Mohon tunggu...
Lanang Irawan
Lanang Irawan Mohon Tunggu... Lainnya - Senang membaca dan berbagi tulisan.

Kedipan nyalakan bara, lelapnya pulaskan renjana.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dialog yang Takkan Pernah Terpenggal

17 Juli 2020   20:29 Diperbarui: 17 Juli 2020   21:10 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepeninggal seseorang yang dipanggil kekasih, bumi seakan menjadi kuali yang di bawahnya ada lava menggelegak memanaskan laut dan tanah. Sedangkan di dalam dirimu kesadaran mengembara, kadang ke hati, kadang ke jantung, kadang juga ke hening, lalu menggantung diri.

Renjana yang tak kunjung tuntas jadi beluk untuk harapan yang tempo lalu sempat kautanam. Benci itu seringkali mengutuk, bukan? Meliuk bak badai tengah mengamuk, tidak bisa diajak tenang. Sia-sia kau mempertahankan diri agar tidak terlecah pada dendam.

Pudar. Cahaya wajahmu tertutupi tentangnya yang membelukar. Hujan, guntur dan teriakan tanpa tuan segalanya berdengung, bergeletar. Semua itu terjadi bukan di alam, namun di dalam. Bukan di luar, walakin di nalar. Bukan di angkasa, tapi melarung di sungai jiwa.

Ketika mentari naik sepenggalah, kau terseok-seok ingkah berniat mengingkari segala kenangan yang melulu membuat lemah. Berikrar melawan perasaan yang menekan dengan kasar, "Aku harus melanjutkan hidup!"

Alangkah pongah sakit hati itu, bukan? Ia tidak tersapu bersih begitu saja meski kau sudah membilasnya berkali-kali dengan ciu paling suci.

Lantas, kau memang membutuhkan lebih dari sekedar depresan, bukan pula antipiretik dan analgesik untuk menurunkan panas hati akibat membenci. Bukan. Kau hanya perlu dirimu sepenuh kesadaranmu. Itu saja.

Sekarang kau berpikir apakah segala yang kau korbankan untuknya bertentangan dengan nilai kesetiaan, bukan?

Ataukah ia yang terlalu memandang tinggi dirinya dan kau hanya budak cinta yang hina dina?

Atau malah kau yang tidak menerima segala hal yang tidak diinginkan meskipun itu adalah bagian dari konsekuensi mencinta?

"Entahlah!" Kau terguguk. Mendekam di atas meja, lunglai, gairahmu bubar seperti debu dibaur angin. Lalu kafein dalam cangkir yang masih mengepul itu tidak lagi jadi candu buatmu. Padahal sebelumnya itu adalah minuman favorit yang bisa kau habiskan tiga gelas sehari sampai tandas.

Akh! Candu itu telah berganti dan lebih pahit dari kopi, bukan? Candu kali ini melampaui sekedar candu. Ia mampu mengumpulkan benci dan harapan dalam waktu bersamaan. Lagipula, bukankah keduanya itu hasil perasaanmu yang bertepuk sebelah tangan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun