"Baiklah, Nek. Saya beli semua daun singkongnya, ya. Biar nenek bisa pulang istirahat."
Kalau pedagang lain mungkin sudah senang mendengarnya, namun Mak Subaeti bukan semata berdagang. Ia akan sakit hati, jika daun dari singkong yang ia tanam dan petik sendiri disia-siakan orang.
"Loh, loh. Nanti dulu, Neng geulis. Buat apa beli banyak-banyak? Sayang daun singkongnya nanti tidak habis dimakan."
Emosi yang tadi terkendali kini bubar kembali, si perempuan muda di depannya merasa dipermainkan. Ia memberengut dan berkata kesal,
"Duh, Nek! Niat jualan gak sih? Dikasih uang tidak mau, dibeli dagangannya tidak mau. Ya sudah saya tak jadi. Permisi!
Badan ramping itu hampir berpaling, tapi Mak Subaeti segera menahan lengannya.
"Bukan begitu, Neng, tapi Mak sudah melacurkan mereka, bagaimanapun Mak lebih rela jika daun singkong itu dimakan domba ketimbang disia-siakan." Wajah keriput itu sendu, tapi cahaya keemasan seperti terpancar darinya. Si nona terpesona. Sedang dadanya terhantam sesuatu yang lebih halus dari udara, namun lebih berat dari gada.
"L-lacur?" Ia terbata.
"Betul, Neng. Sebelum dikhususkan sebagai manusia, bukankah Mak dan daun singkong itu sama? Sama-sama makhluk ciptaan-Nya. Hanya karena Mak jadi manusia, Mak seakan punya kendali untuk mengapakan daun singkong tersebut, termasuk menjual dirinya. Apa jadinya perasaan pelacur yang dihinakan pembelinya?"
Si nona merunduk menyerupai kelayuan daun singkong di lapak Mak Subaeti. Sekarang sesuatu itu bukan hanya menghantam, tapi meremas-remas jantungnya. Ia sesak dan terisak pelan.
Sedangkan Mak Subaeti yang penglihatannya sudah berkurang itu tidak tahu apa yang terjadi, ia beranjak ke lapak dan mengambil seikat daun singkong, kemudian memberikannya kepada si nona tersebut.