Mohon tunggu...
Lamria F. Manalu
Lamria F. Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Hukum

Berbagi Informasi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahaya Hoaks dalam Perang Informasi Covid-19

7 Juli 2021   21:08 Diperbarui: 7 Juli 2021   22:10 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya, negeri kita sedang darurat perang. Tepatnya, perang melawan pandemi COVID-19. Sementara pemerintah sedang berjuang mati-matian menanggulangi pandemi dengan mengeluarkan sejumlah peraturan dan kebijakan yang diikuti dengan langkah-langkah penanganan secara terpadu, masyarakat mulai jenuh dengan segala pembatasan yang diterapkan. Hal ini memang sulit untuk dielakkan mengingat pandemi sudah memasuki tahun kedua dan belum dapat dipastikan kapan akan berakhir.

Harus diakui bahwa pemerintah tidak berjuang sendirian dalam upaya penanggulangan pandemi. Berbagai pihak termasuk elemen-elemen masyarakat juga turut serta dengan melakukan aksi nyata. 

Sayangnya, masih saja ada pihak lain yang justru menggunakan saat-saat sulit ini untuk menyebarkan ragam hoaks terkait pandemi COVID-19. Perang informasi yang terjadi membuat masyarakat rentan terpapar informasi yang menyesatkan. Pertanyaan berulang kerap hadir dalam ruang percakapan masyarakat sehari-hari, mana yang fakta dan mana yang hoaks?

Salah satu informasi bohong terkait pandemi COVID-19 sebagaimana dilansir dari laman kominfo.go.id, yaitu adanya ambulans kosong yang mondar-mandir untuk menciptakan kepanikan di wilayah DKI Jakarta. Padahal, menurut Kepala Unit Pelayanan Ambulans Gawat Darurat Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Winarto, setiap ambulans yang selesai mengantar pasien akan kembali pergi untuk dibersihkan ke tempat dekontaminasi atau pembersihan ambulans/desinfektan. Dalam perjalanan dari rumah sakit ke tempat dekontaminasi di Sunter tersebut, tentu saja ambulans dalam keadaan kosong.

Hoaks lainnya adalah pesan berantai untuk hentikan sandiwara COVID-19 di bumi NKRI di aplikasi WhatsApp. Masih dilansir dari laman yang sama, pesan tersebut mengklaim bahwa kondisi pandemi COVID-19 hanya rekayasa yang sengaja dibuat oleh pemerintahan guna kepentingan politik dan bisnis. Kemudian disebutkan bahwa alat tes COVID-19 dan vaksin COVID-19 adalah cara untuk membunuh WNI atau pribumi secara massal. 

Faktanya, tes COVID-19 perlu terus dilakukan guna mengetahui dan mengontrol sebaran virus COVID-19 sedangkan vaksinasi COVID-19 perlu terus dilakukan pula guna meminimalisir infeksi virus COVID-19 dan bertujuan untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity) agar masyarakat menjadi lebih produktif dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.

Dua hoaks tersebut hanyalah segelintir dari hoaks yang bermunculan sejak perang informasi pandemi dimulai. Akhir-akhir ini, masyarakat malah dihantui panic buying.  Mulai dari susu steril merek tertentu hingga kelapa hijau diborong hingga langka di pasaran karena dipercaya bisa menanggulangi virus Corona. Fenomena ini cukup memprihatinkan mengingat pada era teknologi saat ini, masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan informasi akurat di media tepercaya.

Sepanjang tahun ini, hoaks vaksinasi COVID-19 cukup mendominasi media sosial di Tanah Air. Data yang dirilis Kominfo menunjukkan bahwa hingga bulan Juni 2021, hoaks vaksinasi terbanyak beredar di Facebook, yaitu sebanyak 1. 567. Twitter menduduki posisi kedua, yaitu sebanyak 89, dikuti Youtube dan Tiktok sebanyak 41, serta Instagram sebanyak 11. Meskipun informasi tersebut sudah di-take down oleh Kominfo, tapi  informasi tersebut telanjur dibaca dan disebarluaskan oleh masyarakat.

Selama pandemi berlangsung, masyarakat memang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menatap layar ketimbang berinteraksi dengan manusia lainnya. Seruan untuk di rumah saja dan kebijakan Work from Home (WFH) mendukung hal ini. Terbitnya Instruksi Mendagri No. 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat di Wilayah Jawa dan Bali pada tanggal 2 Juli 2021 lalu, tentu akan meningkatkan ketergantungan terhadap internet mengingat segala urusan mulai dari pekerjaan, pendidikan, bahkan belanja cenderung dilakukan secara daring. Kondisi ini dapat menyebabkan pengguna internet rentan menyerap bahkan turut menyebarluaskan hoaks.

Mengapa hoaks mudah diterima oleh masyarakat kita? Faktanya, banyak orang yang malas membaca lengkap suatu informasi atau berita. Banjirnya informasi dan padatnya kesibukan menyebabkan mereka hanya membaca judul saja dan menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Keengganan untuk mencermati legitimasi sumber berita turut memperburuk hal ini.

Jika suatu informasi berkaitan dengan kepercayaan atau sesuatu yang diyakini benar, seseorang juga cenderung bias dalam menilai suatu informasi. Terlebih bila informasi tersebut dibagikan terus-menerus dalam grup percakapan atau berkali-kali melintas di beranda media sosial, maka seseorang cenderung lebih mudah untuk memercayainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun