"Hahaha. Bangsat!" Kau menghujat, tapi untuk apa? Kepada dan karena siapa? Ck ... kasihan.
Sepersekian detik kau malah terisak-isak, dan lebih baik begitu!
Jika kau lelaki, saat ini jangan terkurung maskulinitasmu. Menangislah! Masa bodoh pada asumsi orang yang tak mau mengerti.
Bila kau perempuan, jangan menangis sebab feminitasmu saja. Lebih dari itu, temukanlah alasan tangisanmu. Kemudian berdamailah dengan alasan itu.
"Bagaimanapun aku masih percaya akan Tuhan." Oh! Kalimatmu ini seperti bianglala yang memperbarui keadaan selepas bencana yang menghancurkan tatanan alam. Indah dan gagah, bukan?
"Aku tak mau bianglala, ia menyulitkan dan hadir sebentar saja."
Begitukah? Padahal kau hanya perlu gerimis dan cahaya untuk menciptakannya. Temukanlah cahayamu untuk membuat pelangi di setiap gerimis hidupmu. Percayalah! Bianglala akan hadir jika kau memiliki cahaya dan tahu bagaimana memanfaatkan pendarnya.
"Terima kasih, diriku sendiri! Aku mengerti dan merasa kau sangat baik sekali."
Sama-sama, diriku sendiri.
2020. Sukabumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H