Mohon tunggu...
Lanang Irawan
Lanang Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Senang membaca dan berbagi tulisan.

Kedipan nyalakan bara, lelapnya pulaskan renjana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dibunuh Penjual Tanah

18 Juli 2020   07:53 Diperbarui: 18 Juli 2020   10:00 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akar gantung yang merumbai dari satu-satunya pohon di tanah ini adalah tempatku bermain bersama teman yang orang tuanya mati diburu serdadu. Kalau hari mujur, aku sering mendapatkan makanan baik di seberang sana setelah berayun-ayun--depan kawat besi yang panjaaang sekali, benda keras yang juga memisahkan kami dari dunia luar.

Kadang aku bosan, temanku juga bosan. Tapi orang tua kami tak bosan-bosan meminta kami agar tidak pernah merasa bosan hidup di tempat ini. Membosankan! Padahal kami hanya ingin keluar sebentar untuk mengenal dunia yang kata mereka sangat berbahaya.

Bagaimana mungkin aku merasa takut pada sesuatu yang belum diketahui? Lagi pula apa itu bahaya?

Akh! Orang tua memang penakut! Jika aku memaksa keluar, mereka malah menjejaliku dengan tragedi-tragedi yang dulu menimpanya. Menjengkelkan!

Apa hubungannya keinginan kami hari ini dan tragedi mereka di masa lalu? Tidak ada, kan? Karenanya, aku yakin mereka hanya membual. Bila kami pergi orang-orang tua itu akan kesepian. Licik sekali!

Atau mereka mengira kami akan takut? Lalu sedetik demi sedetik berubah menjadi pengecut seperti mereka? Tidak! Aku tidak takut, yang kutakutkan itu hidup di sini selamanya.

Apalagi semingu ini makanan yang aku dapatkan itu-itu saja, pisang kulutuk dan kadang jambu batu. Aku sampai susah berak seperti kemarin--mampet pencernaan. Ditambah menyaksikan teman dan ibu sedang main tepat di sampingku yang buang hajat. Makin mampet saja!

"Kes! Kes! Kes!"

Hoi! Itu dia bunyi si tua yang suka melatih kami bergoyang diiringi tabuhan gendang, makhluk yang pikunnya sudah sampai ubun-ubun. Bulu yang masih hitam di tubuhnya hanya pada bagian wajah, tepatnya di atas bibir tebal yang menyembunyikan gigi ompong. Kadang aku mengira bibir itu kulit pisang yang terlanjur matang, hitam dan kering.

Suasana berubah riuh, bangsaku yang tinggal sepuluh jiwa ramai-ramai menyongsong ke arah panggilan dengan berloncatan, bergelantungan, tak jarang silih sikut dan saling dorong.

"Anjing! Sabar, semua bakal kebagian! Cukup manusia saja yang tidak bisa mengantri!" Nah! Si tua mulai lagi pikunnya, memanggil bangsaku dengan nama bangsa lain. Kalau aku sudah besar, ingin sekali kucakar wajah keraras kering itu.

"Lakum. Sini kau! Kau yang paling alim di sini meski lahir belakangan." Ah! Si tua itu memanggilku dengan sebutan itu lagi, Lakum. Aku kadang bingung bersikap, jika dipanggil demikian.

"Karena kau yang paling kecil, hari ini kubawa kau keluar! Awas jangan nakal!" Aku lantas dipangku tangan yang seperti batang singkong itu. Namun, kulihat ibuku gusar, giginya keluar ketika memandang ke sini.

Aku tambah heran ketika kegusaran ibu menular kepada bapak, kepada kakek, dan kini teman-temanku ikut-ikutan. Akhirnya tak mau ketinggalan, aku pun bertingkah seperti mereka di pangkuan si tua.

"He, Lakum, kenapa kau juga ikut-ikutan? Mereka hanya iri karena tidak diajak. Makanya marah-marah." Si tua membuka pintu, membawaku keluar. Tak peduli keluarga dan kawan-kawanku berisik sambil menggoyang-goyang kawat penghalang.

Keluar. Inilah yang aku inginkan sejak lama. Namun, yang kumau bukan hanya seorang diri yang keluar, tapi seluruh bangsaku. Aku memberontak di gendongan si tua, hendak mengajak ibu, bapak, dan kawan pergi bersama.

Sialnya. Tangan si tua itu seperti akar gantung dari satu-satunya pohon di sana--ulet dan liat, aku tak berdaya ketika dipegang kencang-kencang. Kemudian si tua memasuki bangunan beratap hitam penuh lumut. Di depan bangunan ini ada tanah lapang ditanami bunga sana-sini.

"Ini rumahku. Kau, Lakum, makanlah apel ini! Jarang aku memberi monyet apel." Setelah merantai badanku dengan tali yang dibawa, dia memberikan buah hijau. Baunya harum, ketika kugigit banyak cairan keluar. Manis sekali. Si tua ini ternyata tak pelit-pelit juga.

Brak!

Buah yang kupegang hampir mencelat, penutup bangunan yang tadi si tua tutup kini terbuka keras. Dari sini kulihat si tua yang kembali muda masuk dengan beringas. Persis muka kakek dan bapak saat berebut ingin main dengan ibu.

"Tua bangka sialan! Sudah kubilang tanah itu akan kujual, kenapa kau malah menariknya kembali dari makelar?" Bahasa yang tidak pernah kupaham keluar dari mulut si tua versi muda. Membuat si tua yang membawaku bergetar badannya, kemudian berdiri menunjuk muka.

"Anak busuk! Kau tak tahu jika tanah itu kubeli susah payah mengumpulkan hasilku bertopeng monyet. Sekarang kau malah mau menjualnya begitu saja? Monyet kau!"

Oh! Rupanya si tua versi muda itu sejenisku, aku memihaknya sekarang. Apa lagi kelakuannya persis kelakuan bapak ketika merebut makanan temanku. Ia memukul si tua yang membawaku tadi sampai terjembab ke lantai.

"Monyet tua! Kau terlalu dekat dengan monyet-monyet itu sampai tak bisa berpikir ke depan. Tanah kau itu hanya bisa dipakai menanam padi dua tahun sekali, sedangkan mereka akan mengembangkannya jadi pabrik yang menghasilkan uang banyak-banyak."

"Cih! Setan mabuk sepertimu tau apa? Kau mudah dibujuk makelar itu, setan!"

Selanjutnya kulihat leher si tua yang membawaku putus. Cairan merah memancar dari sana mengotori muka si tua versi muda yang tadi mencabut benda berkilat tajam dari pinggangnya sebelum menghantam leher si tua yang membawaku.

Ah! Si tua versi muda ini ternyata lebih rendah dari bangsaku. Bangsaku meskipun sering marah-marah dan gusar, tak pernah membikin bangsa sendiri berkelejat kesakitan. Aku jadi meronta-ronta ingin kabur sambil berteriak memanggil ibu, bapak, dan kawan-kawan. Sayangnya tali ini masih mengekang.

Sedang si tua versi muda semakin mendekat, matanya garang terbakar. Benda berkilau itu kembali ia cabut. Secepat kilat terayun dan mendarat tepat di leherku.

Sesak, dingin, dan nyeri menguar dari bekasnya. Aku ambruk, pandanganku menggelinding dan berhenti tepat di samping kepala si tua.

Dari kepala yang terpisah kulihat tanganku masih memegang apel pemberian si tua yang tersisa setengah, tubuh kecilku telentang tanpa kepala di meja. Aku ingin kabur, tapi kakiku juga ada di sana.

Sialan! Andai aku menuruti orang tua supaya tidak bosan diam di sana tentu ini takkan terjadi. Padahal aku baru lahir enam bulan kemarin. Sungguh! Aku masih ingin pulang dan berayun-ayun di akar gantung dari satu-satunya pohon di sana lagi. Namun, pandangan meredup, dan aku mengantuk sekali, Pak Tua.

Sukabumi, 17 Juli, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun