Pak Kyai yang hendak ke rumah mereka berhenti, lelaki itu menatapku aneh.
"Kau tidak tahu? Ruhin terjatuh dari nyiur."
Tubuhku menegang. Lekas mengikuti tokoh agama di kampung kami itu. Sungguh aku telah melewatkan banyak hal, padahal baru tidur sebentar.
Tubuh Ruhin yang kekar itu terbujur, kaki dan tangan patah. Balutan perban di sana-sini, membuat badan tetanggaku itu hampir menyerupai bentuk mumi. Sungguh, ia masih bernasib baik sebab tidak sampai mati.
"Marni, kalau aku cacat keterusan, sampai tidak bisa berjalan lagi bagaimana? Apakah kau akan meninggalkanku dan kawin lagi dengan lelaki lain?"
Dalam keadaan payah Ruhin bertanya, ia bahkan tidak peduli terhadap tetangga yang sedang berkumpul di rumahnya.
Alih-alih segera menjawab, Marni hanya mesem saja. Jemari wanita itu terus membelai rambut Ruhin, sambil sesekali mengecupi puncak kepala sang suami. Nyonya itu tidak menitikkan air mata, tidak juga berkata-kata. Namun, perlakuannya tersebut sudah membuktikan kedalaman kasih sayang kepada lelaki yang saban hari marah padanya.
"Asal Akang masih dapat memarahiku, jangankan kawin lagi, meninggalkanmu sendiri pun Marni tak mau."
"Aku takut tidak bisa lagi memukul muka sendiri. Jika suatu hari nanti aku marah padamu, tolong tempeleng wajah ini untuk mewakiliku."
09 Mei, 2020. CRG