Keinginan Presiden Joko Widodo agar UU ITE direvisi berujung dengan ditetapkannya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika R.I., Jaksa Agung R.I., dan Kepala Kepolisian R.I. pada tanggal 23 Juni 2021 yang lalu. Hadirnya pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE ini menimbang adanya beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir dan kontroversi. Karena itu pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sangat dibutuhkan.
Menurut Menko Polhukam, Mahfud MD, hadirnya pedoman ini juga mengingat proses revisi terhadap UU ITE akan memakan waktu cukup panjang, sehingga diperlukan alat hukum agar tidak ada lagi jerat karet selama proses revisi UU sedang berlangsung. Pedoman ini akan dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum yang berada di lingkungan 3 (tiga) lembaga, yaitu Kominfo, kejaksaan, dan kepolisian. Adapun sejumlah pasal tertentu yang dimaksud dalam pedoman implementasi ini adalah sebagai berikut:
1. Pasal 27 ayat (1)
Dalam arti sempit, frasa "muatan melanggar kesusilaan" dalam pasal ini mengacu pada UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau delik yang berkaitan dengan kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP. Sedangkan dalam arti luas, dapat diartikan sebagai muatan (konten) yang berisi sesuatu hal yang dianggap masyarakat melanggar aturan sosial (tertulis atau tidak tertulis).
Perlu diingat, tidak semua pornografi atau ketelanjangan melanggar kesusilaan, melainkan harus dilihat dari konteks sosial budaya dan tujuan muatan (konten) tersebut. Hal ini menjadi penting karena dapat menimbulkan multitafsir, misalnya saja gambar ketelanjangan dalam dunia pendidikan (kedokteran) dan lainnya.
2. Pasal 27 ayat (2)
Fokus penerapan pasal ini adalah pada perbuatan "mentransmisikan", "mendistribusikan", dan "membuat dapat diaksesnya" secara elektronik muatan (konten) perjudian yang dilarang atau tidak memiliki izin berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jenis konten dapat berupa aplikasi, akun, iklan, situs, dan/atau sistem billing operator bandar.
Sedangkan bentuk informasi dapat berupa gambar, video, suara, dan/atau tulisan. Penyebaran konten sendiri dapat berbentuk tranmisi dari satu perangkat ke perangkat lain, distribusi atau menyebarkan dari satu perangkat/pengguna ke banyak perangkat/pengguna.
3. Pasal 27 ayat (3)
Berdasarkan dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Karena itu dapat disimpulkan bahwa muatan (konten) berupa penghinaan dengan kategori cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP).
Bila muatan (konten) tersebut merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, juga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap pasal ini. Â Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum, maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum aparat penegak hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE.
Hal penting lainnya ialah apabila konten disebarkan melalui sarana grup percakapan tertutup atau terbatas seperti grup percakapan keluarga, pertemanan akrab, profesi, kantor, kampus, atau institusi pendidikan, maka tidak termasuk delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Kemudian, jika insan pers melakukan pemberitaan internet yang merupakan kerja jurnalistik, maka yang berlaku adalah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya, jika pemberitaan tersebut dilakukan secara pribadi, maka pasal ini tetap berlaku.
4. Pasal 27 ayat (4)
Fokus penerapan pasal ini adalah pada perbuatan "mentransmisikan", "mendistribusikan", dan "membuat dapat diaksesnya" secara elektronik muatan (konten) perjudian pemerasan dan/atau pengancaman yang dilakukan oleh seseorang ataupun organsasi atau badan hukum. Tujuannya adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Adapun yang termasuk dalam perbuatan pidana pasal ini adalah perbuatan mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi. Pengancaman dan/atau pemerasan tersebut dapat disampaikan secara terbuka maupun tertutup. Namun, harus dapat dibuktikan adanya motif keuntungan ekonomis yang dilakukan pelaku. Norma pidana pasal ini mengacu pada Pasal 368 KUHP.
5. Pasal 28 ayat (1)
Yang dimaksud dalam pasal ini bukanlah delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita bohong (hoaks) secara umum, melainkan dalam konteks transaksi elektronik seperti perdagangan daring. Adapun berita atau informasi tersebut melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (market place), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik.
Terdapat pengecualian dalam pasal ini, yaitu tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeure. Karena merupakan delik materiil maka kerugian konsumen harus dihitung dan ditentukan nilainya. Adapun konsumen dalam pasal ini mengacu pada UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
6. Pasal 28 ayat (2)
Delik utama pasal ini adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar SARA. Bentuk informasi yang disebarkan bisa berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasarkan isu SARA.
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Karena itu, aparat hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, dan seterusnya.
7. Pasal 29
Pasal ini menitikberatkan pada perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti melalui sarana elekronik yang ditujukan secara pribadi dalam bentuk pesan, surat elektronik, gambar, suara, video, tulisan, dan/atau bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik lainnya. Pengancaman tersebut berupa ancaman kekerasan, yaitu menyatakan atau menunjukkan niat untuk mencelakakan korban dengan melakukan kekerasan secara fisik maupun psikis.
Ancaman tersebut berpotensi untuk diwujudkan meskipun hanya dikirimkan 1 (satu) kali dengan sasaran ancaman (korban) harus spesifik, artinya ditujukan kepada pribadi atau mengancam jiwa manusia. Perlu digarisbawahi, dampak ketakutan akibat adanya ancaman harus dibuktikan secara nyata, antara lain adanya perubahan perilaku. Selain itu, harus ada saksi untuk menunjukkan adanya fakta bahwa korban mengalami ketakutan atau tekanan psikis.
8. Pasal 36
Pasal ini digunakan dalam hal korban kejahatan yang melanggar Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 mengalami kerugian materiil yang nyata. Dengan kata lain, kerugian yang dimaksud adalah kerugian langsung (materiil) atas perbuatan yang dilakukan, bukan berupa kerugian tidak langsung, potensi kerugian, atau nonmateriil. Karena itulah sebagai delik materiil, kerugian tersebut harus dihitung dan ditentukan nilainya.
Dalam pedoman ini, besar nilai kerugian merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP lebih dari Rp.2.500.000,-
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H