Di bawah sinar matahari yang sangat terik, Gendhis Sinar Aningputri atau yang akrab dipanggil Sinar sedang berjalan menyusuri gang-gang perkampungan di sekitar pabrik yang akan menjadi tempat barunya mencari nafkah. Menapaki kota asing sebatang kara membuatnya takut sekaligus berdebar. Sinar terus berjalan melawan panasnya cuaca yang membakar kota Karangjati sambil memikirkan cerita Bibi Septi yang menceritakan tentang ibu dan kakak perempuannya yang pergi dari rumah semenjak ia berusia delapan bulan. Ayahnya selama ini selalu mengatakan bahwa ibunya sudah pergi jauh ketempat yang tidak bisa mereka temui. Karena perkataan itu, Sinar menyimpulkan ibunya sudah meninggal walaupun dia tidak pernah melihat makam ibunya selama ini. Ayahnya juga tidak pernah menceritakan bahwa dia sebenarnya memiliki seorang kakak perempuan. Selembar foto ibunya saja tidak pernah dia lihat di rumah. Ayahnya menyimpan semua cerita itu hingga hembusan nafas terakhirnya. Cerita ini hanya dia dengar dari Bibi Septi di agen bus sembari menunggu bus datang yang akan membawanya mengadu nasib di kota orang. Sampai dia di perempatan warmindo, dia melihat sebuah motor sedang mogok. Seorang perempuan tengah kebingungan menatap motor sambil berputar-putar mengelilingi motornya.
"Coba aku bantu cek motornya. Barangkali bisa aku perbaiki," batin Sinar sambil berjalan mendekati perempuan itu. Daerah ini memang tampak sepi, hanya sesekali motor berlalu lalang. Warmindo pun yang menjaga ibu paruh baya dan tidak ada pelanggan laki-laki yang bisa dimintai bantuannya.
"Permisi, Mbak," ucap Sinar pada perempuan itu.
"Oh iya, Mbak," jawab perempuan itu.
"Maaf, Mbak. Kenapa dengan motornya?"
"Oh ini mogok, Mbak. Tiba-tiba tersendat-sendat lalu mati. Saya tidak mengerti tentang motor. Bingung, mana bengkel jauh dari sini." perempuan itu tersenyum kikuk.
"Ehmm... Saya ijin, coba saya lihatnya dahulu ya, Mbak. Saya bisa sedikit tentang mesin motor, siapa tahu saja bisa saya benerin sedikit, setidaknya bisa sampai bengkel terdekat," tawar Sinar tulus membantu.
"Wah terima kasih, Mbak sebelumnya. Silahkan," perempuan itu memperbolehkan Sinar melihat dan memperbaiki motornya.
Walau tak semahir montir, Sinar yang pernah belajar mesin motor dari Ayahnya setidaknya sedikit paham. Karena motor Ayahnya pun terhitung motor tua yang sering mogok. Dengan teliti Sinar mulai memperbaiki kerusakan dalam mesinnya.
"Sudah ini, Mbak. Nanti dicek lagi di bengkel ya," ucap Sinar sembari membereskan peralatan. Dia merasa senang bisa membantu perempuan itu.
"Terima kasih banyak, Mbak. Saya tertolong sekali ini. Mbak, maaf mbak mau kemana biar saya antar sekalian?"
"Tidak usah, Mbak. Saya sedang mencari kos-kosan. Mbak, pulang saja," Sinar menolak tawaran perempuan itu karena memang dia belum menemukan kosan yang cocok.
"Oalah... Lagi mencari kos-kosan, Mbak. Ngekos di dekat kontrakan saya saja, Mbak. Pas sedang ada satu kamar kosong itu. Kerja dimana, Mbak?"
"Di PT. Sinar Terpadu, Mbak. Harga kosannya berapa sebulan, Mbak?"
"Wow, satu pabrik kita. Saya juga kerja di situ. Nanti bisa bareng saya. Murah kok, Mbak. Lima ratus ribu, tempatnya bersih, kamar mandi luar tapi, anak-anak di sana juga enak-enak. Lingkungannya aman juga, Mbak. Lihat dulu saja yuk, Mbak," perempuan itu menggebu-gebu menjelaskannya. Mereka berdua saling berkenalan dan perempuan itu bernama Anjani yang berselisih umur tiga tahun dengan Sinar.
Sinar pada akhirnya mengikuti perempuan itu. Ketika melihat kos-kosan itu Sinar merasa cocok dan jarak untuk sampai ke pabrik bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit.
"Bagaimana, jadi ngekos di sini, Mbak?" Sinar mengangguk sembari memperhatikan kamar yang akan dia tempati itu. Sinar dan Anjani beranjak keluar kamar menemui ibu kos. Anjani juga menunjukkan letak kontrakannya kepada Sinar yang hanya berjarak 2 rumah dari kos-kosannya.
Hari berganti hari, tanpa terasa sudah dua bulan Sinar bekerja sebagai Kepala Shif Produksi. Hari ini Sinar akan melakukan rapat bersama Kepala Shif dari divisi lain untuk yang pertama kalinya dalam rangka membahas kasus produk tercemar oli mesin.
"Kenapa bisa mesin kamu mengalami kebocoran sedangkan kamunya tidak tahu?" tanya Bu Nora, Kepala Shift Quality Control dengan ketus dengan pandangan mata yang merendahkan Sinar.
"Saya sudah melaporkan ke Pak Alif sehari sebelumnya."
"Aku tidak menerima laporan adanya kebocoran mesin. Jangan, melempar tanggung jawab! Kamu yang tolol dan tidak becus bekerja! Kalau ada kerusakan lapor dan follow up berkelanjutan hingga selesai! Hal sederhana seperti itu saja tidak tahu dan malah membuat kerugian pabrik," sanggah Pak Alif, Kepala Shift Teknik dengan nada berteriak.
Sinar hanya terpaku mendengar caci maki rekan kerjanya. Syok yang dia alami membuatnya tak bisa membalas hinaan itu. Sinar menyadari kalau dirinya dijadikan kambing hitam dalam kasus ini. Hal ini membuatnya mendapatkan SP 2 dari HRD. Hukuman ini merupakan keringanan hukuman dari pihak pabrik karena para atasan divisi produksi membelanya. Inilah awal kembalinya neraka di kehidupan sosialnya. Perundungan dari rekan kerjanya membuat Sinar menjadi terpuruk. Langkahnya terasa berat setiap kali memasuki pabrik. Tempatnya mencari nafkah sekarang seakan kuali panas yang merebusnya. Hinaan dan cacian dari rekan-rekan kerjanya setiap hari dilontarkan tanpa mengenal tempat. Sinar menjadi pribadi yang semakin tertutup dan kepercayaan dirinya hancur.
"Sinar, sudah makan?" tanya Anjani menghampirinya di ruang kerja. Anjani berada di divisi PPIC bahan baku sebagai Kepala Seksi.
"Sudah, Mbak. Ada perlu apa Mbak ke sini?" jawab Sinar dengan ekspresi datar. Anjani tersenyum dan mulai mengajak Sinar bercerita. Banyak lelucon konyol yang Anjani lontarkan untuk merekahkan senyuman di bibir Sinar.
"Kamu harus kuat Sinar. Dunia kerja memang panggung sandiwara yang menantang bagi lakon-lakon jalang." batin Anjani.
Dikala matahari masih enggan untuk menampakkan dirinya, Sinar terbangun dengan badan yang berkeringat dingin. Kepalanya sakit seperti dihantam palu. Dia membenamkan kepalanya ke bantal sembari menekan kepalanya. Hingga matahari mencapai puncak tahtanya rasa sakit kepala itu tak kunjung mereda, Sinar hanya pasrah karena tubuhnya terlalu lemas untuk sekedar beranjak dari kasur.
"Sinar, Sinar, Sinar. Kamu di dalam, nduk?" suara lembut Bu Leni di balik pintu.
Bu Leni adalah ibunya Anjani. Sinar sudah sering kali ikut makan bersama di kontrakan Bu Leni, Sinar diperlakukan layaknya putrinya sendiri.
