Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, yaitu: "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi."
Selanjutnya, dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pembentuk UU untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap UU Â RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perlindungan Anak Melalui Revisi UU Perkawinan
Presiden telah menugaskan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Hukum dan HAM melalui Surat Presiden bernomor R-39/Pres/09/2019 untuk membahas perubahan UU Perkawinan.
Revisi UU hanya berfokus pada Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Ketentuan ini tidak sesuai dengan definisi anak menurut UU Perlindungan Anak.
Pembedaan batas usia antara pria dan wanita dalam UU ini merupakan diskriminasi bila dilihat dari Pasal 28B UUD 1945 Ayat (1) dan (2). Karena itu, melalui revisi UU Perkawinan, batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur pria, yaitu 19 tahun.
Upaya menaikkan batas umur minimal perkawinan bagi wanita melalui revisi UU Perkawinan ini bukanlah tanpa alasan. Seorang wanita yang dari segi usia masih tergolong anak, dianggap belum matang secara jiwa dan raga untuk melakukan perkawinan dan dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik serta menghindari perceraian. Dengan menaikkan batas umur minimal bagi wanita, laju kelahiran juga akan rendah sehingga mengurangi angka kematian ibu dan anak.
Intinya, setiap anak (pria atau wanita) memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. Hal ini harus sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Dapat kita simpulkan, pengesahan revisi UU Perkawinan merupakan langkah penting dalam upaya perlindungan anak di Indonesia, terutama untuk mencegah perkawinan anak. Alasannya adalah, perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak.
***