Sudah lama aku menanggung perasan marah. Begitu lamanya perasaan marah itu ada di dalam diri ini sampai aku melupakan bagaimana caranya merasakan bahagia. Haru dan sedih? Sudah enyah entah ke mana! Simpati, empati, kemurahan hati, kehangatan hati semuanya telah lenyap menjadi kemarahan yang nyaris menyatu dalam hidupku. Kemarahan yang aku rasakan entah tertuju kepada siapa. Dan ini semakin mengganggu kehidupan sehari hariku. Kemarahan ini bisa dipastikan tidak akan mereda dalam yang waktu yang sangat lama. Kecuali aku mati.
Beberapa kali aku mencoba mencari jawaban dari pertanyaan diri sendiri : "Mengapa aku marah?" Jawaban yang muncul sangat banyak dan tidak spesifik, justru membingungkanku. Lalu aku mulai mencari akar masalah yang jadi penyebab kemarahanku. Lagi lagi muncul begitu banyak hal yang justru semakin membuatku marah! Bahkan dalam tidur pun aku marah!
Pernah aku merenung mempertanyakan status perkawinanku yang mungkin membuatku marah. Lalu mempertanyakan keberadaan istri yang kurang mendukung sebagai penyebab kemarahanku. Dengan liar, otak terus mencari cari alasan, salah satunya muncul di benak perihal kondisi keuangan kami yang pas pasan. Rupanya tidak cukup berhenti sampai di situ, lalu muncul hal hal lain seperti hilangnya peluang usaha karena kendala biaya padahal anak - anak kami semakin beranjak dewasa. Mungkin situasi dan kondisi usaha yang kurang kondusif di kota kami yang membuatku uring uringan. Berbagai hal muncul silih berganti seperti film yang diputar berulang ulang. Membuatku pening. Membuatku marah. Semakin marah!
Aku sudah menjalani hidup bersama istri tercinta dengan 2 anak perempuan kembar selama 16 tahun. Kedua anak kami sehat, berprestasi, dan hampir lulus SMA. Keduanya akan merayakan ulang tahun yang ke-15 bulan Juli pas lulus sekolah. Mereka loncat kelas sejak duduk di bangku SMP. Dengan istri saya jarang bertengkar meski kami sama sama bekerja. Lalu mengapa saya masih marah?
Setelah berkali kali gagal dalam memulai usaha akhirnya aku mantap menggeluti usaha jasa boga sesuai ilmu yang dulu dipelajari di sekolah. Sekarang usaha jasa boga yang aku tekuni sudah berjalan 5 tahun, didukung tenaga kerja 5 orang. Pesanan datang setiap hari dalam sepekan. Bahkan sering dalam sehari kami mendapatkan 3 pesanan! Karyawanku digaji sesuai standard upah dari pemerintah kabupaten. Kami sekeluarga bisa menggantungkan hidup dari usaha ini ditambah penghasilan istri bekerja, tentu seharusnya aku merasa bahagia. Tapi mengapa kemarahan ini enggan sirna?
Jujur aku memanfaatkan jaringan pertemanan di instansi - instansi pemerintah kabupaten untuk menawarkan usahaku. Aku juga menawarkan jasa boga milikku ke kantor - kantor swasta. Responnya luar biasa. Kegemaranku memasak terlampiaskan di usaha jasa boga ini. Dulu di tahun tahun awal pernikahan kami, aku bertugas menyiapkan semua hidangan dari sarapan pagi dan makan siang kami berdua sampai lahir anak kembar kami. Istri pun mengakui bahwa teknik memasak yang aku miliki membuat hidangan biasa menjadi luar biasa. Pilihan menu yang kami tawarkan sengaja dibuat bervariasi mengikuti permintaan pemesan. Usaha kami mengalami kemajuan, tapi aku masih memendam amarah!
Tiba tiba aku teringat masa lalu sewaktu lulus SMA tahun 1983. Dengan hati berdebar debar, aku mengutarakan maksudku kepada kedua orang tua untuk melanjutkan sekolah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Aku tahu bahwa permintaanku pasti ditolak mengingat kondisi sosial ekonomi kami yang cenderung melarat. Tapi aku memberanikan diri karena lulus dengan nilai tertinggi dan masuk kuliah melalui Penelusuran Minat Dan Kepandaian (PMDK). Seperti dugaanku, ibu dan bapak memberi kuliah panjang soal kesulitan keuangan, pengobatan ibu yang menderita sakit menahun, dst...Meski aku mencoba menjelaskan soal PMDK mereka tak bergeming. Mungkin jurusan yang aku pilih membuat mereka kurang teryakinkan kalau jaman sekarang Fakultas Ilmu Budaya. Akhirnya aku sekolah perhotelan dan jatuh cinta dengan dunia kuliner dalam negeri mau pun kuliner luar negeri sepanjang halal menurut agama yang kuanut. Tapi "kegagalan" kecil itu sudah lebih dari 30 tahun berlalu, mengapa aku masih marah?
Ingatanku masih berkisar masa SMA. Muncullah bayangan Dianti. Teman sekelas yang coba kudekati. Kami berpisah kelas di kelas 2. Aku masuk kelas sosial dia masuk kelas ilmu pasti. Pada waktu luang aku sering mengunjungi rumahnya. Pada kunjungan kedua saya berkenalan dengan kakaknya yang waktu itu kuliah di perguruan tinggi negeri yang ingin aku masuki. Namanya Sulianti. Dia sulung dari 4 bersaudara. Perempuan semua. Nama mereka semuanya mengandung unsur "anti", Sulianti, Fitrianti, Dianti, dan Novianti. Kami cepat akrab. Meskipun menurut Dianti kakaknya itu pendiam, tapi menurutku tidak. Dia bisa berbicara panjang lebar soal sastra dan budaya Jawa. Tutur katanya sangat lembut. Caranya menguraikan keterkaitan budaya dengan perilaku sosial masyarakat membuatku terpana. Calon dosen yang hebat menurutku. Lebih dari itu, dia meminjamkan lebih dari selusin buku koleksinya untukku. Dia mengeluh soal adiknya, Dianti yang kurang gemar membaca. Daripada teronggok di kamar lebih baik diberikan kepada siapa yang tertarik untuk membacanya, demikian kilahnya. Kemudian setelah perbincangan panjang itu, kami sering berkirim surat. Darinyalah saya mendapat informasi soal PMDK dan jurusan yang menurutnya sesuai untukku. Dianti tidak bisa protes soal kedekatan kami, karena memang kami "nyambung" ketika berdiskusi. Lalu hubungannya apa dengan kemarahan yang masih aku rasakan?
Pada saat luang aku mencoba membuka buka kembali buku - buku milik Sulianti yang masih tersimpan di kopor tua peninggalan almarhum bapak. Buku - buku tersebut tidak aku kembalikan sampai sekarang. Aku mengenal gagasan - gagasan besar yang diusung oleh tokoh - tokoh besar melalui buku - buku tersebut dan buku - buku lain yang aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Bisa dikatakan aku "berkenalan" dengan Plato, Aristoteles, Rene Descartes dan pemikir - pemikir besar lainnya sebagian dari buku - buku milik Sulianti. Apakah gagasan - gagasan para pemikir besar tersebut yang membuatku marah?
Pada salah satu kesempatan, aku terlibat diskusi super panjang dengan Sulianti sampai aku pulang terlambat. Aku berbohong pada ibu ada tugas dari sekolah. Menurut Sulianti dari perspektif budaya, kondisi sosial masyarakat waktu itu yang cenderung statis. Seni pertunjukan minim kreatifitas. Namun itu pun bukan murni kesalahan seniman karena kreatifitas mereka dibatasi. Banyak seniman merasa ada penekanan - penekanan dari pihak penguasa kala itu dalam menjalankan kegiatan kesenian. Aku masih ingat bagaimana N. Riantiarno dan Rendra sering berhadapan dengan pihak keamanan gara gara kreatifitas seni yang diusung kurang membuat nyaman rezim yang berkuasa. Padahal daya kreasi para seniman lah yang menjadi darah yang menjaga keberlangsungan seni dan budaya masyarkat. Kesimpulan menurut Sulianti bahwa dekade 80-an telah terjadi pengekangan kepada sejumlah seniman di tanah air. Dia bahkan berani berkesimpulan jika industri perfilman nasional kurang berkembang pun mudah dicari penyebabnya. Itu dulu. Bagaimana dengan kondisi sekarang? Apakah kegemaranku nonton film yang membuatku marah?
Alhamdulillah kami masih sering melakukan kontak sampai sekarang. Jika dulu kami berkirim surat maka sekarang kami lebih mudah dalam berkomunikasi. Dulu Sulianti sudah kritis menyikapi pengekangan kreatifitas kesenian oleh penguasa, yang menurutnya absurd! Namun kondisi sekarang justru menyisakan ironi. Begitu pendapatnya yang disampaikan via telepon kemarin pagi. Ketika represi penguasa sudah tidak ada lagi mengapa seni budaya masih terabaikan? Bahkan ketika begitu banyak media yang sejatinya bisa dijadikan wahana bagi pengembangan seni budaya malah melulu menyajikan hiburan miskin kreatifitas. Sebagian besar hanya menyajikan "kedangkalan" dalam berpikir, begitu umpatnya geram. Dia lantas panjang lebar menguraikan soal pendangkalan cara berpikir yang sejalan dengan proses komodifikasi terhadap segala hal!!! Dari pengetahuan sampai spiritualisme, ocehnya kesal. Tiba tiba aku merasa hampir menemukan jawaban atas kegelisahan hati yang membuatku serasa hidup dalam amarah. Cuma sayang aku tidak bisa menyampaikan dengan bahasa bahasa intelektual seperti Sulianti.
Sulianti kini menjanda. Suaminya meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Aku protes mengapa tidak dikabari. Perhatiannya pada persoalan seni, budaya, dan sastra memang luar biasa. Rambutnya yang memutih serta wajahnya yang mulai menua tidak menghalanginya untuk tetap mencurahkan pada bidang yang memang dia kuasai. Pada pertemuan terakhir di Jogja, dia meminta saya untuk memaparkan sendiri gejala gejala keengganan berpikir yang terjadi pada masyarakat. Luar biasa! Saya gelagapan menanggapi permintaannya, atau gugatannya. Lantas dia meneruskan betapa keengganan berpikir pada masyarakat membuat "proses" mengalami keterasingan. Semua ingin jalan pintas menuju ujung yang kriterianya konon target. Kehidupan sekarang tidak dipahami sebagai proses yang terus menerus sebagai upaya pemuliaan diri. Sukses hanya dimaknai secara sederhana. Jika anda memakai baju merk mahal, sepatu merk mahal, dan mengendarai mobil mahal maka itulah sukses tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Begitu dia mengakhiri kuliahnya. Aku tiba tiba merasakan amarah ini perlahan lahan berkurang intensitasnya.
Sulianti pernah menerangkan soal sosok pemikir dan ahli matematika asal Perancis, Rene Descartes. Ungkapan Descartes yang terkenal "cogito ergo sum". Aku berpikir maka aku ada. Sulianti berpesan padaku, tugas manusia adalah menjadi manusia maka segala kerakusan yang terjadi di masyarakat sekarang ini menunjukkan kita lebih rendah kastanya daripada binatang. Menurutnya, otak orang Indonesia kehilangan kegunaanya! Aku mengangguk mengiyakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H