Sudah menjadi fenomena umum, bahwa setiap menjelang akhir tahun anggaran, masih sering kita temukan adanya kebiasaan yang kurang baik, dimana sebagian besar satuan kerja / kantor / instansi pemerintah masih harus berjibaku dengan menumpuknya intensitas pekerjaan belanja akhir tahun yang harus diselesaikan. Instansi pemerintah yang direpresentasikan oleh satuan kerja kementerian/lembaga akan barpacu untuk memaksimalkan pembelanjaanya menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN. Hal ini masih dan terus terjadi hingga sekarang, meskipun mulai dari setiap awal tahun anggaran, Kementerian Keuangan, dalam hal ini Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan KPPN terus mendorong seluruh satuan kerja instansi pemerintah mitra kerjanya untuk memaksimalkan seluruh pembelanjaannya sedini mungkin dari awal tahun anggaran.
Salah satu upaya dalam mendorong kinerja pengelolaan anggaran ini diantaranya tergambar melalui pengukuran kinerja kepada para pengelola keuangan satuan kerja Kementerian/Lembaga dengan penilaian IKPA (Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran). Dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan capaian dari pelaksanaan anggarannya terus dilakukan monitoring dan evaluasi.
Bisa jadi memang banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini, baik dari sisi regulasi penerimaan dan pengeluaran anggaran, kondisi perekonomian baik lokal maupun internasional, keadaan alam, maupun sumber daya pengelolaan anggarannya. Namun terlepas dari berbagai faktor tersebut, harus terus dicari berbagai terobosan untuk mengurai peliknya permasalahan yang ditemui dilapangan ketika kondisi ideal yang diharapkan tidak terjadi.
Salah satu akibat yang muncul dari penumpukan volume pekerjaan ini adalah ketika sebuah pekerjaan  baru bisa terprogres pada hari-hari terakhir penutupan tahun anggaran, bahkan terkadang masih memerlukan waktu tambahan sampai melewati tahun anggaran berikutnya.
Mengantisipasi hal tersebut Kementerian Keuangan sebagai Bendaharawan Umum Negara (BUN) telah menyiapkan sebuah terobosan kebijakan di akhir tahun anggaran 2023 ini, dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-109 tahun 2023 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Atas Pekerjaan Yang Belum Diselesaikan Pada Akhir Tahun Anggaran. Dalam PMK tersebut diatur kebijakan pembayaran untuk pekerjaan pemerintah yang baru diselesaikan akhir bulan Desember dan/atau yang melampaui tahun anggaran. Pada kondisi demikian, pembayaran tidak lagi menggunakan mekanisme bank garansi, tetapi diubah melalui mekanisme Rekening Penampungan Akhir Tahun Anggaran yang disingkat RPATA.
Keluarnya PMK ini tentunya setelah dilakukan berbagai evaluasi atas pelaksanaan penutupan tahun anggaran sebelum-sebelumnya. Terobosan apa yang termaktub dalam KMK tersebut?
Seperti kita ketahuai bersama, bahwa kebijakan pelaksanaan penutupan tahun anggaran atau Langkah-Langkah Akhir Tahun (LLAT) dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan perkembangan. Secara garis besar kebijakan pelaksanaan tutup akhir tahun anggaran mengatur beberapa hal, yaitu periode penyampaian dokumen, penerimaan negara, belanja negara dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran.
Asas dasar dalam pembelanjaan melalui APBN adalah bahwa pembayaran dari dana APBN baru bisa dilakukan setelah barang/jasa diterima, namun di akhir tahun anggaran hal tersebut sangat mungkin terkendala, karena ada keterbatasan waktu pengajuan tagihan di akhir masa penutupan tahun anggaran. Disinilah diperlukan regulasi khusus terkait pembayarannya, dimana selama ini diberlakukan adanya jaminan atas penyelesaian pekerjaan yang dibayarkan. Pada tahun-tahun sebelumnya, pembayaran atas tagihan negara tersebut dilaksanakan dengan menggunakan bank garansi dimana pihak Perbankan harus dilibatkan dengan peran sebagai pemberi jaminan. Meskipun telah banyak dilakukan evaluasi dan penyempurnaan, namun adanya bank garansi ini masih beresiko memunculkan keterlambatan pencairan atau bahkan kegagalan klaim (tidak dapat mencairkan bank garansi) sehingga tentunya hal  ini sangat berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Dengan beberapa pertimbangan itu, mekanisme RPATA menjadi terobosan kebijakan terbaik untuk saat ini. Mekanisme ini dibelakukan atas pembayaran tagihan negara yang secara prinsip belum diserahterimakan, tetapi sudah harus dibayar karena batas waktu pengajuan tagihan akan berakhir. Risiko adanya keterlambatan pencairan atau kegagalan klaim terhadap mekanisme jaminan/garansi bank dapat dihilangkan, disamping rekanan pemerintah tidak perlu lagi direpotkan untuk menyiapkan sejumlah dana dalam rangka pembuatan bank garansi.
Dapat disampaikan bahwa RPATA yang dimulai pada akhir tahun 2023 ini merupakan rekening lain-lain yang hanya dibuka oleh Bendahara Umum Negara (BUN) khusus untuk menampung dana cadangan atas penyelesaian pekerjaan yang direncanakan akan diserahterimakan antara tanggal 21 s.d tanggal 31 Desember 2023. Rekening ini juga untuk pembayaran atas pekerjaan yang tidak terselesaikan sampai dengan batas akhir tahun anggaran, yang penyelesaiannya diberikan kesempatan untuk dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya (maksimal 90 hari kalendera) dengan pertimbangan tertentu dan syarat ketentuan berlaku. Jadi dalam hal ini satuan kerja cukup hanya mengajukan SPM untuk penampungan, pembayaran dan penihilan.
Langkah-langkah penutupan akhir tahun anggaran terus mengalami dinamika, untuk saat ini Implementasi kebijakan RPATA baru diberlakukan sebatas pada satuan kerja kementerian/lembaga yang didanai dari dana APBN, belum pada APBD dan tidak dapat di gunakan pada pekerjaan dari suatu kontrak yang dibiayai oleh pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).