Lagi lagi ada 2 bendera putih yang terpasang hari ini di 2 gang yang saling berhadapan. Siapa lagi yang meninggal? Usai mandi sore sepulang kerja, tanpa diminta istriku melaporkan peristiwa kematian 2 anak balita tetangga kami. Farik putra tunggal Ketua RT 02 RW III meninggal sekitar pukul 9 pagi disusul Sania putri tunggal Pak Guru Soleh yang meninggal sesaat sebelum shalat lohor. Setiap pagi aku berangkat pukul 7:30 sehingga jika ada berita lelayu setelah jam itu aku pasti sudah berada di kantor. Sudah 3 pekan kampung kami dirundung duka. Baru kemarin istriku beserta Ibu - Ibu PKK menengok Sania dan Farik yang sedang dirawat di rumah sakit. Menurut diagnosa dokter mereka terjangkit demam berdarah. Demikian juga 3 anak yang meninggal lebih dahulu konon terjangkit demam berdarah. "Kayaknya ada yang aneh deh Pak" begitu gumam istriku. Aku diam mendengarkan ceritanya. "Sekarang kita khan lagi kemarau panjang, tuh lihat tanah semua kering, nyamuk tidak sebanyak musim hujan". Lantas dia berkilah :"Lagi pula bulan Juni silam kampung kita baru di-fogging oleh Dinas Kesehatan Kabupaten". Kegiatan fogging ini diadakan setelah ada laporan 7 orang warga yang terkena demam berdarah dan dirawat di rumah sakit pada bulan April dan Mei. Tapi penderita demam berdarah waktu itu usianya beragam dari usia 21 tahun sampai 58 tahun, lah sekarang hanya anak - anak balita yang terjangkit? "Ingat Pak, 7 orang penderita demam berdarah waktu selamat semua" begitu istriku mengakhiri laporannya sejenak setelah melihatku akan beranjak pergi melayat ke rumah duka.Â
Kondisi sarana dan prasarana fisik dasar di kampung kami sebenarnya sangat bagus. Tahun 2011, wilayah RT 01 RW III mendapat bantuan sebesar Rp 5,6 juta dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang digunakan untuk membuat saluran drainase sepanjang 79 meter. Wilayah RT 02 RW III sudah lebih dulu memiliki saluran drainase tertutup, lalu RT 07 RW III kondisinya lebih bagus karena merupakan wilayah perumahan dengan sarana dan prasarana yang sangat memadai. Setiap hari ada petugas yang mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah untuk dikirim ke TPA. Mengapa kasus demam berdarah masih ada?   Â
"Pak, nanti malam tidak usah ronda ya?" bujuk istriku saat melihatku memasuki ruang tamu sepulang melayat. "Sekarang malam Jumat Kliwon". Dia khawatir ada apa apa dengan kedua anak kami. Aku mengingatkan istriku, anak sulung kita sudah beranjak remaja dan adiknya berusia 10 tahun dan keduanya sangat mandiri. "Lagian kan yang dicari anak - anak tunggal" jawabku sekenanya. Tapi memang itu faktanya! 3 minggu yang lalu Gendis putri tunggal Pak Wiratno, disusul minggu berikutnya Faiz putra tunggal Pak Riyanto, dan minggu lalu Ajeng putri tunggal Pak Soni yang meninggal. Dan minggu ini giliran Farik dan Sania yang menyusul pergi untuk selamanya. "Cepat telpon Mas Dino, Bapak tidak bisa ronda malam ini!" wajah istriku serius. Aku telpon Mas Dino kakak ipar yang menjadi Ketua RT melaporkan ketidakhadiranku pada ronda malam ini.Â
Tapi sekitar pukul setengah duabelas malam, aku mengendap keluar menuju pos kamling. Belum ada orang. Sesuai peraturan bersama, petugas ronda harusnya melapor pukul 11 malam. Aku memutuskan untuk menunggu sambil melihat acara televisi yang ada di pos ronda kami. Sampai pukul 12 malam belum ada yang datang. Aku coba hubungi Mas Dino, Mas Agus, Pak Warno, Pak Samsul, Pak Rusdi, dan Prianto lewat ponsel. Tidak berhasil. Aku pukul kenthongan 12 kali dengan harapan mereka segera datang. Tetap nihil. Sampai menjelang pukul satu dini hari aku masih sendirian. Sampai saatnya keliling kampung pun aku masih sendirian. Perasaan hati agak menyesal tidak menuruti permintaan istri tadi.Â
Aku mulai berkeliling ronda menyusuri gang pertama. Tidak ada jawaban ketika rumah Mas Dino aku ketuk. Begitu juga rumah rekan - rekan ronda yang lain, semuanya senyap ketika kuketuk pintunya. Begitu lelapkah mereka tertidur sampai tidak bisa mendengar ketukan dan suaraku memanggil? Ketika melintas gang ketiga, aku menyempatkan diri menengok rumah dan seisinya. Istriku terlelap di balik selimut bersama putri bungsu kami , sementara putra sulung kami mendengkur di depan laptop yang masih menyala. Aman. Ketika melewati rumah Pak Soleh aku melihat lampu besar masih menyala dan beberapa kursi masih tertata di halaman depan yang masih benderang. Pintu depan terbuka. Aku mengucap salam. Sepi tidak ada jawaban. Di ruang tengah terlihat beberapa kerabat Pak Soleh sedang tertidur. Begitu pulas sampai mendengkur keras. Setelah kurasa aman, segera aku tinggalkan rumah Pak Soleh.
Sebetulnya aku sangat menikmati tugas ronda ini. Inilah satu satunya kesempatanku melihat langsung keadaan dan perkembangan terakhir di wilayah RT kami. Dengan penerangan jalan yang cukup ditambah semua gang sudah dibeton dan sebagian ada yang diaspal, tugas keliling kampung selama ronda tidaklah berat aku rasakan. Paling esoknya kantuk berat segera menyerangku di kantor. Tapi malam ini baru pertama kalinya aku keliling kampung seorang diri. Biasanya paling seorang atau dua yang tertidur, tapi kali ini semua rekanku tertidur melupakan kewajiban ronda. Tadi siang di kantor seperti biasanya Mas Dino mengirim pesan singkat mengingatkan aku untuk ronda. Dia selalu mengirim pesan singkat yang sama kepada semua rekan untuk mengingatkan jadwal ronda. Dia komandan regu kami. Apa yang terjadi?
Sesampainya di pos kamling aku hitung uang jimpitan yang aku kumpulkan malam itu. Aku tulis di buku ronda bahwa kondisi aman. Menjelang pukul setengah 3 dini hari, aku berkemas, mematikan pesawat tv, lampu, dan mengunci pintu pos. Ada yang tidak biasa pada diriku. Aku tidak merasakan kantuk seperti biasanya! Bahkan aku masih menyempatkan diri berkeliling kampung sekali lagi.
Pada saat aku melintasi jalan besar menuju Balai Desa, terlihat 3 sosok berjalan mencurigakan. Naluriku memerintahkan supaya aku waspada. Bukan pemandangan aneh jika saat - saat menjelang subuh seperti sekarang ini kami berpapasan dengan beberapa orang. Mereka adalah pedagang sayur yang memulai aktifitasnya dini hari. Ada yang mengendarai sepeda, becak, motor, atau berjalan menggendong keranjang sayur. Tapi 3 orang yang baru saja melintas sosoknya berbeda. Pakaian mereka seragam, baju hitam lengan panjang dan celana panjang sewarna. Tercium aroma wewangian. Aku mengendap endap sambil menjaga jarak. Rasa penasaranku memuncak seiring detak jantung yang semakin cepat. Siapa gerangan 3 orang itu? Apa yang sedang mereka lakukan? Pencurikah? Atau perampok? Ciut nyaliku jika harus menghadapi 3 perampok sendirian.Â
Aku hampir menjerit demi mengetahui siapa ketiga orang tersebut. Wajah mereka terlihat jelas ketika melintasi pertigaan di bawah lampu besar penerangan jalan. Mereka adalah Pak Hamdan, Pak Joko, dan Pak Eko! 3 orang yang akhir akhir ini sedang menjadi bahan gunjingan tidak sedap di desaku. Aku harus beristighfar berkali kali untuk meredam debar jantungku yang kian tak menentu. Aku tarik nafas dalam dalam. Jelas ada yang tidak beres! Kepala Desa bersama Sekretaris Desa dan Bendahara Desa berjalan kaki dini hari? Mereka memang tampak keluar dari Balai Desa, tapi jelas tidak ada rapat malam itu. Sejak sore sampai aku selesai ronda berkeliling kampung pun Balai Desa tampak gelap. Juga tidak kelihatan ada kendaraan yang diparkir di halaman Balai Desa. Pak Warno rekan rondaku adalah penjaga Balai Desa. Dia yang diserahi tanggungjawab menyiapkan segala keperluan rapat mulai dari persiapan sampai selesai. Dan dia selalu menjadi orang terakhir yang keluar dari Balai Desa jika ada rapat malam hari. Aku ingat betul Pak Warno mengatakan lewat telpon siang hari tadi katanya tidak ada rapat malam ini maka dia bisa datang ronda. Dia justru berjanji menyiapkan kopi untuk kami semua.Â
Ketiga orang tersebut berhenti di depan rumah Pak Haji Muntohir, tokoh spiritual yang menjadi penasihat Pak Kepala Desa kami. Kira kira dua bulan yang lalu aku sempat menegur istriku. Katanya Pak Haji Muntohir seorang yang munafik dan syirik. Predikat haji hanya untuk kedok kegiatan perdukunan yang dilakukan Pak Muntohir. Yang membuatku kesal pada istri, dia malah menuduhku kurang gaul jadi ketinggalan informasi. Sebenarnya aku sudah lama mendengar isu miring tentang Pak Haji Muntohir. Dan juga hampir setiap kali duduk duduk di pos ronda obrolan yang terjadi pasti seputar Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan Bendahara Desa. Jujur aku terlalu sibuk di kantor. Dari Senin sampai Sabtu. Aku jarang mengikuti kegiatan RT. Tapi khusus untuk kegiatan ronda, aku selalu berusaha memenuhi kewajibanku. Toh ronda dilakukan sepuluh hari sekali jadi sebulan hanya 3 kali. Tapi yang menarik adalah sepulang ronda aku pasti mendapat berita baru seputar desaku, termasuk 3 orang yang sedang aku awasi gerak geriknya saat ini! Kini nafasku semakin teratur dan tenang.Â
Aku mengenal dekat Pak Hamdan. Dia sahabat dekat almarhum bapakku. Setelah 4 kali gagal pada Pemilihan Kepala Desa, akhirnya tahun 2013 silam Pak Hamdan terpilih menjadi Kepala Desa di saat usianya menjelang 70 tahun. Kata Mas Agus yang menjadi Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa, sejak dilantik tahun 2013 Kepala Desa kita sudah dipanggil oleh Pak Camat sebanyak 5 kali untuk pembinaan. Setiap dilakukan pembinaan, Pak Joko dan Pak Eko pasti disertakan dalam undangan. Aku tidak begitu memahami seluk beluk penyelenggaraan pemerintah desa, tapi menurut Mas Agus pembinaan ini dilakukan karena banyak temuan - temuan penyelewengan pengelolaan keuangan di desaku. Bahkan laporan warga sudah sampai ke Polres! Ternyata banyak yang belum aku ketahui tentang Pak Hamdan.