Sejatinya, negeri kita sedang darurat perang. Tepatnya, perang melawan pandemi COVID-19. Sementara pemerintah sedang berjuang mati-matian menanggulangi pandemi dengan mengeluarkan sejumlah peraturan dan kebijakan yang diikuti dengan langkah-langkah penanganan secara terpadu, masyarakat mulai jenuh dengan segala pembatasan yang diterapkan. Hal ini memang sulit untuk dielakkan mengingat pandemi sudah memasuki tahun kedua dan belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.
Harus diakui bahwa pemerintah tidak berjuang sendirian dalam upaya penanggulangan pandemi. Berbagai pihak termasuk elemen-elemen masyarakat juga turut serta dengan melakukan aksi nyata.Â
Sayangnya, masih saja ada pihak lain yang justru menggunakan saat-saat sulit ini untuk menyebarkan ragam hoaks terkait pandemi COVID-19. Perang informasi yang terjadi membuat masyarakat rentan terpapar informasi yang menyesatkan. Pertanyaan berulang kerap hadir dalam ruang percakapan masyarakat sehari-hari, mana yang fakta dan mana yang hoaks?
Salah satu informasi bohong terkait pandemi COVID-19 sebagaimana dilansir dari laman kominfo.go.id, yaitu adanya ambulans kosong yang mondar-mandir untuk menciptakan kepanikan di wilayah DKI Jakarta. Padahal, menurut Kepala Unit Pelayanan Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Winarto, setiap ambulans yang selesai mengantar pasien akan kembali pergi untuk dibersihkan ke tempat dekontaminasi atau pembersihan ambulans/desinfektan. Dalam perjalanan dari rumah sakit ke tempat dekontaminasi di Sunter tersebut, tentu saja ambulans dalam keadaan kosong.
Hoaks lainnya adalah pesan berantai untuk hentikan sandiwara COVID-19 di bumi NKRI di aplikasi WhatsApp. Masih dilansir dari laman yang sama, pesan tersebut mengklaim bahwa kondisi pandemi COVID-19 hanya rekayasa yang sengaja dibuat oleh pemerintahan guna kepentingan politik dan bisnis. Kemudian disebutkan bahwa alat tes COVID-19 dan vaksin COVID-19 adalah cara untuk membunuh WNI atau pribumi secara massal.Â
Faktanya, tes COVID-19 perlu terus dilakukan guna mengetahui dan mengontrol sebaran virus COVID-19 sedangkan vaksinasi COVID-19 perlu terus dilakukan pula guna meminimalisir infeksi virus COVID-19 dan bertujuan untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) agar masyarakat menjadi lebih produktif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
Dua hoaks tersebut hanyalah segelintir dari hoaks yang bermunculan sejak perang informasi pandemi dimulai. Akhir-akhir ini, masyarakat malah dihantui panic buying. Mulai dari susu steril merek tertentu hingga kelapa hijau diborong hingga langka di pasaran karena dipercaya bisa menanggulangi virus Corona. Fenomena ini cukup memprihatinkan mengingat pada era teknologi saat ini, masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan informasi akurat di media tepercaya.
Sepanjang tahun ini, hoaks vaksinasi COVID-19 cukup mendominasi media sosial di Tanah Air. Data yang dirilis Kominfo menunjukkan bahwa hingga bulan Juni 2021, hoaks vaksinasi terbanyak beredar di Facebook, yaitu sebanyak 1. 567. Twitter menduduki posisi kedua, yaitu sebanyak 89, dikuti Youtube dan Tiktok sebanyak 41, serta Instagram sebanyak 11. Meskipun informasi tersebut sudah di-take down oleh Kominfo, tapi  informasi tersebut telanjur dibaca dan disebarluaskan oleh masyarakat.
Selama pandemi berlangsung, masyarakat memang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menatap layar ketimbang berinteraksi dengan manusia lainnya. Seruan untuk di rumah saja dan kebijakan Work from Home (WFH) mendukung hal ini. Terbitnya Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat di Wilayah Jawa dan Bali pada tanggal 2 Juli 2021 lalu, tentu akan meningkatkan ketergantungan terhadap internet mengingat segala urusan mulai dari pekerjaan, pendidikan, bahkan belanja cenderung dilakukan secara daring. Kondisi ini dapat menyebabkan pengguna internet rentan menyerap bahkan turut menyebarluaskan hoaks.
Mengapa hoaks mudah diterima oleh masyarakat kita? Faktanya, banyak orang yang malas membaca lengkap suatu informasi atau berita. Banjirnya informasi dan padatnya kesibukan menyebabkan mereka hanya membaca judul saja dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Keengganan untuk mencermati legitimasi sumber berita turut memperburuk hal ini.
Jika suatu informasi berkaitan dengan kepercayaan atau sesuatu yang diyakini benar, seseorang juga cenderung bias dalam menilai suatu informasi. Terlebih bila informasi tersebut dibagikan terus-menerus dalam grup percakapan atau berkali-kali melintas di beranda media sosial, maka seseorang cenderung lebih mudah untuk memercayainya.
Padahal, tidak sulit mengenali hoaks yang berseliweran di dunia maya. Judul yang sensasional dan provokotif adalah salah satu ciri hoaks yang paling mudah dikenali. Bila bermuatan informasi yang menimbulkan kecemasan, kepanikan, kebencian, bahkan permusuhan, hampir dapat dipastikan informasi tersebut bohong adanya.Â
Ciri lainnya ialah, hoaks tidak diketahui dengan jelas identitas pengirim awalnya dan bermuatan pesan agar pembacanya memviralkan atau membagikan. Kadang-kadang, hoaks juga disertai foto dan keterangan yang telah dimanipulasi, misalnya berasal dari kejadian berbeda pada waktu yang lampau.
Sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, hoaks pandemi COVID-19 memang diciptakan dengan tujuan tertentu.Â
Akibat meyakini sejumlah informasi yang menyesatkan, masih ada masyarakat yang belum memercayai adanya COVID-19. Ini sangat berbahaya, mengingat lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi saat ini.Â
Kita dapat membaca komentar-komentar bernada miring di tautan berita COVID-19 yang dibagikan di media sosial, misalnya Facebook. Lantas, jika masyarakat tidak percaya dengan adanya pandemi ini, bagaimana mungkin mereka akan mematuhi protokol kesehatan?
Bahaya serius lainnya adalah ketidakpatuhan terhadap program vaksinasi COVID-19. Akibat hoaks yang merajalela seputar vaksinasi, masih ada masyarakat yang enggan divaksin. Padahal, pemerintah telah menargetkan minimal 70 persen dari populasi Indonesia (sekitar 181,5 juta jiwa) harus divaksin secara bertahap untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Hal ini tentu akan memperlambat upaya penanggulangan COVID-19 di Tanah Air.
Dalam situasi seperti ini, sudah seharusnya hukum ditegakkan. Pasal 14 ayat (1) UU No. Tahun 1946 menyebutkan "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun".Â
Selanjutnya, dalam ayat (2) disebutkan bahwa: "Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun".
Penerapan kedua pasal ini menjadi penting pasca terbitnya Keputusan Bersama 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE.Â
Dalam keputusan yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 2021 itu disebutkan bahwa yang dimaksud perbuatan menyebarkan berita bohong dalam UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan hoaks secara umum, melainkan dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring yang diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, market place, iklan, dan atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik. Keputusan bersama ini hadir untuk menghindari multitafsir dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H