Sementara itu, kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.Â
Terakhir, penelantaran rumah tangga, yaitu termasuk mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Meningkatnya kasus KDRT selama pandemi disebabkan oleh banyak faktor, misalnya tingginya intensitas pertemuan antar anggota keluarga selama di rumah saja yang rentan menimbulkan konflik.Â
Faktor ekonomi akibat PHK atau turunnya penghasilan juga memicu kerentanan ini. Perempuan yang merangkap sebagai pekerja, ibu, sekaligus istri menanggung beban domestik yang meningkat, mulai dari mengajari anak, mengurus rumah tangga, hingga bekerja dari rumah. Selain dapat memicu stres dan kelelahan, beban domestik ini juga menjadi alasan mengapa perempuan semakin rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
Perlu diketahui, bila terjadi KDRT, korban berhak melaporkan secara langsung langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selain ke kepolisian, korban juga dapat mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia (lihat di SINI). Penting diketahui, tindak pidana kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang diatur dalam UU PKDRT merupakan delik aduan.
Lebih lanjut, pemulihan korban yang merupakan segala upaya untuk penguatan korban KDRT agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis telah diatur dalam PP No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT.Â
Fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban dalam PP ini meliputi: ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; tenaga yang ahli dan profesional; pusat pelayanan dan rumah aman; dan sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Kasus KDRT tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum saja, melainkan kewajiban kita bersama.Â
Dalam Pasal 15 UU PKDRT disebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Selain menimbulkan sakit fisik, KDRT dapat mengakibatkan tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada pasangan yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pasca trauma, mengalami depresi, bahkan hingga menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Mari, lebih awas dan peduli pada korban KDRT yang mungkin ada di sekitar kita.
Sumber:
SATU, DUA, TIGA, EMPAT, LIMA, ENAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H