"Ya ampun, nduk wajahmu pucat sekali." ucap Bu Leni dengan wajah yang menyiratkan kekhawatiran. Bu Leni dengan telaten membantu Sinar berganti baju yang sudah basah karena keringat, menyuapi Sinar dengan sabar dan membantu meminumkan obat dengan lembut. Setelah semua selesai, Bu Leni tampak gelisah dan salah tingkah di depan Sinar yang sedang berbaring di kasur. Baginya ini kali pertama dia memasuki kamar Sinar.
"Nduk, kalau ibu boleh tahu siapa foto laki-laki ini?" tanya Bu Leni sambil menunjuk ke bingkai foto di atas lemari nakas.
"Itu foto ayah saya, bu." reflek Bu Leni menutup mulutnya dan kesulitan menelan salivanya setelah mendengar jawaban Sinar.
"Nama lengkap kamu Gendhis Sinar Aningputri, nduk? Ayah kamu Agung Prasetyo?"
Sinar menatap heran kepada Bu Leni mengapa dia mengetahui nama lengkapnya dan nama ayahnya, sedangkan selama ini Sinar tak pernah menyebutkannya. Dengan menganggukan kepala Sinar menjawab pertanyaan Bu Leni. Air mata Bu Leni mulai mengalir, tangannya perlahan mengusap lembut kepala Sinar. Dengan lirih Bu Leni berkata, "Ini ibu, nduk. Saya ibu kandung kamu."
Sinar tampak syok, mulutnya terkunci tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dengan suara yang pelan dan serak Bu Leni menceritakan semua misteri kepergiannya yang selama ini ditutupi oleh ayahnya. Sinar berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari bibir Bu Leni. Sinar meminta Bu Leni untuk pulang setelah selesai menyingkap semua kebenaran. Sore hari, setelah keadaan badannya dirasa sudah jauh lebih baik, Sinar memutuskan untuk berjalan-jalan. Dengan berjalan kaki Sinar menyusuri perkampungan. Tanpa sengaja ada seorang nenek tua yang meminta tolong kepadanya untuk dibelikan makanan. Sinar menyanggupinya. Setelah membelikan makanan dan minuman untuk nenek itu, Sinar kembali berjalan. Kakinya melangkah tanpa tujuan yang pasti. Tanpa disadarinya dia berjalan gontai menyusuri perkebunan karet dan di depannya tampak sosok Bu Leni dan Anjani yang menunggunya.
"Sinar... Ayo kemari, nduk! Kenapa kamu berjalan sendirian begini?" ucap Bu Leni sambil merentangkan tangan dengan sorot mata penuh cinta.
"Kamu baik-baik saja? Kamu marah dengan kami?" tanya Anjani.
"Aku baik-baik saja. Aku tidak marah ke ibu dan mbak. Aku bersyukur bisa bertemu dan merasakan kasih sayang dari ibu dan mbak selama ini. Walau baru sekarang kita tahu kalau kita adalah keluarga."
"Maafkan ibu dan mbakmu, nduk!" ujar Bu Leni sambil memeluk erat Sinar. Anjani pun ikut memeluk ibu dan adiknya. Setelah melepas semua rasa yang ada mereka berjalan bersama sembari bergandengan tangan.
"Sinar apakah kamu marah dengan teman-temanmu itu?" tanya Anjani.
"Tidak, Mbak. Amarah hanya akan membunuhku. Tidak akan ada ujung bahagia bila aku memendam amarah, yang ada diriku sendiri yang akan dilahap hingga tak bersisa olehnya. Bagianku adalah mengampuni dan selanjutnya itu adalah bagian Allah." jawab Sinar dengan tersenyum bahagia.
"Lihat, di depan ada taman yang indah sekali Bu, Mbak!" ucap Sinar antusias.
"Kamu mau ke sana, nduk?" tanya Bu Leni dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Sinar. Sinar melangkah menuju taman yang indah di depannya. Tampak kupu-kupu melambai-lambai menyambutnya, aroma harum bunga menyegarkan pikirannya, dan Cahaya terang yang tampak di tengah taman membuatnya berjalan dengan penuh keyakinan.
"Apakah kamu sudah menjadi Sinar Suminar?"
Seminggu kemudian di berbagai portal berita tersiar kabar tentang penemuan mayat seorang wanita muda di perkebunan karet diduga menjadi korban penghilangan nyawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H