Jika Anda adalah orang yang menggeluti bidang sastra, musik, teater, film, media, fotografi, perangkat lunak, seni visual, layanan periklanan, atau lembaga manajemen kolektif, Anda mungkin pernah mendengar istilah hak cipta. Sebenarnya, apa sih hak cipta itu?
Menurut UU No. 28 Tahun 2014 tentang hak Cipta, yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pencipta bisa seorang atau beberapa orang, sedangkan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.
Kembali ke definisi hak cipta, yang dimaksud dengan perlindungan bersifat otomatis ialah ketika sebuah ide telah diwujudkan dalam bentuk nyata/konkrit maka ciptaan tersebut telah dilindungi tanpa mensyaratkan pencatatan. Namun, perlu diingat bahwa pencatatan merupakan perlindungan awal atau bukti awal kepemilikan terhadap ciptaan atau produk hak terkait. Dengan kata lain, ketika telah dicatatkan suatu ciptaan akan lebih mudah mendapatkan perlindungan hukum.
Lalu, mengapa hak cipta juga disebut hak eksklusif bagi penciptanya? Karena hak ini hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Pemegang hak cipta yang bukan pencipta saja pun hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi saja.
Selain hak ekonomi seperti royalti, hak eksklusif lain yang dimiliki pencipta adalah hak moral. Â Hak ini melekat secara abadi pada diri pencipta untuk: tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Benar-benar eksklusif, ya.
Jangka waktu hak cipta sendiri berbeda-beda. Sebagai contoh, untuk karya fotografi, potret, karya sinematografi, permainan video, program komputer, dan aransemen berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Sedangkan perlindungan hak cipta untuk buku, pamflet, alat peraga, lagu, drama, tari, koreografi, lukisan, seni pahat, karya arsitektur, dan karya seni batik berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh tahun) setelah pencipta meninggal dunia.
Perlu diingat, meskipun perlindungan hak cipta bersifat otomatis, saat ini kehidupan manusia tak terlepas dari arus komunikasi dan informasi. Internet sebagai media informasi multimedia memiliki peran utama dalam arus tersebut. Setiap hari masyarakat dengan mudah dapat mengakses karya-karya digital yang mengandung muatan hak cipta.Â
Hal ini berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran seperti reproduksi (penggandaan), pendistribusian, hingga membuat salinan (copy). Karena itulah, pencatatan hak cipta sangat penting untuk melindungi karya cipta secara hukum. Jangan lupa, jika Anda mengetahui kasus atau pelanggaran kekayaan intelektual, Anda bisa mengadukannya di SINI.
Jika Anda ingin mencatatkan hak cipta sekarang juga, tidak perlu repot, karena saat ini pencatatan ciptaan sudah bisa dilakukan secara online. Anda tidak harus datang ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham R.I. atau Kantor Wilayah Kemenkumham di ibu kota provinsi dalam masa pandemi Covid-19. Mari, cermati alurnya berikut ini:
1. Registrasi akun di SINI
2. Klik hak cipta, pilih permohonan baru
3. Isi seluruh formulir yang tersedia
4. Unggah data dukung yang dibutuhkan
5. Lakukan pembayaran
6. Pemeriksaan formalitas
7. Verifikasi
8. Pencatatan ciptaan disetujui
9. Pencetakan sertifikat
Cukup sederhana, bukan? Adapun biaya yang dikeluarkan untuk pencatatan ciptaan diatur dalam PP No. 28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dapat diunduh di SINI).
Sebagai contoh, untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah yang melakukan permohonan pencatatan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara elektronik maka biaya per permohonan adalah sebesar Rp.200.000,-
Anda bisa menghubungi Halo DJKI untuk informasi lebih lanjut. Dengan mencatatkan hak cipta berarti Anda telah berperan aktif untuk melindungi kekayaan intelektual anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H