Ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat terbaca : "Pak, panjenengan di mana?" Dari tetangga yang sedang bingung menghadapi banyak masalah. Dia ingin curhat. Dia memang "klien" saya.
Saya bukan pengacara. Sudah hampir 2 tahun saya menjadi ketua sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis komunitas di desaku. LSM ini dibentuk sesuai amanat Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Untuk saat sekarang tetanggaku itu satu satunya klien kami. Masalah yang sedang dihadapi oleh Slamet tetanggaku itu menurutku erat kaitannya dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Si Slamet ini dua kali menduda. Statusnya pun kini masih duda, tapi bisa disebut sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Kok bisa? Slamet sekarang sedang menjalin asmara dengan perempuan yang belum jelas status perkawinannya! Perempuan itu bernama Lastri. Sudah lebih dari setahun Lastri kembali tinggal dengan orang tuanya di desaku. Bahtera rumah tangganya dilanda prahara. Sang suami, Rusdi rupanya sangat kasar dalam memperlakukan Lastri. Tidak jarang Lastri dipukuli di depan orang banyak. Dia bahkan pernah ditempeleng sampai pingsan di gang depan rumahnya. Setelah 19 tahun menanggung derita Lastri minta dicerai. Rusdi menolak. Lastri memilih kembali kepada orang tuanya di desaku. Ketiga anaknya dibawa serta. Dengan kalap Rusdi mengancam akan "menggantung" status pernikahannya jika Lastri tetap tinggal di rumah orang tuanya. Keputusan Lastri sudah mantap, tidak menghiraukan ancaman Rusdi.
Setelah beberapa bulan hidup sendiri dan menjadi beban orang tuanya, Lastri mulai akrab dengan Slamet. Usia mereka sebaya, 42 tahun. Mereka teman sekelas di SD dulu. Demi melihat nasib Lastri yang tidak menentu, Slamet menaruh simpati. Awalnya hanya simpati kemudian Slamet menaruh hati padanya. Gayung bersambut. Di sinilah awal malapetaka bagi Slamet!
Ketika mereka sedang duduk di teras rumah Slamet pada sore yang cerah, sekonyong konyong Rusdi muncul dengan tiba tiba. Secara refleks Lastri menghindar masuk ke dalam rumah sambil berteriak ketakutan. Rusdi mengejarnya. Dia mendobrak pintu kamar yang menjadi tempat perlindungan Lastri! Pintunya hancur, demikian juga wajah Lastri. Tidak cukup sampai di situ, Rusdi menyerang si tuan rumah. Pertama dia melontarkan kata kata kasar kepada Slamet. Slamet tidak terprovokasi. Rusdi meradang. Dia hajar wajah Slamet. Terjungkal. Tidak membalas. Ditendang sampai membentur tembok, Slamet tetap tidak membalas! Dicekik pun Slamet tetap diam. Warga berdatangan mendengar keributan, Rusdi kabur. Saya ditelepon, jadilah ini kasus saya.
Dengan menahan sakit, Slamet menceritakan kronologi insiden baku hantam di rumahnya. Bibirnya sobek, berdarah. Ada ruam merah di lehernya. Setelah mendengar keterangannya saya segera memeriksa kamar yang berantakan dengan daun pintu terbelah. Kondisi Lastri sangat memprihatinkan. Ruam merah dileher bekas cekikan, goresan sepanjang 5 senti di jidat mengeluarkan darah pun demikian bibirnya, bajunya sobek di bagian punggung, jemari di tangan kirinya membengkak, kedua pipinya membiru, kaki kanan tidak bisa digerakkan. Rusdi dirasuki setan! Entah apa yang dilakukannya terhadap Lastri. Tapi mereka mereka melarang saya untuk menghubungi pihak kepolisian! Slamet ingin menyelesaikan secara kekeluargaan saja. Luar biasa!
Setelah kejadian sore itu, Slamet lebih intensif berkomunikasi denganku. Saya bawa mereka berdua mengahadap Kepala Desa untuk menceritakan semua yang menderanya. Tapi mereka tetap tidak mau melaporkan kepada aparat kepolisian. Satu hal yang dia tegaskan kepada kami di LSM maupun kepada Kepala Desa bahwa dia sangat serius untuk membereskan hubungannya dengan Lastri. Dia ingin segera menikahi Lastri. Untuk menghindari insiden lanjutan Slamet bahkan rela mengantar jemput anak bungsu Lastri yang masih duduk di kelas 2 SD. Slamet pun memperlakukan si bungsu sebagai anaknya sendiri meski mereka belum serumah. Kedua orang tua Lastri juga sudah merestui hubungan tersebut. Slamet yang berprofesi sebagai pedagang ikan gurami segar di pasar berinisiatif mempekerjakan Lastri di kiosnya supaya dia tidak terlalu banyak menganggur. Secara finansial Slamet sudah berperan sebagai ayah bagi ketiga anak Lastri. Secara keseluruhan sekarang Slamet harus menafkahi 6 orang anak. 4 di antaranya memasuki usia remaja.
Pesan singkat kembali menanyakan keberadaan saya. Lagi lagi dari Slamet. Saya memang berpesan kapadanya untuk jangan sungkan sungkan menghubungi jika memang dirasakan perlu, meskipun larut malam. Saya tergerak untuk membantu menyelesaikan masalah yang membelitnya sebab tersentuh dengan ketulusan cintanya pada Lastri. Padahal jika mau, Slamet bisa meminang perempuan manapun selain Lastri. Seandainya dia menginginkan seorang gadis pun saya rasa dia bisa mendapatkannya karena Slamet berwajah ganteng. Dia juga pekerja yang ulet dalam menjalankan usaha dagang ikan gurami. Tapi dia tidak menginginkannya. Cintanya pada Lastri sudah bulat meskipun badan harus menanggung derita.
Meski pekerjaan masih menumpuk, saya persilahkan Slamet untuk datang. Diam diam saya juga ingin tahu perkembangan hubungannya dengan Lastri. Dia datang dengan wajah agak muram. "Bapak dan Ibu sekarang bersikap lain padaku" begitu Slamet memulai curhatnya. Yang dia maksudkan adalah kedua orang tua Lastri. Bermula dari pengaduan Lastri tentang Ibunya yang mempertanyakan kebenaran sebuah kabar angin. Slamet terbelit hutang konon begitu kabarnya. Sebagai pelaku usaha yang sudah cukup lama malang melintang berjualan ikan gurami di pasar terbesar di kotaku, dia merasa wajar saja jika dia mempunyai hutang baik kepada pelanggan maupun kepada pemasok. Walaupun saya bukan pedagang saya bisa memahami transaksi barang yang terjadi di pasar dengan metode pembayaran di lain tempo hanya bermodalkan kepercayaan. Saya juga berpendapat hal itu sangat wajar. Tetapi orang tua Lastri memikirkan hal itu secara berlebihan. Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya bahagia? Mereka tidak berani mengonfirmasi langsung kepada Slamet. Cuma itu kah curhatnya kali ini?
"Ada hal lain Pak"Â jawab Slamet lirih. Menunduk. Sejenak dia menghela napas. Duduknya semakin gelisah. Saya suruh dia meneguk minumannya. Setelah memohon maaf beberapa kali dia kembali meneruskan pengaduannya. Ternyata kedua orang tua kandungnya yang sekarang mendatangkan masalah. Begitu dekat jarak yang memisahkan rumah kami, mengapa saya tidak tahu bahwa kedua orang tua kandungnya sedang dalam proses perceraian? Ibunya menggugat cerai. Alasannya klise: masalah ekonomi??? Tunggu dulu! Kedua orang tua Slamet adalah penguasa tata niaga pasar ikan gurami di kotaku. Slamet dipastikan akan mewarisi kerajaan bisnisnya. Sekarang pun Slamet sudah menempati 3 blok kios ikan di Pasar Wage. Akhir tahun merupakan waktu tersibuk mereka. Secara rutin mereka harus memasok ikan gurami untuk 26 warung tenda, 17 warung makan sekelas warteg, 11 restoran, dan 1 hotel bintang 4!!! Menjelang akhir tahun, daftar pemesan akan bertambah panjang. Setidaknya Slamet harus memenuhi kebutuhan ikan gurami untuk 9 gereja di kotaku menjelang Natal. Pesanan ikan guraminya sudah berbilang ton. Lalu masalahnya di mana?
"Pak, semua ini gara gara boroyot!" Apa itu boroyot? Boroyot adalah nama penjaga harta karun Bung Karno! Masya Allah! Pak Rusmadi bapaknya Slamet tergoda oleh rekan bisnisnya untuk ikut berburu harta karun. Setiap malam Jumat Kliwon Pak Rusmadi bergabung dengan rombongan sejumlah kurang lebih 30 orang melakukan ritual di tempat yang selalu berpindah. Sudah 3 minggu dia tidak pulang. Katanya ada pertemuan penting di Bogor atau Sukabumi dengan seseorang yang bisa berhubungan langsung dengan Boroyot. Menurut mereka harta karun Bung Karno dijaga oleh 4 penjaga. Boroyotlah yang paling sakti dan berkuasa. Setiap melakukan ritual mereka harus "menyumbang". Ada 2 jenis sumbangan yaitu sumbangan wajib dan sumbangan sukarela. Besarnya sumbangan wajib adalah Rp 5 juta. Selain itu mereka diharuskan membeli "saham" sebagai bukti keanggotaan. Selembar saham dihargai Rp 250 ribu. Dan Pak Rusmadi mendaftarkan seluruh anggota keluarganya plus anak dan cucu cucunya yang berjumlah 12! Dia telah menjadi "donatur" selama 15 tahun!!! Pantas usahanya nyaris kolaps.
Pagi itu anak kandung Slamet yang tertua ribut mencari motor kesayangan sebelum berangkat sekolah. Adiknya melaporkan bahwa Eyangnya yang membawa motor tersebut. Adiknya yakin akan hal itu, meski sang kakak bersikukuh Eyang sedang di Bogor. Kedua kakak beradik batal bersekolah gara gara tidak ada kendaraan. Seusai dikabari, Slamet segera meluncur ke rumah untuk mencari tahu lebih mendetil apa yang terjadi. Bersama seorang kawan dia mencari bapaknya, atau lebih tepatnya mencari motornya. Nasib baik berpihak pada Slamet. Dia melihat mobil boks bapaknya melintas tidak jauh dari pasar. Dia membuntuti. Mobil menuju ke arah Baturaden. Dengan sabar Slamet mengikuti dari jarak yang cukup aman.
Sekitar pukul 8 pagi, mobil boks memasuki halaman sebuah losmen di lokasi wisata yang terkenal di kotaku. Slamet menghubungi ibunya lewat ponsel. Sekitar setengah jam ibunya tiba di lokasi diantar oleh sopirnya. Mereka merencanakan sebuah penggerebekan. Setelah keberadaan bapaknya di losmen tersebut bisa dikonfirmasi, Slamet minta ijin kepada pemilik losmen untuk menemui bapaknya di kamar losmen. Ada masalah penting yang harus disampaikan begitu dalih Slamet. Ibu dan anak diiringi 3 orang berjalan menuju kamar nomor 7 di samping kanan kantor resepsi losmen. Begitu pintu dibuka sang ibu pingsan seketika! Slamet menjerit sambil menutup mata. Bapaknya sedang menjalankan "ritual" dengan seorang perempuan! Dan perempuan itu adalah mantan istrinya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H