Angin panas dan debu Jakarta yang menghempas membuyarkan lamunanku. Sengatan matahari di bulan Maret masih mendera udara Ibukota. Arloji di tangan menunjukkan pukul 13:17 wib. Jam di ponsel android pun menunjukkan waktu yang sama. Tapi mengapa aku tiba tiba berada di luar kantor? Berjalan menyusuri jalan utama di Ibukota.Â
Seolah aku hendak pulang. Tas laptop dan tas punggung sudah tersandang di pundak. Botol tempat air minum pun sudah di tangan. Aku kaget dan tersipu ketika seseorang tiba tiba menabrakku dari belakang. Seharusnya aku tidak berhenti mendadak. Maaf! Aku berteduh di bawah pohon tanjung yang cukup rindang. Aku perlu berpikir sejenak. Â Aku mencoba mengingat kejadian paling tidak sejam terakhir. What a hek? Begitu banyak ingatan yang muncul.
Sebelum makan siang aku sedang mengerjakan "profit and loss report". Semua laporan akhir bulan yang diminta Paula sudah hampir aku selesaikan. Ah! Itu dia. Paula. Big Bos di kantorku ini membuatku tidak nyaman bekerja. Tidak nyaman? Bukankah Paula cantik, muda, single? Atau karena usiaku sebaya dengannya dan single? Atau karena belum biasa bekerja di bawah supremasi wanita? Tapi Paula baik. Dan menarik. Semua baju yang dikenakan Paula tampak sedap dipandang. Setiap berada satu ruangan dengannya, aku gelisah dan tidak fokus.  Apakah aku tertarik dengannya? Come on guys.. She's to die for. Masalahnya temanku Riza juga menaruh hati pada Paula.Â
Aku rela mengorbankan uang gaji satu bulan untuk mengajaknya makan malam di restoran favoritnya. Restoran favorit?
Wait a minute! Restoran favoritku berada di lantai 27 di gedung di bilangan Setiabudi. Hari ini aku ditemani 2 orang dari kantor sedang mengadakan business luncheon menjamu calon investor. Aku, Paula dan Riza sudah berada di restoran tersebut sejak pukul 11:43. Paula selalu mendampingi aku setiap ada acara meeting di luar kantor. Dia Direktur Keuangan. Riza orang kedua di kantorku. Setiap ada meeting dengan business associates aku selalu menyertakan 2 orang ini. Mereka orang orang kepercayaanku. Aku lah si Big Bos. What? Big Bos?
Sudah hampir 2 tahun aku bekerja sebagai drafter di sebuah konsultan konstruksi dan bangunan. Tim kami membuat desain dan perhitungan ini itu. Dan menurutku itu menjemukan. Tiap hari Big Bos menginginkan kami menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Dia tak mau tahu dengan kondisi seperti sampel tanah yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.Â
Terlalu banyak menekan dan tidak mau mendengar masukan dari kami. Riza sang Big Bos telah membuat hidupku merana. Sudah sering aku curhat ke Paula ingin keluar dari pekerjaan. Paula hanya memintaku untuk bersabar sampai anak kami lahir. Ya, Paula mengandung anak kami yang pertama setelah 1,5 tahun menikah. Oh my God, berarti aku harus menunggu 2 bulan sebelum bisa meninggalkan pekerjaan yang membosankan. Something hit real hard! Â
Whatever it was, it made me pass out! Aku pingsan. Entah berapa lama. Ketika terbangun, seraut wajah ramah menyapaku : "Rise and shine big guy" Dia dokter yang merawatku. Namanya dr. Riza Pambudi, Sp JP. Masih muda, mungkin usia kami sebaya. Dia memeriksa dengan cermat. Mulutku masih agak kelu untuk berkata kata. Cardiac arrest, katanya. What?? Â Sambil bercerita dia melarangku untuk bangkit dari tempat tidur. Kabel kabel menempel di dadaku. Selang oksigen menempel di hidungku. Rupanya seusai rendevous di restoran favorit, aku tiba tiba pingsan. Berkat kesigapan karyawan restoran, aku bisa segera dilarikan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Sekitar 10 menit dr. Riza memeriksaku. Kemudian kembali aku tertidur.
Kali ini aku terbangun oleh aroma wewangian yang berasal dari tubuh seorang perawat. Aroma french rose berpadu dengan citrus dan juniper berry memacu ingatanku akan seseorang yang pernah dekat dalam hidupku. Senyum ramahnya serta suaranya pun mengingatkan aku kepada seseorang. Begitu tangannya yang halus dengan lembut menyentuh keningku, aku merasakan kedamaian selama 7 menit. Dia cantik. Pada saat mendekat ranjangku aku membaca namanya Paula Arlie Wicaksono Sp. KMB. Dia bersama tim dokter yang dipimpin oleh dr. Riza yang memberikan pertolongan pertama ketika aku masuk UGD. Sebelum sempat mengucapkan terima kasih, Paula meninggalkan aku yang kembali tertidur.
Kembali aku terbangun. Guncangan yang agak keras di pundak dan bahuku disertai teriakan teriakan membukakan mataku. Aku mendapati diriku tertidur di lantai halte bus Trans Jakarta di Bendungan Hilir. Kepalaku bertumpu di pangkuan seorang laki laki usia 30 an yang sepertinya aku kenal. Di sebelah kananku seorang wanita cantik menyodorkan segelas air minum dalam kemasan.Â
Wajahnya pun seperti aku kenal. Aku dikerubungi oleh calon penumpang Trans Jakarta yang tampaknya mengkhawatirkan keadaanku yang terjatuh dan pingsan secara mendadak. Sebelum aku bisa mengingat kembali siapa kedua orang penolongku, Tim Medis datang menjemputku. Dengan hati hati mereka memasukkan aku ke dalam mobil ambulans yang tersedia. The world suddenly turns upside down. They bring me into an endless darkness..Â
Ceger, 2 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H