Mohon tunggu...
Suhermanto Yasduri
Suhermanto Yasduri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Persembahan Terakhir

19 September 2015   00:20 Diperbarui: 19 September 2015   00:25 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tiba tiba lampu depan rumah Pak Haji Muntohir menyala. Lalu pintu depan dibuka. Tidak ada suara hanya gerak tangan Pak Haji yang tampak menyuruh mereka segera masuk. Setelah pintu ditutup dan lampu dimatikan, aku bergerak mendekati rumah Pak Haji Muntohir. Meskipun tidak berpagar aku mengalami kesulitan memasuki area samping dan belakang rumah. Pot - pot tanah liat ukuran besar dan tanaman hias berduri menjadi barikade alami yang dengan susah payah aku lewati. Aku berusaha menyusup ke halaman samping dan belakang. Tujuanku hanya satu! Mencuri dengar. Namun karena tidak pernah memasuki area belakang dan samping rumah Pak Haji, aku terperosok 3 kali. Rupanya ada bekas kolam ikan dan dua lubang besar di halaman belakang. Yang paling menyakitkan adalah sewaktu aku terperosok di bekas kolam ikan. Tulang keringku menghantam tembok tepi kolam yang sekarang kering tanpa air. Aku menggigit lidahku supaya tidak menjerit. Kaki kananku lecet mengeluarkan darah. Kedua tanganku tergores duri mawar yang tumbuh rapat di sana. Badanku kotor dan berkeringat. Karena lelah aku bersandar pada sebatang pohon pisang yang berdiri tegak di tepi kolam. Aku diam menahan rasa nyeri di kaki dan berpikir untuk segera meninggalkan lokasi. Tapi nyala lilin yang tiba tiba dari dalam bangunan kecil di belakang rumah menahanku lebih lama. Di situ rupanya tempat pertemuan rahasianya!

Dengan sangat perlahan aku dekati pondok bambu tempat mereka mengadakan pertemuan. Aku berlindung di balik rumpun kemuning yang sangat lebat. Posisi tempatku bersembunyi lebih tinggi dari pondok itu. Tiba tiba jantungku kembali berdebar kencang. Aroma dupa tercium dari pondok itu. Istriku benar! Mereka sedang melakukan semacam ritual yang dipimpin oleh Pak Haji Muntohir. Dalam keremangan temaram cahaya lilin, aku melihat sesaji di atas nampan bambu. Ada irisan daun pandan, pisang mas, bunga - bunga, sebilah keris, dua ekor ayam mini (kate) warna hitam dan putih, cawan kuningan berisi cairan berwarna merah (mungkin darah manusia?) dan entah apa lagi. Bulu kudukku berdiri. Aku harus pergi sebelum adzan subuh berkumandang. Tapi kedua kakiku terasa berat untuk digerakkan! Lidahku pun menjadi kelu. Nafasku tersengal. Mataku terbelalak. Seluruh tubuhku mati rasa. Aku berusaha melawan. Batin ini berusaha melafalkan istighfar berkali kali.

"Pak Haji kira kira apa yang akan terjadi besok?" terdengar suara Pak Hamdan bertanya. "Wis, kowe tenang bae Hamdan" terdengar suara berat Pak Haji Muntohir dengan logat banyumasan yang kental. "Malam ini yang terakhir, satu desa sudah saya sirep!" Samar samar aku dengar Pak Haji menyebut 5 ekor ayam muda sudah cukup. Tinggal membereskan si Agus yang bermulut besar. Astaghfirullah! Aku berhasil melafalkannya. Ya Allah tolong hamba-Mu ini! Tolong selamatkan Mas Agus! Pintaku dalam hati. Begitu terdengar Allahu Akbar, kembali aku merasakan sakit di sekujur tubuh. Tapi aku berhasil merayap meninggalkan tempat terkutuk ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun