Padahal, tidak sulit mengenali hoaks yang berseliweran di dunia maya. Judul yang sensasional dan provokotif adalah salah satu ciri hoaks yang paling mudah dikenali. Bila bermuatan informasi yang menimbulkan kecemasan, kepanikan, kebencian, bahkan permusuhan, hampir dapat dipastikan informasi tersebut bohong adanya.Â
Ciri lainnya ialah, hoaks tidak diketahui dengan jelas identitas pengirim awalnya dan bermuatan pesan agar pembacanya memviralkan atau membagikan. Kadang-kadang, hoaks juga disertai foto dan keterangan yang telah dimanipulasi, misalnya berasal dari kejadian berbeda pada waktu yang lampau.
Sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, hoaks pandemi COVID-19 memang diciptakan dengan tujuan tertentu.Â
Akibat meyakini sejumlah informasi yang menyesatkan, masih ada masyarakat yang belum memercayai adanya COVID-19. Ini sangat berbahaya, mengingat lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi saat ini.Â
Kita dapat membaca komentar-komentar bernada miring di tautan berita COVID-19 yang dibagikan di media sosial, misalnya Facebook. Lantas, jika masyarakat tidak percaya dengan adanya pandemi ini, bagaimana mungkin mereka akan mematuhi protokol kesehatan?
Bahaya serius lainnya adalah ketidakpatuhan terhadap program vaksinasi COVID-19. Akibat hoaks yang merajalela seputar vaksinasi, masih ada masyarakat yang enggan divaksin. Padahal, pemerintah telah menargetkan minimal 70 persen dari populasi Indonesia (sekitar 181,5 juta jiwa) harus divaksin secara bertahap untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Hal ini tentu akan memperlambat upaya penanggulangan COVID-19 di Tanah Air.
Dalam situasi seperti ini, sudah seharusnya hukum ditegakkan. Pasal 14 ayat (1) UU No. Tahun 1946 menyebutkan "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun".Â
Selanjutnya, dalam ayat (2) disebutkan bahwa: "Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun".
Penerapan kedua pasal ini menjadi penting pasca terbitnya Keputusan Bersama 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE.Â
Dalam keputusan yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 2021 itu disebutkan bahwa yang dimaksud perbuatan menyebarkan berita bohong dalam UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan hoaks secara umum, melainkan dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring yang diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, market place, iklan, dan atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik. Keputusan bersama ini hadir untuk menghindari multitafsir dan mewujudkan rasa keadilan masyarakat.
Sumber: