Mohon tunggu...
Lamria F. Manalu
Lamria F. Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuluh Hukum

Berbagi Informasi Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mencermati Hak Buruh atas THR Keagamaan

30 April 2021   08:05 Diperbarui: 1 Mei 2021   08:45 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi THR. Sumber: KOMPAS.COM

Selain mudik, ada hal lain yang selalu ramai diperbincangkan menjelang lebaran tiba. Apalagi kalau bukan Tunjangan Hari Raya (THR). Hal ini menjadi penting, karena jelang perayaan, masyarakat perlu membeli berbagai kebutuhan sandang dan pangan. 

Karena itulah kepastian waktu pembayaran THR merupakan kabar yang sangat ditunggu, khususnya bagi masyarakat yang menyambut datangnya hari kemenangan.

Pembayaran THR menjadi momentum tahunan untuk meningkatkan daya beli masyarakat di Tanah Air. Belanja masyarakat akan meningkat dan secara otomatis berdampak positif terhadap perekonomian dalam masa pandemi ini. 

Selain masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya, penggelontoran dana THR ini juga berimbas pada produksi dan distribusi. Bagi para pelaku UMKM, momentum ini tentu sangat dinantikan setelah diterpa badai pandemi selama setahun terakhir.

Dalam Pasal 8 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan disebutkan bahwa THR keagamaan merupakan pendapatan non-upah. Masih dalam PP yang sama, dinyatakan bahwa THR ini wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.

Pada tahun 2020, pemerintah telah memberikan sejumlah keringanan kepada pengusaha terkait pemberian THR keagamaan melalui Surat Edaran No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 

SE ini diterbitkan dengan memperhatikan kelangsungan usaha yang terdampak pandemi, sementara di sisi lain, pekerja/buruh juga membutuhkan adanya pembayaran THR.

Dalam SE tersebut, bila perusahaan tidak mampu membayar THR keagamaan pada waktu yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, solusi hendaknya diperoleh melalui proses dialog yang dilakukan secara kekeluargaan. Dalam dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh tersebut dapat disepakati beberapa hal. 

Misalnya, bila perusahaan tidak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap. Lalu, bila perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan, penundaan dapat dilakukan sampai dengan jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 

Dalam hal ini, gubernur diminta memastikan perusahaan agar membayar THR keagamaan kepada pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan.

Ilustrasi: rri.co.id
Ilustrasi: rri.co.id
Tahun ini Kementerian Ketenagakerjaan R.I. telah menerbitkan Surat Edaran No. M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan pada tanggal 12 April 2021 yang lalu. 

SE ini diterbitkan berdasarkan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

THR keagamaan yang dimaksud dalam SE ini diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih dan pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Adapun besaran THR keagamaan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) SE ini: "Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah". Lantas, bagaimana menghitung besaran THR untuk pekerja/buruh yang masa kerjanya kurang dari 12 (dua belas) bulan? 

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan THR diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 (dua belas) lalu dikalikan 1 (satu) bulan upah.

Upah 1 (satu) bulan yang dimaksud dalam SE ini terdiri dari komponen upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages) atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. 

Khusus pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas dan telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan. 

Sementara untuk pekerja/buruh yang masa kerjanya kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Perlu digarisbawahi, bila besaran nilai THR berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan ternyata lebih besar dari perhitungan THR di atas, maka besaran THR yang dibayarkan sesuai atau mengacu pada penetapan tersebut. 

Adapun pengaturan besaran THR keagamaan ini telah sesuai dengan Permenaker No. 6 Tahun 2016, khususnya Pasal 3 dan 4.

Bagaimana bila perusahaan masih tidak mampu membayarkan THR sesuai dengan waktu yang ditentukan? Jalan dialog masih terbuka dengan menghasilkan kesepakatan tertulis yang memuat waktu pembayaran dengan syarat paling lambat dibayar sampai sebelum hari raya tahun ini. 

Sebaliknya, perusahaan memiliki kewajiban untuk membuktikan ketidakmampuan membayar THR secara tepat waktu berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan.

THR keagamaan diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja/buruh dan wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. 

Bila pengusaha terlambat membayar THR ini maka akan dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari nilai total THR keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar.

Untuk memberikan kepastian hukum, gubernur/walikota diminta untuk menegakkan hukum sesuai kewenangannya, membentuk Posko THR dengan memperhatikan protokol kesehatan, dan melaporkan data pelaksanaan THR keagamaan tahun 2021 di perusahaan dan tindak lanjutnya kepada Kemenaker. 

Hal ini penting dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak atas THR keagamaan yang merupakan hak konstitusional pekerja/buruh sebagaimana tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat (2): "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja".

Sumber:

SATU, DUA, TIGA, EMPAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun