sibuk dengan pekerjaan kebunku” jawabku memberi alasan.

Dan segera saja tanpa basa-basi kutanyai dimana Sutono berada, wajah Bejo sedikit bingung. Ya tentu saja karena selama ini aku akrab dengan Bejo bukan dengan Sutono rekan yang kini menjadi bosnya.

“Beliau sedang pergi rapat” jawabnya.

“Dengan salah satu perusahaan telekomunikasi?” tanyaku keceplosan.

Raut wajah Bejo memang tidak berubah dan aku tidak sadar bahwa sikap cueknya itu akan menjebakku dan menjadi penentu takdirku, aku pun berpamitan pada Bejo, aku mengucapkan salam sebagaimana seorang muslim mengucapkan salam ke sesama muslim lainnya kemudian pergi berlalu.

***

Sesampainya di rumah aku langsung mencoba membuka akun facebook orang yang mirip dengan mas Wahyudin dan betapa terkejutnya aku setelah aku dapati dengan mata kepalaku sendiri orang itu telah memblokirku, aku mencoba membuka akunnya dengan melogout terlebih dahulu akunku sehingga aku bisa melihat akunnya, namun sepertinya akun orang tersebut diprivate dari orang-orang yang belum berteman dengannya dan aku pun tidak bisa menambahkannya sebagai teman, di dalam info tentang orang tersebut hanya ada info orang tersebut kelahiran Solo dan itulah tempat kelahiran mas Wahyono, aku jadi semakin yakin bahwa orang tersebut adalah mas Wahyono meski aku benar-benar belum yakin sepenuhnya.

“Ah sudahlah lebih baik aku langsung tanyakan pada Sutono” pikirku dalam hati, aku segera berpakaian dan tidak lupa pula sebuah pistol aku masukan ke dalam balik bajuku untuk jaga-jaga.

Saat akan berangkat kulihat istriku yang sedang menyusui anak ketiga kami Alisa yang berusia 4 bulan, ia terlihat menyusui dengan penuh rasa keibuan, aku rasa dialah istri sekaligus ibu terbaik di dunia dan beruntung Alhamdulillah aku bisa meminangnya, kulihat senyumnya yang tulus ketika menatap Alisa kecil yang sedang menyusu kepadanya, tapi aku tidak tahu apakah ini adalah terakhir kalinya aku melihat wajah istriku, aku berangkat setelah berpamitan dengan ibuku sambil menangis dan memeluknya, tentu saja beliau merasa heran dan menanyakan apa yang terjadi tetapi aku bungkam dan aku pun pergi meninggalkan rumah.

***

Aku melihat Bejo masih berjaga dan belum diganti, betul juga sekitar satu jam lagi dia baru diganti pikirku, aku pun langsung menghampirinya, aku menghampirinya bukan tanpa rencana, aku sudah merencanakan sebuah rencana yang bagiku sudah matang.

Aku pun berjalan dengan santai dan dari kejauhan kusapa Bejo.

“Hai Jo boleh nggak nih gabung sama kamu nonton tivi?” sapaku.

Bejo melihat ke arahku dan menyapa balik, acara yang dia tonton di sebuah televisi berukuran kecil di dalam ruangan kecil tempatnya bertugas dia abaikan, dia pun menghampiri dan memelukku.

“Eh mau mencari pak Sutono ya?” tanyanya.

Aku sama sekali tidak merasa curiga dengan pertanyaan Bejo yang sebenarnya adalah blunder dan bisa menyelamatkan takdirku itu, kujawab saja dengan santai pertanyaan Bejo tersebut.

“Tidak aku tak ingin bertemu Tono, aku cuma ingin main saja” jawabku menyembunyikan tujuanku.

Sebenarnya aku mual ketika setiap kali Bejo memanggil Sutono dengan tambahan “pak” di depan nama Sutono, padahal dulu Sutono dan Bejo adalah teman sesama aktifis dan Bejo malah lebih tua 4 tahun darinya.

Aku pun ngobrol ngalur ngidul dengan Bejo,aku terus berbasa-basi namun basa-basiku itu memang aku rencanakan dan arahkan demi bisa memuluskan rencanaku, kami  mengobrol dengan akrab sambil menghisap rokok kemudian aku memanfaatkan kesalahan kecil yang selalu Bejo lakukan terhadapkawan-kawan yang mengunjunginya yaitu lupa menyuguhkan minuman.

“Eh kok aku gak dibuatkan minum Jo?” tanyaku sambil pura-pura bercanda sambil menepuk-nepuk pundak Bejo.

“Oh maaf mesti loh aku kelupaan” jawab Bejo sambil berlari masuk ke dalam rumah.

“Teh atau kopi Fan?”  tanya Bejo dari kejauhan.

“Teh saja” jawabku.

Dan di saat Bejo masuk untuk meminta bi Arum untuk membuatkan teh secepat kilat aku langsung memasukan obat tidur dosis tinggi ke dalam kopi miliknya.

Bejo kembali dengan membawakan teh hangat kemudian kembali mengajakku ngobrol nampaknya tidak ada sama sekali kecurigaan di hatinya, kami pun ngobrol ngalur ngidul dan aku pun mencemooh Sutono dalam hati.

“Rumah seluas ini kenapa hanya ada satu dua satpam dan tidak dijaga ketat, tolol” ucapku dalam hati.

Dan saat yang aku tunggu pun tiba, Bejo menyeruput kopinya yang tinggal setengah itu, beberapa menit kami sempat mengobrol dan akhirnya Bejo pun rubuh juga, aku melihat Bejo tertidur dengan posisi tertelungkup, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan langsung saja aku masuk ke dalam pekarangan rumah Sutono, aku percaya mas Wahyono disembunyikan di salah satu pekarangan Sutono yang luas.

Aku terus mencari, aku mencari dengan seksama bahkan setiap rerumputan aku sibak, siapa tahu ada ruangan bawah tanah, aku pun terus memanggil nama mas Wahyono karena aku tahu hanya ada bi Arum di dalam rumah dan dia tuli.

Aku memanggil-manggil mas Wahyono dan tiba-tiba saja “Door..Door...Door...Door...Door” aku ditembak lima kali tepat di bagian punggungku dan aku pun meregang nyawa, di tengah-tengah kesadaranku yang mulai hilang, di tengah sakaratul mautku aku mendengar suara mas Wahyono yang menangis dan meminta maaf padaku dan dari kejauhan kulihat beberapa mantan jenderal yang di televisi terlihat saling bermusuhan, beberapa politikus dan mantan politikus, rekan-rekanku sesama aktifis termasuk Sutono, pemilik utama Jakarta Post, saksi yang dulu mengaku melihat mayat mas Wahyono, beberapa orang dari provider internet berlanggananku yaitu Telkom Speedy, bi Arum, cukong yang dulu menghalangi usaha kami para aktifis dan bahkan istriku tertawa terbahak-bahak dari balik jendela melihatku perlahan-lahan mati.

Kulihat juga disana mas Waludin sedang menatapku sedih, sebuah senjata laras panjang ditodongkan oleh beberapa orang dengan tampang sangar ke kepalanya dan aku bisa melihat gerak bibirnya yang mengucapkan maaf, aku kini sadar bahwa semua yang aku alami hari ini sudah mereka rencanakan bahkan istri yang sangat aku cintai pun terlibat, aku pun kembali teringat jawaban membingungkan dari mas Wahyono di facebook apalagi kini kulihat istriku itu sedang berciuman dengan Sutono dan istriku itu tidak rikuh meraba-raba kemaluan Sutono yang mulai tegang.

Ya ternyata semua sudah direncanakan, mereka merencanakan rancangan yang sangat jahat kepadaku. Tiba-tiba dari kantong bajuku jatuh sebuah tanda pengenal dan disitu tertera nama Tofan Abdurahman bakal calon presiden republik indonesia, bakal calon independen dan aku pun baru teringat aku yang ternyata penderita lupa ingatan jangka pendek ini tengah merencanakan mencalonkan diri sebagai presiden demi memuluskan salah satu ambisiku menemukan rekan aktifisku yang hilang dan aku sangat vocal dengan masalah hilangnya mas Wahyono dan juga mas Waludin.

Aku pun menjadi saksi sekejap misteri negeriku yang tertutup selama 20 tahun dan aku pun mati tertelungkup di kebun milik Sutono. Ya aku sama sekali tak menyangka, hidup ini memang penuh kejutan.

TAMAT

Next cerpen: Dinding

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun